Mau Pasang Iklan, Hub Biro Iklan, Aulia Advertising, Telp 0813 8468 1151
Aulia PROPERTY,MEMASARKAN BALE PERIGI, PURI SINAR PAMULANG, PESONA ALAM CIPUTAT, CLUSTER Tsb Ready Stock Telp 081384681151

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus
Spesialis cetak/sablon spanduk kain promosi,SPANDUK KAIN Dwitama Advertising Benda Baru, Pamulang, Tangsel Telp, 0856 7386 103, 0813 8468 1151

Jumat, 16 Mei 2014

Wanita Baik Untuk Laki-Laki yang Baik (Tafsir An Nuur:26)

Bermula dari pertanyaan yang masuk di inbox tentang pemaknaan ayat QS. An-Nur: 26, apakah ayat tersebut bisa difahamai dengan ala kadarnya sesuai dengan terjemahannya bahwa “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”, atau bagaimana?
Dengan merujuk kepada lebih kurang kitab tafsir; Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, As-Sya’rowi, Tafsir As-Sya’rowi, dan Ibnu Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, ¸ juga ditambah dengan bebarapa bacaan pendukung lainnya, dapatlah kita berikan penjelasan sederhananya sebagai berikut:
Tema Ayat
Surat An-Nur secara umum memang memberikan banyak pengajaran tentang tema kesucian, oleh karenanya para ulama sering berpesan agar perempuan muslimah sering membaca surat ini; surat cinta dari Sang Pencipta tentang kesucian, walaupun dilain pihak laki-laki dianjurkan untuk sering mentadaburi surat At-Taubah yang banyak memberikan pengajaran tentang pentingnya sebuah kejujuran, agar diri jauh dari sifat munafiq.
QS. An-Nur: 26 ini adalah ayat penutup yang Allah turunkan untuk menyatakan tentang kesucian Aisyah ra istri Rasulullah SAW dari tuduhan keji yang tersiar bahwa Aisyah ra sudah berlaku mesum dengan Sufyan bin Muatthal.
Jadi inilah tema sentral dari ayat yang sekarang menjadi pembahasan kita. Pengetahuan ini penting sekali untuk diketahui, agar ayat ini mula-mula kita fahami dulu sesuai dengan konteks dimana ayat ini turun, dan apa yang melatar belakangi turunnya, barulah kemudian ayat ini bisa kita bawa untuk menuju hikmah berikutnya yang mungkin ajan kita dapatkan selanjutnya
Makna Ayat
QS. An-Nur; 26 ini berbunyi:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Kata al-khabitsat pada ayat diatas setidaknya difahami dengan dua makna; Perkataan keji atau perempuan yang keji, pun begitu dengan kata at-thayyibat dan at-thayyibun bisa difahami dengan dua makna yag sama: Perkataan yang baik atau laki-laki yang baik.
Sebenarnya kedua pemakaan tersebut bisa kita ambil semua tanpa harus membuang salah satunya, dalam ilmu tafsir perbedaan pemaknaan ini masuk dalam kata gori ikhtilaf at-tanawwu’ dimana memungkin bagi kita untuk mengambil semua makna yang aslinya tidak saling bertentangan.
Jika kita fahami bahwa al-khabitsat itu bermakna perkataan yang keji, maka kira-kira makna ayat tersebut akan seperti ini: Perkataan keji itu hanya untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki keji itu memang layak mendapatkan perkataan yang keji, sedang perkataan baik itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu memang layak untuk mendapatkan perkataan yang baik.[ قال ابن عباس: الخبيثات من القول للخبيثين من الرجال، والخبيثون من الرجال للخبيثات من القول. والطيبات من القول، للطيبين من الرجال، والطيبون من الرجال للطيبات من القول.]. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra, seperti yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Quran Al-Azhim.
Namun jika kita memahaminya dengan arti perempuan yang keji, maka makna ayat tersebut akan seperti ini: “Perempuan yang keji itu untuk laki yang keji, dan laki-laki yang keji itu untuk perempuan yang keji pula, sedang perempuan yang baik itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu untuk perempuan yang baik pula” وقال] عبد الرحمن بن زيد بن أسلم: الخبيثات من النساء للخبيثين من الرجال، والخبيثون من الرجال للخبيثات من النساء، والطيبات من النساء للطيبين من الرجال، والطيبون من الرجال للطيبات من النساء]. Ini adalah pendapat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, juga seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.
