Mau Pasang Iklan, Hub Biro Iklan, Aulia Advertising, Telp 0813 8468 1151
Aulia PROPERTY,MEMASARKAN BALE PERIGI, PURI SINAR PAMULANG, PESONA ALAM CIPUTAT, CLUSTER Tsb Ready Stock Telp 081384681151

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus
Spesialis cetak/sablon spanduk kain promosi,SPANDUK KAIN Dwitama Advertising Benda Baru, Pamulang, Tangsel Telp, 0856 7386 103, 0813 8468 1151

Senin, 24 Oktober 2016

Haji dan Kurban: Totalitas Ketaatan Kepada Allah SWT

Haji dan Kurban: Totalitas Ketaatan Kepada Allah SWT
Dwitama Spanduk




Ada dua peristiwa besar pada bulan Dzulhijjah ini. Pertama: Ibadah haji, yang puncaknya adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Kedua: Penyembelihan hewan kurban, yang dimulai tanggal 10 Dzulhijjah
Berkaitan dengan ibadah haji setidaknya ada satu hikmah berharga yang bisa kita petik. Ibadah haji—seperti halnya shalat, shaum dan ibadah-ibadah ritual lainnya—sesungguhnya mengajarkan satu hal: kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT.

Betapa tidak. Seorang Muslim, yang mungkin terbiasa berpakaian bagus dan mahal di negerinya, saat menjalankan ritual haji di Tanah Suci, rela dan pasrah untuk hanya mengenakan pakaian ihram yang sederhana dan bahkan tak berjahit , berkendaraan mewah dan ber-AC, saat berhaji rela dan pasrah berjalan kaki atau berlari-lari ketika tawaf atau sa’i di tengah terik matahari yang menyengat, terbiasa hidup serba nyaman, saat berhaji rela dan pasrah untuk ikut berdesak-desakan dengan jamaah haji lainnya saat melempar jumrah atau sekadar untuk mencium Hajar Aswad.

Pertanyaannya: Lalu bagaimana sikap mereka di luar ibadah haji?


Sayang seribu kali sayang. Kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT sering tidak muncul pada sebagian mereka di luar ibadah haji.   Kita, misalnya, masih sering menyaksikan sebagian kaum Muslim yang tak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah mengharamkan riba.
Bagi sebagian Muslim, muamalah ribawi yang melibatkan perbankan, asuransi lembaga leasing atau yang serupa bahkan seolah menjadi kebutuhan dan gaya hidup.  Yang lebih parah, Pemerintah adalah pelaku riba terbesar. Bagaimana tidak? Penguasa negeri ini terus menumpuk utang luar negeri berbasis riba dengan bunga yang sangat tinggi. Bank Indonesia (BI) meliris bahwa pada Triwulan II tahun ini utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 4.281 triliun (Tempo.co, 23/8/2016).

Percetakan Aulia Adv
Tahun ini pula Pemerintah harus membayar cicilan bunga utang sebesar Rp 191,2 triliun dan tahun depan Rp 221,4 triliun (Detik.com, 18/8/206).  Tentu, itu belum termasuk cicilan pokoknya. Padahal jelas, riba haram dan termasuk dosa besar. Allah SWT bahkan telah mengancam pelakunya dengan ancaman keras (QS al-Baqarah [2]: 275, 278-279). Rasulullah juga tegas menyatakan:
«دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنِيَّةً»
Satu dirham yang dinikmati seseorang, sementara dia tahu, adalah lebih besar (dosanya) daripada 36 kali zina(HR ad-Daruquthni, ath-Thabrani dan al-Haitsami).

Zina adalah dosa besar. Pelakunya layak dihukum cambuk 100 kali atau dirajam sampai mati. Namun, riba ternyata jauh lebih besar dosanya daripada zina. Jika satu dirham (sekitar Rp 60 ribu) harta riba dosanya lebih besar daripada 36 kali zina, tentu tak terbayangkan dosa dari harta riba sebanyak ratusan bahkan ribuan triliun rupiah.

