Al-Hamdulillah, segala puji bagi
Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu
'Alaihi Wasallam, keluarga
dan para sahabatnya.
Tahun baru masehi pada zaman kita ini
dirayakan dengan besar-besaran. Suara terompet dan tontonan kembang api
hampir menghiasi seluruh penjuru dunia di barat dan di timurnya. Tidak
berbeda negara yang mayoritas penduduknya kafir ataupun muslim.
Padahal, perayaan tersebut identik dengan hari besar orang Nasrani.
Banyak keyakinan batil yang ada pada
malam tahun baru. Di antaranya, siapa yang meneguk segelas anggur
terakhir dari botol setelah tengah malam akan mendapatkan
keberuntungan. Jika dia seorang bujangan, maka dia akan menjadi orang
pertama menemukan jodoh dari antara rekan-rekannya yang ada di malam
itu. keyakinan lainnya, di antara
bentuk kemalangan adalah masuk
rumah
pada malam tahun tanpa membawa hadiah, mencuci baju dan peralatan makan
pada hari itu adalah tanda kesialan,
membiarkan api menyala sepanjang
malam tahun baru akan mendatangkan banyak keberuntungan, dan
bentuk-bentuk khurafat lainnya.
Sesungguhnya keyakinan-keyakinan batil
tersebut diadopsi dari keyakinan
batil Nasrani. Yang hakikatnya,
mengadopsi dan meniru budaya batil ini adalah sebuah keharaman. Karena
siapa yang bertasyabbuh (menyerupai)
kepada satu kaum, maka dia bagian
dari mereka.
Haramnya Bertasyabuh kepada Orang Kafir
Secara ringkas, bertasyabbuh di sini
maknanya adalah usaha seseorang untuk menyerupai orang lain yang ingin
dia sama dengannya, baik dalam penampilan, karakteristik dan atribut.
Di antara perkara fundamental dari
agama kita adalah memberikan kecintaan
kepada Islam dan pemeluknya,
berbara’ (membenci dan berlepas diri) dari kekufuran dan para ahlinya.
Dan tanda bara’ yang paling nampak dengan berbedanya seorang muslim
dari orang kafir, bangga dengan agamanya dan merasa terhormat dengan
Islamnya, seberapapun hebat kekuatan
orang kafir dan kemajuan
peradaban
mereka.
Walaupun kondisi orang muslim lemah,
terbelakang, dan terpecah-pecah, sedangkan kekuatan kafir sangat hebat,
tetap kaum muslimin tidak boleh menjadikannya sebagai dalih untuk
membebek kepada kaum kuffar dan
justifikasi untuk menyerupai mereka
sebagaimana yang diserukan kaum munafikin dan para penjajah. Semua itu
dikarenakan teks-teks syar’i yang mengharamkan tasyabbuh (menyerupai)
dengan orang kafir dan larangan membebek kepada mereka tidak membedakan
antara kondisi lemah dan kuat. Dan juga karena seorang muslim -dengan
segenap kemampuannya- harus
merasa mulia dengan agamanya dan terhormat
dengan ke-Islamnya, sehingga pun
saat mereka lemah dan terbelakang.
. . . kondisi orang muslim lemah, terbelakang, dan terpecah-pecah, tetap tidak boleh dijadikan sebagai dalih untuk membebek kepada kaum kuffar dan justifikasi untuk menyerupai mereka
Allah Subhanahu wa Ta'ala
menyeru
agar seorang muslim bangga dan terhormat dengan agamanya. Dia
menggolongkannya sebagai perkataan terbaik dan kehormatan yang termulia
dalam firmannya,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا
إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal
yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri?".” (QS. Fushilat: 33)
Karena sangat urgennya masalah ini,
yaitu agar seorang muslim berbeda dengan orang kafir, Allah
memerintahkan kaum muslimin agar berdoa kepada-Nya minimal 17 kali
dalam sehari semalam agar menjauhkan dari jalan hidup orang kafir dan
menunjukinya kepada jalan lurus.