Seperti yang sudah kita singgung diatas, bahwa kedua pemakanaan ini satu dengan yang lainnya bisa saling melengkapai, kedua pemaknaan ini mengarah kepada satu tema; pensucian Aisyah ra dari perkataan keji orang-orang munafik yang menebar isu miring tentang istri Rasulullah SAW ini.
Bahwa perkataan keji yang itu adalah isu panas yang tersebar dimana-dimana semestinya hanya untuk perempuan keji, bukan untuk perempuan yang suci. Pun begitu bahwa perempuan yang yang keji itu hanya untuk laki-laki yang keji pula.
Bagaimana mungkin isu keji itu diarahkan kepada sosok Aisyah ra yang suci. Dan mustahil rasanya istri Rasulullah SAW, orang yang paling bertaqwa didunia ini, adalah peremuan yang keji (berbuat mesum).
 Itulah rahasianya mengapa kata al-khabitsat itu didaluhulukan, karena maksud awalnya adalah sesegera mungkin mensucikan sosok Aisyah ra atas isu yang melanda beliau, begitu menurut Ibnu Asyur dalam kitabnya At-Tahrir wa At-Tanwir.
Imam Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menguatkan bahwa memang sudah sunnahnya mereka yang mempunyai kesamaan itu akan bersatu, dan bersatunya Rasulullah SAW dengan Aisyah ra sebagai bukti bahwa Aisyah ra bukanlah perempuan keji seperti yang diisukan.
Sekufu'
Imam As-Sya’rowi dalam menafsirkan ayat ini memberikan penekanan yang lebih akan pentingnya kesamaan antara suami dan istri. Inilah yang disebut dengan sekufu'. Kesamaan yang dimaksud terutama dalam hal agama, walaupun tidak menutup kemungkinan persamaan cara berpikir, starata pendidikan, starata sosial dan ekonomi juga menjadi pertimbangan yang kuat.
Maka dalam prakteknya bisa dipastikan bahwa laki-laki baik juga akan mendamkan perempuan yang baik, dan perempuan yang baik juga akan berusaha mencari laki-laki yang baik.
Memang sulit mengukur tingkat kebaikan dalam katagori agama, kecuali jika sebelumnya ada pengakuan yang jujur. Namun disinilah pentingnya jalan musyawarah, dan ini jugalah rahasianya mengapa perempuan itu tidak boleh menikahkan dirinya sendirinya, wali menjadi syarat sahnya pernikahan, karena perempuan wajib memusyawarahkannya dahulu sebelum menerima atau menolak lamaran dari laki-laki yang datang.
Jangan hanya karena hati ini sudah berbunga-bunga lalu kemudian menutup mata akan penilaian yang lainnya; bagaimana aqidahnya, sholatnya seperti apa, bagaimana akhlaknya, seperti apa dia dimata keluarga dan shabatnya, seperti apa cara pandangnya tentang kehidupan, dan seterusnya.
Lalu tiba-tiba mau diajak kawin lari, atau malah kawin kontrak. Tidakkah kita berpikir bahwa bahwa dia yang tidak berani mendatangi perempuan dengan baik adalah ciri dari laki-laki yang tidak baik. Dan sebaliknya dia yang mau diajak berbuat tidak baik adalah ciri dari perempuan yang tidak baik.
Bertaubat adalah cara terbaik untuk melepaskan diri dari cap sebagai laki-laki atau perempuan buruk. Ini adalah cara perbaikan diri berkesinambungan yang diajarkan oleh Islam. Siapa yang mengakhirkan istighfarnya sedang ia mampu unutuk beristighfar sekarang, maka istighfarnya itu membutuhkan istighfar lainnya, inilah taubatnya taubat, seperti kata Ibnu QayyimAl-Jauzi.
Hukum Fiqih
 QS. An-Nur: 26 ini mempunyai pertalian dengan ayat ketiga dari surat ini, bahwa:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An-Nur: 3)
Ayat ini tidak difahami dengan begitu saja bahwa perempuan yang keji itu tidak boleh dikawini, atau haram jika dikawini. Tidak. Namun ayat ini bertujuan memberikan penegasan akan buruknya perilaku zina tersebut. Karena pada hakikatnya perempuan muslimah yang berzinapun tidak boleh dinikahi oleh orang-orang musyrik yang beda agama.
Hal yang menjadi perbedaan diantara ulama adalah terkait dengan pernikahan seorang muslim dengan muslimah yang hamil karena zina.
1. Pendapat Pertama
Kalangan Hanafiyah mensahkan pernikahan ini, baik yang menikahinya itu dia yang menzinahi atau orang lain. Mereka menambahkan boleh bagi yang menzinahi untuk melakukan hubungan suami-istri setelah akad tersebut, akan tetapi jika yang menikainya itu orang lain, maka dia tidak boleh melakukan hubungan suami-istri sampai si perempuannya melahirkan. (Lihat: al-Kasa’i, Bada’i' as-Shona’i', 2/269)