Biro Iklan Aulia Advertising
Berbeda dengan saat ibadah haji, kita pun masih sering menemukan sebagian kaum Muslimah yang tidak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah mewajibkan mereka untuk menutup aurat dan berjilbab ketika keluar rumah.  Kita masih menyaksikan sebagian Muslim yang mengkonsumsi miras dan narkoba, berjudi dan berselingkuh/main perempuan.   Bahkan pergaulan bebas alias zina telah merebak di kalangan remaja. Berdasarkan data BKKBN tahun 2014 saja, 46 persen remaja berusia 15-19 tahun sudah berhubungan seks di luar nikah (zina) (Bkkbn.go.id, 12/8/2014). Padahal jelas, zina termasuk dosa besar yang wajib dijauhi (QS al-Isra’ [17]: 32).
Jika sudah begini, siap-siaplah bangsa ini menghadapi azab Allah SWT, sebagaimana telah diisyaratkan Bagi Nabi Muhammad saw.:
«إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَ الرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ»
Jika zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti penduduknya telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka (HR al-Baihaqi).

Kita pun sering menjumpai para penguasa dan para pejabat yang tidak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah melarang mereka untuk korupsi. Mereka pun berkali-kali berbohong, melanggar janji dan menipu rakyatnya sendiri. Bahkan mereka tega menzalimi bangsanya sendiri, di antaranya dengan pajak yang berlipat-lipat. Padahal Baginda Rasulullah saw. telah bersabda:
«مَا مِنْ رَجُلٍ يَسْتَرْعَى رَعِيَّةً يَمُوْتُ حَيْنَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ اِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seseorang diangkat untuk mengurus rakyat, lalu mati, sementara ia menipu (menzalimi) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari).

Betapa penguasa dan para elit wakil rakyat pun hingga saat ini tetap menolak untuk menerapkan syariah Islam secara formal dalam kehidupan bernegara. Padahal Allah SWT telah berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً﴾
Hai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total (QS al-Baqarah [2]: 208).

Di dalam tasfirnya, Aysar at-Tafâsîr, Imam al-Jazairi menyatakan bahwa kata kaffat[an] dalam ayat di atas bermakna jâmi’[‘an]. Karena itu, kata Imam al-Jazairi, tidak boleh sedikit pun kaum Muslim meninggalkan syariah dan hukum-hukum Islam.

Yang tak kalah mengherankan, ada di antara mereka yang digelari ulama, kiai, ustadz atau tokoh agama menghalalkan sesuatu yang nyata-nyata telah Allah SWT haramkan.
Misalnya, mereka tanpa malu-malu menghalalkan kepemimpinan orang-orang kafir atas kaum Mukmin.  Padahal tegas Allah SWT telah menyatakan keharaman kaum Mukmin mengangkat orang kafir menjadi pemimpin mereka (Lihat, antara lain: QS al-Maidah [5]: 51).

Pada saat yang sama ada di antara mereka yang digelari ulama, kiai, ustadz atau tokoh agama malah menolak dengan keras kepemimpinan Islam, yakni Khilafah, dengan berbagai alasan. Di antaranya, menurut mereka, Khilafah tidak wajib ditegakkan. Padahal kewajiban menegakkan Khilafah bukan saja telah menjadi Ijmak Sahabat, tetapi juga telah menjadi Ijmak ulama. Saat menafsirkan kalimat ”InnîJâ’il[un] fî al-ardhi khalîfah” (QS al-Baqarah [2]: 20), Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menyatakan, ”Mengangkat imam (khalifah)—yakni menegakkan Khilafah, red.—adalah wajib. Tak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) tentang kewajiban mengangkat imam (khalifah) ini di kalangan umat Islam dan para imam mazhab, kecuali yang diriwayatkan dari al-’Asham.”

Imam al-Jaziri, di dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, juga menyatakan hal serupa. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim pun menegaskan hal yang sama. Bahkan menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami di dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah (I/25), para Sahabat telah menjadikan upaya menegakkan Khilafah sebagai ahammi al-wâjibât (kewajiban paling penting).