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada
mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Banyak sekali nash Al-Qur’an dan
Sunnah
yang melarang bertasyabbuh dengan mereka dan menjelaskan bahwa mereka
dalam kesesatan, maka siapa yang
mengikuti mereka berarti mengikuti
mereka dalam kesesatan.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ
الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا
يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu
berada
di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18)
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ
مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ
“Dan seandainya kamu mengikuti
hawa
nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali
tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.”
(QS. Al-Ra’du: 37)
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ
تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ
“Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.” (QS. Ali Imran:
105)
Allah Ta’ala menyeru kaum mukminin
agar khusyu’ ketika berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan membaca ayat-ayat-Nya, lalu Dia berfirman,
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah
orang-orang yang
fasik.” (QS. al-Hadid: 16)
Tidak diragukan lagi, menyerupai
mereka
termasuk tanda paling jelas adanya
kecintaan dan kasih sayang terhadap
mereka. Ini bertentangan dengan sikap bara’ah (membenci dan berlepas
diri) dari kekafiran dan
pelakunya. Padahal Allah telah melarang kaum
mukminin mencintai, loyal dan mendukung mereka. Sedangkan loyal dan
mendukung mereka adalah sebab menjadi bagian dari golongan mereka,
-semoga Allah menyelamatkan kita darinya-.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء
بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka."
(QS. Al-Baqarah: 51)
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu
kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, saling berkasih sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau
pun keluarga mereka." (QS.
Al-Mujadilah: 22)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Menyerupai (mereka) akan menunbuhkan kasih sayang,
kecintaan, dan pembelaan dalam batin. Sebagaimana kecintaan dalam batin
akan melahirkan musyabahah (ingin menyerupai) secara zahir.” Beliau
berkata lagi dalam menjelaskan ayat di atas, “Maka Dia Subhanahu wa
Ta'ala
mengabarkan, tidak akan didapati seorang mukmin mencintai orang kafir.
Maka siapa yang mencintai orang kafir, dia bukan seorang mukmin. Dan
penyerupaan zahir akan menumbuhkan
kecintaan, karenanya diharamkan.”
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum,
maka ia termasuk golongan mereka.” (HR.
Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban. Ibnu Taimiyah
menyebutkannya dalam kitabnya Al-Iqtidha’ dan Fatawanya. Dishahihkan
oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2831 dan 6149)
Syaikhul Islam berkata, “Hadits ini
–yang paling ringan- menuntut pengharaman tasyabbuh (menyerupai)
mereka, walaupun zahirnya mengafirkan orang yang menyerupai mereka
seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Siapa di antara kamu yang berloyal
kepada mereka, maka sungguh ia bagian dari mereka.” (QS. Al-Maidah:
51).” (Al-Iqtidha’: 1/237)
Imam al-Shan’ani rahimahullaah
berkata, “Apabila menyerupai orang kafir dalam berpakaian dan meyakini
supaya seperti mereka dengan pakaian tersebut, ia telah kafir. Jika
tidak meyakini (seperti itu), terjadi khilaf di antara fuqaha’ di
dalamnya: Di antara mereka ada yang berkata menjadi kafir, sesuai dengan
zahir hadits; Dan di antara yang lain mereka berkata, tidak kafir tapi
harus diberi sanksi peringatan.” (Lihat: Subulus salam tentang syarah
hadits tesebut).
Ibnu Taimiyah rahimahullaah
menyebutkan, bahwa menyerupai orang-orang kafir merupakan salah satu
sebab utama hilangnya (asingnya syi’ar) agama dan syariat Allah, dan
munculnya kekafiran dan kemaksiatan. Sebagaimana
melestarikan sunnah dan
syariat para nabi menjadi pokok utama setiap kebaikan. (Lihat:
Al-Iqtidha’: 1/314)
Bentuk Menyerupai Orang Kafir Dalam
Hari Besar Mereka
Orang-orang kafir –dengan berbagai
macam agama dan sektenya- memiliki hari raya yang beraneka ragam. Di
antanya ada bersifat keagamaan
yang menjadi pondasi agama mereka atau
hari raya yang sengaja mereka ciptakan sendiri sebagai bagian dari
agama mereka. Namun kebanyakannya
berasal dari tradisi dan momentum
yang sengaja dibuat hari besar untuk memperingatinya. Misalnya hari
besar Nasional dan semisalnya. Lebih jauhnya ada beberapa contohnya
sebagai berikut:
1. Hari untuk beribadah kepada
tuhannya, seperti hari raya wafat Jesus Kristus, paskah, Misa, Natal,
Tahun Baru Masehi, dan semisalnya.