2. Pendapat Kedua
Kalangan Syafi’iyyah juga membolehkan pernikahan ini, hanya saja makruh hukumnya menggauli istrinya yang sedang hamil itu setelah aqad. (lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/191).
Tentunya pendapat yang mensahkan ini tidak mesti mereka merestui hubungan perzinahan yang sudah terjadi. Tidak. Zina tetap haram, dan ia merupakan perilaku yang sangat tercela.
Akan tetapi antara zina dengan nikah itu tidak ada hubungan sama sekali. Zina memang haram, tapi nikahkan halal.  Dan yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
Seperti yang ditulis Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya bahwa permisalannya sama seperti orang yang mencuri buah dari kebun milik tuannya, lalu kemudian tuan kebun tersebut membeli buah darinya, maka apa yang dibeli hukumnya halal dan apa yang dicuri hukumnya haram. [ومثل ذلك مثل رجل سرق من حائط ثمره ثم أتى صاحب البستان فاشترى منه ثمره، فما سرق حرام وما اشترى حلال ]
Belum lagi yang demikina didukung oleh hadits Nabi Muhammad SAW berikut:
لا يحرم الحرام الحلال
“Perkara yang haram tidak bisa mengaharamkan yang halal” (HR. Ibnu Majah. 2015)
Pendapat ini juga bersandar kepada beberapa atsat yang pernah ada, diantaranya ini merupakan pendapat Abu Bakar ra, Umar ra, Ibnu Umar ra, dan Ibnu Abbas ra. (Lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/189)
Di Indonesia pendapat ini lebih dipakai, lihat saja misalnya dalam Kompilasi Hukum Islam kita pada pasal bab VIII, pasal 53 dalam tiga ayatnya yang berisikan:
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pendapat Ketiga
Pendapat ini menyatakan bahwa perempuan yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahkan, sampai dia melahirkan. Baik bagi dia yang menzinahi maupun bagi selainnya. Ini adalah pendapat dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 32/110, dan Kasyfu al-Qona’, 5/83).
Imam Ibnu Qudamah (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 7/107) menyatakan bahwa yang demikian karena keumuman hadits berikut:
لا توطأ حامل حتى تضع
“Janganlah kalian menggauli perempuan yang sedang hamil samapai ia melahirkan” (HR. Hakim. 2790)
Hadits ini secara redaksi sebenarnya berbicara tentang tidak bolehnya mengauli budak yang sedang hamil, akan tetapi keumuman lafaznya juga bisa dipakai untuk selain budak.
Bukan berarti hadits tersebut melarang seorang suami untuk menggauli istrinya yang sedang hamil. Bukan. Akan tetapi ini lebih mengarah kepada hal pernikahan. Jika dengan istri sendiri yang sudah sah, oke-oke saja. Tidak ada masalah. Jangan panik dulu.
Belum lagi ditambah dengan penjelasan hadits berikut:
“Dari AbudDarda’, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia datang bersama perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau bersabda: Barang kali dia (tuannya) bermaksud menyenggamainya. Mereka mengatakan: Ya. Maka Rasulullah saw.bersabda: Sungguh saya sangat ingin melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya di dalam kuburnya, bagaimana dia menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak halal untuknya, ….”(H.R Muslim) 
Pengarang kitab Nailul Author, As-Syaukani juga menyatakan keharamannya, berdasarkan ayat berikut:
“ laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An-Nur: 3)
Ditambah dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika pernikahan seperti ini dibolehkan, maka tidak menutup kemungkinan masyarakat akan sedikit ‘lalai serta mengangagap remeh perkara ini.
“Ga apa-apa hamil duluan, toh akhirnya nikahnya juga masih sah ko”. Begitu mungkin dalam anggapan sebagian orang. Untuk itulah  mereka berpendapat bahwa pernikahan seperti ini tidak boleh terjadi, sebagai salah satu jalan untuk menutup perilaku zina yang sekarang terus  berkembang dan menjamur diamana-mana.
Begitulah akhirnya, memang jiwa-jiwa itu seperti prajurit yang dibariskan, hanya mereka yang saling mengenallah yang akan mendekat dan pada akhirnya bersatu. 
Wallahu A’lam Bisshowab