Selain menolak kewajiban menegakkan Khilafah, mereka pun berdalih bahwa jika ditegakkan Khilafah bisa memecah-belah, mengancam negara, dll. Tuduhan tersebut tentu saja tuduhan palsu tanpa bukti.
Anehnya, mereka buta terhadap sekularisme dengan neoliberalismenya, yang nyata-nyata telah merusak dan membangkrutkan negeri ini. Mereka pun seolah menutup mata bahaya neoimperialisme yang dilancarkan negara-negara kafir penjajah, khususnya Amerika, Eropa dan Cina, melalui instrumen utang luar negeri, investasi asing, pasar bebas, dll. Faktanya, akibat neoliberalisme dan neoimperalisme, sebagian besar tanah dan air kita telah dikuasai asing; demikian pula sebagian besar kekayaan negeri ini. Menurut Data Litbang Kompas 2011, hingga tahun 2011 saja, asing telah menguasai: 70% tambang migas; 75% batubara, bouksit, nikel dan timah;’ 85% tembaga dan emas; dan 40% perkebunan sawit dari total 8,5 juta hektar.
Padahal penguasaan swasta apalagi asing atas sumber-sumber keayaan alam milik umat jelas haram karena bertentangan dengan nash-nash syariah

Sementara itu, terkait dengan ritual penyembelihan hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha ini, kita selalu diingatkan kisah tentang ketundukan Nabi Ibrahim as. dan putranya, Nabi Ismail as., dalam menjalankan perintah Allah SWT. Ibrahim rela kehilangan putranya. Ismail tak keberatan kehilangan nyawanya. Tentu kepasrahan, ketundukan, ketaatan dan pengorbanan mereka seharusnya menjadi teladan bagi kita.
Sebagaimana Nabi Ibrahim as., kita pun menerima berbagai kewajiban yang harus dikerjakan. Di antara kewajiban itu adalah menerapkan syariah Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan kita; meliputi ibadah ritual, makanan, pakaian dan akhlak; juga meliputi sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem hukum dan peradilan, sistem pendidikan, politik luar negeri, dsb. Keseluruhan syariah itu wajib kita terapkan. Tak boleh ada yang diabaikan, ditelantarkan, apalagi didustakan, karena hal itu hanya akan mengantarkan kita pada kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat (QS al-Baqarah [2]: 85).
Berdasarkan fakta itu, jelas keberadaan negara yang menjalankan syariah Allah SWT menjadi wajib. Sebab, tanpa adanya negara, yakni Khilafah, niscaya sebagian besar syariah akan tetap terlantar sebagaimana saat ini.
Alhasil, jika hikmah (pelajaran) dari haji dan kurban adalah kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT, maka semua itu harus juga diwujudkan di dalam kehidupan nyata di luar haji dan kurban.


Untuk itu, mari kita buktikan kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kita kepada Allah SWT itu dengan sama-sama berjuang menerapkan syariah-Nya secara kaffâh dalam institusi Khilafah ar-Rasyidah’ala Minhâj an-Nubuwwah. []

Percetakan Aulia Advertising

Iklan Biro 






Kantor Cab.   PT. Sukses Media Kita Advertising.
Jl.Haji Rean Komp.Pamulang Regency Blok B 1 No 15, Benda Baru, Pamulang,Tangerang Selatan,  Banten. 15417
HP XL : 0859-6661-4393.
HP Indosat : 0856-7386-103.

Tiga Pilar Mencegah Terpilihnya Pemimpin Kafir

 Setidaknya ada tiga cara yang masif dilakukan, baik oleh HTI dan komponen umat lainnya untuk mencegah terpilihnya pemimpin kafir.