Seorang muslim terkategori menyerupai
mereka dalam dua kondisi:
Pertama, Ikut serta dalam hari
raya tersebut. Walaupun perayaan ini diselenggarakan kelompok minoritas
non-muslim di negeri kaum muslimin, lalu sebagian kaum muslimin ikut
serta di dalamnya sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Ibnu
Taimiyah dan Imam Dzahabi. Realitas semacam ini tersebar di
negeri-negeri kaum muslimin. Lebih buruk lagi, ada sebagian kaum
muslimin yang bepergian ke negeri
kafir untuk menghadiri perayaan
tersebut dan ikut berpartisipasi di dalamnya, baik karena menuruti hawa
nafsunya atau untuk memenuhi undangan orang kafir sebagaimana yang
dialami kaum muslimin yang hidup di negeri kafir, para pejabat
pemerintahan, atau para bisnismen yang mendapat undangan rekan
bisnisnya untuk menandatangi kontrak bisnis. Semua ini haram hukumnya
dan ditakutkan menyebabkan kekufuran
berdasarkan hadits, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk golongan mereka.” Pastinya, orang yang melakukan itu
sadar bahwa itu merupakan bagian dari syi’ar agama mereka.
Kedua, Mengadopsi perayaan
orang
kafir ke negeri kaum muslimin.
Orang yang menghadiri perayaan
orang-orang kafir di negara mereka, lalu dengan kajahilan dan lemahnya
iman, ia kagum dengan perayaan tersebut. kemudian dia membawa perayaan
tersebut ke negara-negara muslim
sebagaimana perayaan tahun baru
Masehi. Kondisi ini lebih buruk dari yang pertama, karena dia tidak
hanya ikut merayakan syi’ar agama orang kafir di Negara mereka, tapi
malah membawanya ke negara-negara
muslim.
. . .perayaan tahun baru Masehi adalah tradisi dan syi’ar agama orang kafir di Negara mereka, namun telah dibawa dan dilestarikan di negara-negara muslim...
2. Hari besar yang awanya
menjadi syi’ar (simbol) orang-orang kafir, lalu dengan berjalannya
waktu berubah menjadi tradisi dan perayaan global, seperti
olimpiade oleh bangsa Yunani kuno yang saat ini menjadi ajang
olah raga Internasional yang diikuti oleh semua Negara yang
tedaftar dalam Komite Olimpiade Internasional (IOC). Ikut serta di
dalamnya ada dua bentuk:
Pertama, menghadiri upacara
pembukaan dan karnavalnya di negeri kafir seperti yang banyak di
lakukan negara-negara muslim yang mengirimkan atlit-atlitnya untuk
mengikuti berbagai ajang olah raga yang diadakan.
Kedua, membawa perayaan ini ke
negera-negara muslim, seperti sebagian negeri muslim meminta menjadi
tuan rumah dan penyelenggara Olimpiade ini.
Keduanya tidak boleh diadakan dan
diselenggarakanaa di Negara-negara muslim dengan beberapa alasan:
a. Olimpiade ini pada awalnya
merupakan hari besar kaum pagan Yunani kuno dan merupakan hari paling
bersejaran bagi mereka, lalu diwarisi oleh kaum Romawi dan dilestarikan
kaum Nasrani.
b. Ajang tersebut memiliki nama
yang maknanya sangat dikenal oleh bangsa Yunani sebagai hari ritus
mereka.