Memahami Sunnah Nabi

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh...

Seringkali kita mendengar perkataan..kita harus mengikuti sunnah nabi, ibadah maupun muammalah kita belum sesuai dengan sunnah nabi dsb...namun kita belum memahami benar apa arti yang sebenarnya dari sunnah itu sendiri.

Berikut ada artikel tentang sunnah, yang cukup ringkas, dan jelas tentang makna sunnah. Apakah sunnah hanya terbatas perbuatan nabi, maupun perkataannya atau ada yang lainnya.

Semoga artikel ini bermanfaat.

Perbedaan Makna Sunnah dari Berbagai Sudut Pandang

1. Makna Sunnah dari Segi Bahasa

Makna kata 'sunnah' secara bahasa punya banyak arti, di antaranya adalah:
  • At-Thariqah (metode)
  • Al-'Aadah (kebiasaan)
  • As-Sirah (sejarah/riwayat/kehidupan)
Maka jangan mudah salah paham dulu kalau mendengar ungkapan bahwa menikah adalah sunnah para nabi. Maksudnya adalah bahwa para nabi itu punya kebiasaan atau kehidupan dengan cara menikah dengan wanita, tidak hidup membujang seperti yang dipahami oleh saudara kita yang Kristiani.
Para nabi punya sunnah menikah, artinya mereka semua menikah dan hidup berumah tangga, beranak dan punya keturunan.
Dan bukan berarti menikah itu hukumnya sunnah, seperti istilah yang digunakan oleh para ahli fiqih. Sebab hukum menikah menurut para ahli fiqih bukan hanya sunnah, melainkan ada lima hukumnya.
Menikah itu hukumnya bisa wajib, bisa sunnah, bisa mubah, bisa makruh dan bisa juga haram. Itu adalah hukum menikah dalam pandangan para ulama fiqih yang memang kapasitasnya sebagai ahli hukum.
2. Sunnah Menurut Ahli Fiqih

Para ahli fiqih punya istilah sunnah yang mereka definisikan dengan beberapa batasan.
Sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa sunnah itu adalah sebuah perbuatan yang bila dikerjakan akan mendatangkan pahala dan bila tidak dikerjakan tidak mendatangkan dosa bagi pelakunya.
Lihat kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah jilid 1 halaman 67, juga kitab Ibnu Abidin jilid 1 halaman 70.
Sementara sebagian ahli fiqih lainnya membuat batasan bahwa sunnah adalah perbuatan yang selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, namun tidak sampai menjadi kewajiban karena tidak ada dalil yang menunjukkan atas kewajibannya.
Bisa kita baca dalam kitab Ibnu Abidin jilid 1 halaman 80 dan 404. Juga kitab Jawahirul Iklil jilid 1 halaman 73.
Ulama lain mendefinisikan sebagai metode dalam beragam yang tidak sampai difardhukan atau diwajibkan. Lihat kitab Kasyful Asrar oleh Al-Bazdawi jilid-jilid halaman 302.
3. Sunnah Menurut Ilmu Ushul (Ushuliyyin)

Yang dimaksud dengan sunnah adalah salah satu sumber hukum Islam. Kedudukannya setelah Al-Quran. Sering juga disebut dengan istilah sunnah nabi atau sunnah nabawiyah.
Pengertiannya adalah segala yang dinisbahkan kepadaNabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, perkataan dan taqrir. Sehingga kita mengenal ada sunnah fi'liyah, sunnah qauliyah dan sunnah taqririyah.
Dalam pengertian ini, sunnah itu merupakan muradif (sinonim) dari istilah hadits nabawi. Jelas berbeda dengan pengertian sunnah menurut para fuqaha ilmu fiqih.
Para ulama fiqih menyebut sunnah dalam kapasitas sifat atas suatu hukum. Misalnya hukumnya puasa Senin Kamis itu sunnah. Sedangkan menurut ulama ushul, sunnah itu adalah benda, yaitu kitab hadits yang berisi perkataan, perbuatan dan taqrir dari nabi Muhammad SAW.
Titik Temu Antara Semuanya