  Pertama, perlunya menyadarkan umat Islam sendiri agar tidak memilih calon pemimpin yang kafir. Biar mereka (pemimpin kafir) dicalonkan, biar mereka dikampanyekan, dan mau didukung oleh korporasi/pengusaha, atau mafia besar sekalipun, kalau umat Islam sadar maka umat Islam tidak akan tertipu dengan tipuan mereka. Umat tidak akan nyoblos pemimpin kafir.
HTI, selama 4 bln ke belakang sudah mencetak jutaan eksemplar buletin al islam yg di sebar setiap jumat di pelosok masjid di ibukota, mencetak 60rb tabloid dan mencetak 30rb buletin yg tujuannya satu yakni untuk penyadaran kepada umat agar menolak pemimpin kufur.
Di tambah lagi dgn khutbah jumat, tabligh akbar dan kajian2 baik di kantor2, masjid/musholla dan sosial media dgn tema yg sama. Sekali lg, itu sdh dilakukan 4 bln ygll.
Umat islam hanya dan hanya jika menolak pemimpin kafir ktk umat paham betul bahwa memilih pemimpin kafir adl haram hukumnya.
Umat islam di jakarta hampir 80% jumlahnya. Jika semua sepakat menolak pemimpin kafir krn tumbuh dr kesadaran dan pemahaman maka walau dicalonkan, walau dikampanyekan diberbagai media, walau di dukung korporasi/pengusaha sekalipun mk umat islam jakarta tetap tidak tertipu. Tetap teguh dlm pendirian. Tdk tergoda bahkan tidak akan menggadaikan pemahamannya ttg keharaman pemimpin kafir dgn uang receh 300rb atau sebungkus indomie. Tetap menolak pemimpin kafir.
Jadi, jk langkah pertama ini dilakukan scr masif dan bersama-sama dilakukan oleh seluruh ormas, juga oleh partai-partai politik islam/pemimpinnya islam dan semua tokoh islam maka yakinlah pemimpin kafir tidak akan terpilih. Karena semua bergerak memahamkan umat. Di titik ini, HTI sdh melakukannya 4 bln ygll.

Percetakan Aulia Adv
  Kedua, perlu juga penyadaran terhadap partai-partai yang notabene anggotanya Muslim agar tidak membantu calon pemimpin kafir berkuasa dengan mencalonkannya.
Kita paham bersama bahwa ketua umum Golkar, Hanura, PKS, PPP, PKB dan Nasdem, mereka Muslim. Kita harus ingatkan mereka, kalau Muslim jangan memilih pemimpin kafir untuk berkuasa.
Jika mereka masih ngotot mencalonkan pemimpin kafir mk mereka lah sejatinya yg mjd sumber masalahnya. Sederhana saja, jika mereka yg nota bene islam, kenapa mencalonkan pemimpin kafir? Jk mereka tidak mencalonkan pemimpin kafir maka *selesailah permaslahan yang selama ini kita perdepatkan. Tidak akan muncul calon pemimpin kafir.

HTI dari kemarin sudah menasehati para pemimpin kafir. HTI akan terus mendatangi mereka. Mengingatkan mereka hingga waktu terakhir pencalonan.
Saat ini terjadi perbedaan yang nyata antara ormas dgn parpol. Hampir semua pimpinan ormas islam sepakat menolak pemimpin kafir, namun justru sebaliknya terjadi pd pimpinan parpol. Mereka malah melakukan deal-deal traksaksional untuk kepentingan pribadi dan partainya semata. Untuk bagi-bagi jabatan semata. Kepentingan umat islam disisihkan.
Jadi, sekali lagi, monggo yg punya akses untuk menasehati para pemimpin parpol, mari kita nasehati mereka bersama. Krn mereka lah sumber masalahnya, mencalonkan pemimpin kafir.
Juga, kalau mereka partai-partai itu masih ngotot maka umat Islam akan melihat dan kapok memilih, karena mereka telah menipu dan mengkhianati dengan menggunakan suara-suara umat Islam, justru malah untuk menaikkan pemimpin kafir.

  Ketiga,  dan ini merupakan faktor utama mengapa orang kafir bisa terpilih menjadi kepala negara atau pun gubernur. Orang kafir bisa berkuasa karena sistem yang diterapkan memang membolehkan mereka berkuasa.
Dwitama Spanduk
Karena itulah, umat Islam harus berjuang keras untuk mengubah sistem demokrasi yang membolehkan pemimpin kafir berkuasa, bukan sekadar berjuang merebut kekuasaan saja. InshaAllah HTI terus mengkampanyekan pentingnya syariat Islam untuk kesejahteraan Indonesia.
Tiga di atas, inshaAllah yang telah lama dan akan terus dilakukan.