Keberadaannya yang menjadi ajang oleh
raga tidak lantas merubah statusnya sebagai hari raya kaum pagan
berdasarkan nama dan asal usulnya. Dasar haramnya perayaan tersebut
adalah hadits Tsabit bin Dhahak radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
“Ada seseorang bernazar di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu
tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan
berkata: “Aku bernazar untuk menyembelih unta di Bawwanah.” Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
“Apakah di sana ada berhala jahiliyah yang disembah?” Mereka berkata:
“Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah di sana dilakukan perayaan hari
raya mereka?” Mereka berkata: “Tidak.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah
nazarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nazar yang berupa maksiat
kepada Allah dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” (HR. Abu
Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shahihain)
Ditimbang dengan hadits Nabi shallallahu
'alaihi wasallam
di atas, bahwa asal dari olah raga priodik ini ada hari raya orang
kafir. Dan ini diharamkan sebagaimana diharamkannya menyembelih unta
untuk Allah di tempat yang dijadikan sebagai perayaan hari raya orang
kafir. Dan perbedaan waktu dan tempat tidak mempengaruhi dari subtansi
alasan diharamkannya penyembelihan tersebut.
Ibnu Taimiyah rahimahullaah menjelaskan,
hadits ini mengandung makna bahwa tempat yang digunakan untuk perayaan
hari besar mereka tidak boleh digunakan untuk menyembelih walaupun itu
bentuknya nazar. Sebagaimana tempat tersebut sebagai tempat menaruh
berhala mereka. Bahwa nazar semacam itu menunjukkan pengagungan kepada
tempat tersebut yang diagungkan mereka untuk merayakan hari besarnya
atau sebagai bentuk ikut serta (partisipasi) dalam perayaan hari besar
tersebut. Atau juga untuk menghidupkan syi’ar mereka di sana. Apabila
mengistimewakan satu tempat yang menjadi perayaan agama mereka saja
dilarang, bagaimana dengan perayaan itu sendiri?! (Diringkas dari
al-Iqtidha’: 1/344)
Sedangkan olimpiade ini bukan hanya
waktu atau tempatnya, tapi hari raya itu sendiri berdasarkan asal
penamaanya dan aktifitas yang ada di dalamnya, seperti menyalakan lampu
olimpiade. Padahal itu sebagai lambang hari besar mereka. Dan ajang
olahraga ini juga dilaksanakan pas waktu perayaan hari besar olimpiade,
yang dilaksanakan empat tahun sekali.
3. Menyerupai Orang Kafir
Dalam Merayakan Hari Besar Islam
Bentuk bertasyabbuh dengan orang
kafir
bisa terjadi juga dalam perayaan hari raya Islam, Idul Fitri dan Adha.
Yaitu merayakan hari raya Islam dengan cara-cara yang bisa digunakan
kaum kuffar dalam merayakan hari besar mereka.
Bahwa sesungguhnya, hari raya kaum
muslimin dihiasi dengan syukur kepada
Allah Ta’ala, mengagungkan,
memuji dan mentaati-Nya. Bergembira menikmati karunia nikmat dari Allah
Ta’ala tanpa menggunakannya untuk bermaksiat. Ini berbeda dengan hari
raya kaum kuffar, dirayakan untuk mengagungkan syi’ar batil dan
berhala-berhala mereka yang disembah selain Allah Ta’ala. Dalam
perayaannya, mereka tenggelam dalam syahwat yang haram.
Namun sangat disayangkan banyak kaum
muslimin yang di penjuru dunia yang menyerupai orang kafir dalam
kemaksiatan itu. Mereka merubah nuansa Idul Fitri dan Idul Adha sebagai
musim ketaatan dan syukur
menjadi musim bermaksiat dan kufur nikmat,
yaitu dengan mengisi malam-malamnya dengan musik-musik, nyanyir-nyanyi,
mabuk-mabukan, pesta yang bercampur laki-laki dan perempuan dan bentuk
pelanggaran-pelanggaran lainnya. Semua ini disebabkan mereka meniru
cara orang kafir dalam merayakan hari besar mereka yang diisi dengan
menuruti syahwat dan maksiat.
Semoga Allah membimbing kita kepada
kondisi yang lebih diridhai-Nya, tidak menyimpang dari aturan Islam dan
tidak bertasyabbuh dengan kaum kafir dalam acara-acara mereka.
[PurWD/voa-islam.com]
http://asalasah.blogspot.com/2012/12/alasan-muslim-haram-merayakan-tahun.html