Kalau ada ungkapan bahwa kita harus berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah SAW, maka ungkapan ini harus kita pahami sebagai hadits nabi SAW, yang merupakan sumber dari sumber-sumber syariah Islam.
Maka ungkapan ini menjadi benar, tentu saja. Sebab kita memang harus menjadi hadits nabi SAW sebagai sumber dalam menjalankan agama Islam.
Namun pengertianya akan menjadi tidak selalu tepat kalau ditempatkan bukan pada tempatnya. Misalnya, ada orang yang mengatakan bahwa shalat qabilyah dan ba'diyah itu harus kita pegang teguh, bahkan wajib dilaksanakan. Sebab nabi Muhammad SAW selalu mengerjakannya.
Nah, di sini akan terlihat jelas bedanya. Shalat qabliyah dan ba'diyah itu memang selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, namun bukan berarti hukumnya wajib. Para ulama tidak pernah menghukumi kedua jenis shalat itu sebagai kewajiban, meski merupakan pekerjaan yang tidak pernah ditinggalkan oleh nabi SAW.
Mengapa demikian?
Kita tahu bahwa ternyata tidak semua pekerjaan yang dilakukanoleh nabi SAW, hukumnya menjadiwajib. Ada yang hukumnya memang wajib, tapi ada juga yang hukumnya sunnah, bahkan ada yang hukumnya mubah, makruh hingga sampai ke haram.
Lho sunnah nabi kok haram?
Ya, bisa saja sunnah nabi menjadi haram. Sebab sunnah nabi itu maksudnya adalah perbuatan nabi. Dan ada beberapa perbuatan nabi yang hukumnya haram dikerjakan oleh umatnya.
Misalnya berpuasa wishal, yaitu puasa yang bersambung terus beberapa hari tanpa berbuka. Nabi Muhammad SAW diriwayatkan secara shahih telah melakukannya, namun beliau melarang umatnya untuk melakukannya.
Contoh lain adalah beristeri lebih dari empat wanita secara bersamaan. Beliau diriwayatkan beristerikan 9 orang, atau ada yang bilang 11 orang. Jelas sekali riwayat itu sampai kepada kita dan kita semua sepakat membenarkannya.
Namun jelas juga hukumnya bagi umat Islam tentang keharaman beristri lebih dari 4 orang wanita. Walau pun nabi Muhammad SAW malah beristeri lebih dari empat orang.
Selain itu ada juga perbuatan yang menjadi wajib bagi nabi Muhammad SAW, namun bagi ummatnya malah tidak wajib. Misalnya shalat witir di malam hari (tahajjud). Sebagai umatnya, kita tidak diwajibkan untuk melakukannya, hukumnya buat kita hanya sunnah. Sedangkan buat nabi Muhammad SAW, hukumnya wajib.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Nikah Sunnah Nabi, Kok Banyak Ulama Membujang?

Berbicara tentang masalah pernikahan berarti kita sedang membicarakan sebuah tema yang selalu hangat untuk dibahas. Sebuah tema yang selalu menjadi topik utama pembicaraan para remaja. Hal tersebut tidaklah salah, bahkan sah-sah saja karena para remaja memang sedang memasuki usia matang untuk menikah. Tidak ketinggalan, Rasulullah SAW pun ikut menghangatkan tema ini dengan sabdanya:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ؛ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (متفق عليه)

“Wahai para pemuda…! Siapa saja diantara kalian yang telah mampu maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan siapa yang belum mampu maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu adalah penekan nafsu syahwat. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Menikah Adalah Sunnah Nabi

Teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua pakar hadits terkemuka Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Anas ibn Malik tentang tiga orang sahabat Nabi SAW yang datang menemui para istri Nabi SAW dan menanyakan tentang ibadah beliau.

Ketika mereka diberitahukan perihal ibadah Nabi SAW seakan-akan mereka masih menganggap kecil ibadah-ibadah yang telah mereka kerjakan selama ini. Mengapa? Karena Nabi SAW saja yang sudah mendapat jaminan ampunan dari Allah SWT baik dosa yang terdahulu maupun dosa yang belum dilakukan, masih terus beribadah dengan sungguh-sungguh. Sedang mereka yang belum mendapat jaminan ampunan, maka logikanya mereka seharusnya beribadah dengan lebih keras dan sungguh-sungguh lagi.

Lantas kira-kira apa yang ada dibenak mereka? laki-laki pertama mengatakan: “Saya akan shalat sepanjang malam dan tidak akan tidur”. Yang kedua lantas menimpali: “Adapun saya, saya akan puasa terus menerus”. Kemudian yang ketiga berujar: “Adapun saya, saya akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah”.

Kemudian datanglah Rasulullah SAW dan bersabda: “Kalian berbicara begini dan begini padahal aku adalah yang seorang yang paling takut kepada Allah SWT dan paling bertaqwa kepadanya, akan tetapi aku shalat dan juga tidur, aku puasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), dan aku juga menikahi wanita, siapa saja yang tidak suka terhadap sunnahku maka dia bukan termasuk dariku (umatku)”. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Menikah, Kenikmatan Yang Bernilai Ibadah

Islam tidaklah seperti agama yang dianut oleh para hewan berwujud manusia yang selalu menuhankan syahwat dan hawa nafsunya. Islam juga bukan agama yang mengajarkan kemunafikan dengan berbalut suci baju kerahiban. Suci dalam kepura-puraan dan hewan dalam wujud dan perbuatan.