TAKHAYUL DAN KHURAFAT TUMBUH SUBUR DALAM MASYARAKAT SEKULAR

Dwitama Spanduk Advertising

Belakangan masyarakat dikejutkan oleh kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo. Sosok Dimas Kanjeng memikat ribuan orang dengan kemampuannya mengeluarkan perhiasan dan sejumlah mata uang dari berbagai negara. Bertumpuk-tumpuk uang bisa ia datangkan. Tidak aneh jika orang berbondong-bondong datang ke padepokannya untuk menjadi pengikutnya. Ada petani, aparat negara, militer hingga intelektual. Bahkan ketua yayasan padepokannya adalah Marwah Daud Ibrahim, seorang doktor lulusan Amerika sekaligus pengurus ICMI dan MUI. Di mata pengikutnya, apa yang dilakukan oleh Dimas Kanjeng adalah karomah bagi seorang waliyullah. Bahkan berbagai teori ilmilah modern dikeluarkan untuk membenarkan berbagai perbuatan sang guru besar. 
Pimpinan padepokan dengan ribuan pengikut ini akhirnya ditangkap polisi setelah diduga terlibat dalam kasus penipuan dan perencanaan pembunuhan pengikutnya sendiri. 

Karomah atau Sihir? 

Dalam Islam, kejadian luar biasa yang bertentangan dengan keteraturan alam semesta (nizhâmul-wujûd) bisa dikategorikan dalam tiga: mukjizat, karomah atau sihir. Profesor Rawwas Qal’ahji dalam Mu’jam al-Lughah Fuqaha menjelaskan bahwa kejadian luar biasa seperti bulan terbelah, jika terjadi pada nabi, itu adalah mukjizat; jika terjadi pada orang shalih, itu adalah karomah; sedangkan jika terjadi pada orang jahat, itu adalah istidrâj. 
Karena itu peristiwa bulan terbelah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., laut terbelah oleh pukulan tongkat Nabi Musa as., atau Nabi Ibrahim as. selamat dari proses pembakaran yang dilakukan oleh Raja Namrudz, adalah bagian dari mukjizat yang hanya Allah SWT berikan kepada para nabi dan rasul, tidak diberikan kepada umat manusia. 
Adapun karomah hanya terjadi pada orang-orang shalih, seperti kemampuan Umar bin Khaththab ra. memberikan komando kepada pasukan kaum Muslim dari jarak jauh, atau pasukan yang dipimpin oleh Saad bin Abi Waqqash ra. yang mampu berjalan di atas Sungai Tigris. Semua itu adalah karomah yang Allah SWT berikan kepada hamba-hamba-Nya yang shalih. Di dalam hadis qudsi Allah SWT berfirman: 

مَنْ عَادَى لِـيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْـحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِـيْ لَأُعِيْذَنَّهُ. 
_Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepada dia. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepada dirinya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintai dia. Jika Aku telah mencintai dia, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberi dia. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindungi dia.”_ (HR al-Bukhari). 

Berdasarkan hadis di atas, yang berhak mendapatkan karomah atau pertolongan Allah SWT adalah mereka yang selalu mengerjakan perintah-perintah-Nya baik yang wajib maupun yang sunnah. Tak mungkin Allah SWT memberikan kemuliaan kepada seseorang yang justru kerap menelantarkan perintah dan larangan-Nya; menipu, membunuh orang tak bersalah serta memusuhi orang-orang yang berjuang menegakkan syariah-Nya. 
Andaikata ada orang yang kerap berbuat maksiat tetapi mendapatkan sesuatu yang di luar kebiasaan semisal menghasilkan uang atau perhiasan dengan amat banyak secara tiba-tiba dari langit atau dari bumi, mampu berjalan di atas air, terbang di udara tanpa alat, maka menurut Profesor Rawwas Qal’ahji, itulah istidrâj. 
Andai pelakunya melakukan hal itu dengan meminta bantuan jin maka perbuatannya termasuk sihir dan hukumnya haram. Dalam kitab Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah dikatakan, setiap permohonan bantuan (istighotsah) yang dilakukan bukan kepada Allah SWT adalah terlarang; di antaranya adalah istghotsah kepada bangsa jin. Apalagi sebenarnya jin tidak memiliki kemampuan dan malah bisa menyesatkan manusia (Lihat: QS al-Jin [72]: 6). 
Oleh karena itu, saat menyaksikan peristiwa yang menyalahi keteraturan alam semesta, semestinya kaum Muslim menimbang dulu hal tersebut dengan hukum syariah, apakah ini karomah atau istdijrâj dan sihir. Bukan langsung terkagum-kagum lalu dengan gelap mata membenarkan dan mengikuti ajarannya. 
Sungguh tepat perkataan Imam Syafii, “Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di atas udara, janganlah kalian terpedaya hingga kalian menimbang perkaranya di atas al-Quran dan as-Sunnah." (Tafsir Ibnu Katsir, 1/233, Maktabah Syamilah). 