Inilah islam, agama sempurna yang semua ajarannya bersumber dari wahyu tuhan semesta alam.  Menikah …! Ya itulah solusinya. Kenikmatan yang bernilai ibadah. Solusi syar’i untuk menyalurkan syahwat insani.

Islam sangat memperhatikan fitrah suci manusia. Tidak mengajarkan pemeluknya untuk mengumbar syahwatnya, tidak pula memerintahkan membuang jauh syahwat yang memang sudah menjadi fitrah manusia. Islam sangat menganjurkan bagi mereka yang telah mampu agar segera menikah.

Pernikahan…! Di dalamnya ada ketenangan. Di dalamnya ada kebahagiaan. Ada suami, imam gagah dengan mahkota qawwamah. Ada istri, sosok yang  menebarkan sakinahdalam rumah tangga. Juga ada anak-anak yang menjadi penyejuk mata.

Lantas, Kenapa Banyak Ulama Tidak Menikah…???

Satu hal yang perlu saya pertegas disini bahwa yang dimaksud banyak bukanlah mayoritas. Banyak dalam bahasa arab bisa dikatakan sebagai jama’Jama’ artinya lebih dari dua.Jama’ artinya dimulai dari tiga dan juga masuk di dalamnya bilangan-bilangan setelahnya.

Perlu kita ketahui bahwa tidak menikah adalah pilihan yang sangat berat. Konsekuensi dari pilihan itu adalah tiadanya sosok istri yang memberikan ketenangan jiwa dan pelayanan baginya. Tiadanya anak-anak penyejuk mata yang berarti juga menjadikan putus nasabnya. Juga ada nafsu syahwat yang harus dikekangnya agar tidak menjadikan dirinya bermaksiat kepada tuhannya.

Tidak Ada Hadits Shahih Tentang Keutamaan Membujang

Memang ada hadits-hadits yang bertebaran dikalangan masyarakat tentang keutamaan membujang. Tapi inilah perkataan seorang pakar hadits yang keilmuannya telah diakui umat islam. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam kitab al-Manar al-Munif fii ash-Shahih Wa adh-Dha’if :

أحاديث مدح العزوبة كلها باطل

“Hadits-hadits yang memuji untuk membujang semuanya bathil”.

Antara Menuntut Ilmu Dan Menikah

Tidak ada yang meragukan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi SAW. Di sisi yang lain menuntut ilmu merupakan amalan yang sangat mulia. Bahkan Rasulullah SAW dalam hadits-hadits beliau banyak memuji para penuntut ilmu. Salah satu hadits tersebut adalah sabda beliau SAW:

{فضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما وإنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر} (رواه أبو داود والترمذي).

“Keutamaan seorang yang berilmu di banding ahli ibadah (yang tidak berilmu) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang, sungguh para ulama adalah ahli waris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu, siapa yang mengambilnya maka hendaklah mengambil bagian yang banyak”. (HR.Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Itulah kemuliaan ilmu. Warisan para nabi wang diwariskan kepada para ulama. Tiada yang menyamai tingkatan kenabian, akan tetapi ilmu lah yang berada di bawah tingkat kenabian tersebut.

Para ulama bagaikan matahari yang dengan sinar ilmunya mereka menerangi gelap kebodohan dunia. Mereka bagaikan bintang yang menjadi petunjuk bagi umat manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Nabi SAW mengatakan kepada Ali ibn Abi Thalib jika dia menjadi sebab seorang saja mendapat petunjuk maka hal itu lebih baik baginya dibanding unta merah. Dalam riwayat yang lain dikatakan lebih baik dari dunia dan seluruh isinya.

Sebuah Hadits Nabi SAW Sebagai  Bahan Renungan

Imam al-Hakim meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak juga Imam al-Haitsami dalam kitab Majma’ az-Zawa’id sebuah hadits dari sahabat al-Aswad ibn Khalaf dari Nabi SAW. Ketika beliau merengkuh Hasan kemudian beliau menciumnya. Ketika para sahabat menemuinya, beliau bersabda:

{إن الولد مخبلة مجهلة مجبنة} (رواه البزار)

“Sesungguhnya anak adalah (penyebab) kekikiran, kebodohan dan kepengecutan”. (HR.al-Bazzar)

Az-Zamakhsari dalam kitab al-Fa’iq mengatakan bahwa: “Maksudnya adalah anak menjadikan bapaknya kikir karena dia menahan hartanya untuk diberikan pada anaknya, menjadi sibuk dengan anaknya dari menuntut ilmu, menjadi pengecut karena takut dibunuh dan menelantarkan anaknya”.

Kisah Salah Seorang Ulama

Abu Bakar an-Naisaburi berkata kepada Yusuf al-Qawwas: “Kamu tahu seorang yang shalat selama empat puluh tahun dan tidak pernah tidur malam? Setiap hari cuma memakakan lima butir (kurma)? Shalat shubuh dengan wudhu shalat isya’? orang tersebut adalah saya sebelum mengenal Ummu Abdirrahman. Apa yang saya katakan kepada seorang yang menikahkanku?” Kemudian dia berkata: “Saya tidak menginginkan kecuali kebaikan”.

Wahai Para Penuntut Ilmu…!

Sebuah nasehat berharga dari Umar ibn Khathab yang wajib kita renungkan adalah perkataan beliau:
تفقّهوا قبلَ أَن تسودوا

“Menjadilah faqih (dengan menuntut ilmu) sebelum menjadi pemimpin”.

Sebuah nasehat yang sangat luar biasa yang menunjukkan pentingnya menuntut ilmu. Bahkan sebagian ulama menafsirkan perkataan Umar ibn Khathab tersebut dengan anjuran menununtut ilmu sebelum menikah. Loh kok bisa? Bisa. Karena pada hakekatnya seorang suami juga harus menjadi pemimpin rumah tangganya yang otomatis dia akan sibuk dan perhatiannya terhadap ilmu pun akan berkurang.

Perkataan-Perkataan Para Ulama Yang Perlu Kita Ketahui

Disini saya akan mencoba untuk menukil perkataan-perkataan para ulama yang cukup menarik untuk kita ketahui. Imam al-Khathib al-Baghdadi menjelaskan dalam kitab al-Jami’ Lii Akhlaqi ar-Rawi Wa Aadabi as-Sami’: “Dianjurkan agar penuntut ilmu membujang sampai batas yang memungkinkan baginya, karena kesibukannya dalam menunaikan hak-hak suami istri dan mencari penghidupan akan menghalanginya untuk menuntut ilmu”.

Bahkan Imam Sufyan at-Tsauri mengatakan: ”Siapa yang telah menikah berarti dia telah mengarungi samudra, jika telah lahir seorang anak maka dengan itu perahunya hancur”. Maksudnya seorang yang telah menikah dan juga telah dikaruniai anak maka otomatis waktunya untuk mencari ilmu akan berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaid al-Khathir berkata: “Saya memilih bagi penuntut ilmu yang masih pemula agar menghindari untuk menikah sesuai kemampuannya, bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak menikah sehingga umur beliau mencapai empat puluh tahun”.

Sebuah hal yang mencengangkan datang dari sebuah ungkapan salah seorang ulama:
ذُبِحَ العلمُ بين أفخاذِ النساءِ

“Ilmu itu telah disembelih diantara paha para wanita”.

Artinya kenikmatan menikahi seorang wanita terkadang dapat menjadikan seseorang berhenti untuk menuntut ilmu. Ungkapan yang lain menyebutkan: “Ilmu itu telah hilang dalam paha para wanita”.

Perlu kita ingat bahwa para ulama pada masa itu harus melakukan perjalanan melintasi kota atau bahkan melintasi negara untuk menuntut ilmu. Maka jelas berkeluarga pada saat itu dapat menghambat dan menghalangi mereka untuk menuntut ilmu. Hal tersebut mungkin agak berbeda dengan zaman kita sekarang.

Para Ulama Mengharamkan Yang Dihalalkan Allah?

Mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT merupakan dosa yang sangat besar. Bahkan hal tersebut sudah menjadi bentuk kesyirikan kepada Allah SWT. Lantas benarkah para ulama  berani mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah SWT? Bahkan Allah SWT berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ})المائدة: 87(

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS.al-Maidah : 87)

Benarkah para ulama tersebut sudah jatuh ke dalam larangan ayat di atas? Tunggu dulu! Jangan sekali-kali kita menyimpulkan sesuatu semau kita sendiri!

Imam asy-Syathibi dalam kitab al-I’thisham menjelaskan terkait ayat di atas. Ada beberapa hal menurut beliau yang perlu kita ketahui terkait pengharaman yang halal. Dan gambaran dari hal tersebut ada rinciannya.

Yang pertama: Pengharaman hakiki. Dan pengharaman jenis inilah yang dilakukan oleh orang-orang kafir seperti dalam masalah al-Bahirah dan as-Sa’ibah yang telah Allah SWT terangkan dalam al-Qur’an.

Yang kedua: Hanya sebatas meninggalkan dan tidak ada tujuan untuk mengharamkan. Hal tersebut juga terjadi pada Rasulullah SAW yang meninggalkan memakan adh-Dhabb (kadal padang pasir/ biawak). Beliau bersabda:
{إنه لم يكنْ بأرضِ قومي، فأجدُنِي أعافُهُ} (رواه الجماعة إلا الترمذي)

“Sesengguhnya dia tidak ada di negri kaumku, sehingga aku mendapati diriku tidak menyukainya”. (HR.Jama’ah kecuali at-Tirmidzi)

Tidak Menikah Adalah Pilihan?

Tidak menikah adalah pilihan sebagian ulama berdasarkan ijtihad mereka dengan mempertimbangkan berbagai hal dan mashlahatnya. Tidak menikah bukanlah madzhab sebagian ulama yang kemudian mereka mengajak orang-orang untuk mengikuti mereka. Hal tersebut tidak akan pernah kita temukan dalam kitab-kitab para ulama. Bahkan tidak ada seorang ulama pun yang mengharamkan pernikahan dan mengajak orang lain untuk tidak menikah.

Pilihan untuk tidak menikah merupakan pengorbanan sebagian ulama demi memfokuskan diri mereka terhadap ilmu agama yang memang sangat dibutuhkan oleh umat islam. Hal tersebut berdasarkan ijtihad mereka dengan mempertimbangkan berbagai hal dan maslahatnya juga keadaan diri mereka, lingkungan mereka dan kondisi umat islam secara keseluruhan serta kebutuhan mereka terhadap ilmu agama.

Siapa Saja Ulama Yang Tidak Menikah?

Dalam hal ini banyak ulama yang mengorbankan diri mereka untuk tidak menikah demi berkhidmah pada umat islam dalam hal menuntut dan mengajarkan ilmu agama. Hanya saja pada tulisan ini saya hanya akan menyebutkan beberapa nama di antara mereka yang memang namanya sudah sangat masyhur di kalangan umat islam. Sebut saja Imam ibnu Jarir ath-Thabari, Imam an-Nawawi, begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Apakah Mereka Tidak Berhasrat Kepada Wanita?

Ketika mendengar pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan kisah seorang yang sangat luar biasa. Seorang yang oleh para ulama dianggap sebagai khulafaurrasyidin yang kelima. Ya, dialah Umar ibn Abdul Aziz.

Lantas apa hubungan pertanyaan di atas dengan kisah Umar ibn Abdul Aziz? Saya akan mencoba untuk menjawabnya. Ketika Umar ibn Abdul Aziz diamanahi untuk menjadi seorang khalifah maka beliau menganggap hal tersebut sebagai amanah dan tanggung jawab yang sangat berat, sampai-sampai beliau mengatakan kepada istrinya bahwa sudah tidak ada waktu lagi buat istrinya. Beliau merasa waktu beliau sudah habis untuk mengurus urusan kaum muslimin yang sudah diamanahkan kepada dirinya.

Akan tetapi istri beliau Fathimah binti Abdul Malik adalah wanita sholehah yang lebih memilih untuk bersabar dan terus mendampingi suaminya Umar ibn Abdul Aziz. Dan pengakuan istrinya ketika Umar ibn Abdul Aziz sudah wafat bisa menjadi pelajaran buat kita semua. “Umar ibn Abdul Aziz tidak pernah mandi besar baik karena janabah atau mimpi basah sejak dia diangkat menjadi khalifah sampai dia meninggal”.

Ilmu Adalah Warisan Para Nabi

Lantas adakah sesuatu yang lebih besar dibandingkan ilmu yang merupakan warisan para nabi?  Maka urusan wanita bagi para ulama dibandingkan dengan ilmu merupakan hal yang kecil.

Kebutuhan umat terhadap ilmu agama sangat besar. Maka sangatlah wajar jika ulama (ahli waris nabi) merasa mendapatkan amanah yang begitu besar untuk berkhidmah bagi umat islam. Begitu besarnya amanah dan tanggung jawab yang mereka emban menjadikan urusan wanita menjadi sangat kecil. Bahkan

Itulah pengorbanan para penuntut ilmu. Maka pantaslah jika Allah SWT meninggikan derajat mereka. Allah SWT berfirman:
{يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}(الحجرات : 11)

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.  (QS.al-Mujadilah : 11)

Wallahu A’lam Bish showab