Biro Iklan Aulia Advertising


Haram Mempercayai Dukun atau Paranormal 

Praktik perdukunan ala Dimas Kanjeng sebetulnya sudah sering terjadi di Tanah Air dan cukup marak. Banyak kalangan terbiasa menggunakan bantuan dukun/paranormal untuk berbagai kepentingan mereka. Di setiap Pilkada atau Pemilu tak sedikit caleg atau calon kepala daerah yang meminta bantuan jasa paranormal/dukun. Mereka mau melakukan apa saja seperti tirakat di sungai, di gua, memberi sesaji, dll asal hajat mereka terpenuhi. Padahal praktik-praktik seperti itu haram. Dalilnya adalah sabda Nabi saw.: 
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً 
_Siapa saja yang mendatangi seorang peramal, lalu dia bertanya kepada dukun itu tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam_ (HR Muslim). 

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
_Siapa saja yang mendatangi seorang dukun atau peramal, lalu membenarkan apa yang dikatakan dukun atau paranormal itu, maka dia telah kafir terhadap apa (al-Quran) yang diturunkan kepada Muhammad saw_. (HR Ahmad). 

Akibat Sekularisme 
Mengapa perdukunan dan fenomena paranormal terus berkembang padahal telah jelas keharamannya? Sebabnya berpangkal pada kerusakan akidah umat hari ini yang menganut sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Saat agama dipisahkan dari kehidupan dan tidak dijadikan landasan kehidupan, kaum Muslim banyak yang kehilangan pegangan hidup. Mereka tidak bisa lagi menimbang persoalan dengan benar, termasuk dalam perkara supranatural atau gaib. Mereka lebih mengikuti perasaan atau mencoba mengilmiahkan hal-hal gaib tersebut. Akibatnya, mereka mudah terjebak dalam budaya takhayul dan khurafat. 
Padahal perkara gaib tak mungkin bisa dibahas secara rasional karena memang tak bisa diindera dan dijangkau akal. Semua perkara gaib membutuhkan penjelasan dari Allah SWT Yang Mahatahu perkara yang lahir maupun yang gaib. Justru ketika seseorang mencoba merasionalkan perkara gaib, ia sudah jatuh dalam kesesatan. Allah SWT berfirman: 

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ 
_Hanya di sisi Allahlah kunci-kunci perkara gaib. Tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali Dia_ (QS al-An’am [6]: 59). 

Sekularisme telah membuat kaum Muslim menjauh dari agama. Sayangnya, saat ini sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) justru dijadikan pegangan hidup. Kaum Muslim tidak menjadikan akidah Islam sebagai landasan masalah gaib maupun kehidupan dunia, sekaligus sebagai landasan pembuatan undang-undang. Akibatnya, takhayul dan khurafat kian menjadi serta diterima banyak kalangan, termasuk oleh mereka yang berpendidikan tinggi tetapi minim pengetahuan agamanya. 
Keadaan bertambah parah karena negara tidak melindungi akidah umat Islam. Negara justru membiarkan praktik perdukunan dan paranormal berkembang. Malah profesi paranormal mendapat tempat istimewa di tengah-tengah masyarakat. Mereka diperlakukan bak selebritis dan kaya-raya. Banyak pengusaha, pejabat dan kaum intelektual lebih percaya kepada para dukun/paranormal ketimbang pada al-Quran dan as-Sunnah. Sungguh sebuah tragedi. Padahal menurut syariah Islam, tukang sihir harus diberi sanksi keras karena merusak akidah umat. Sabda Nabi saw.: 
حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ 
_Hukuman bagi tukang sihir adalah dengan dipenggal lehernya dengan pedang_ (HR at-Tirmidzi). 

Wahai kaum Muslim! 
Inilah akibat Islam dicampakkan. Inilah akibat sekularisme yang terus bercokol di negeri ini sejak ditanamkan oleh kaum penjajah selama lama hingga hari ini. 
Karena itu hendaknya kita kembali pada agama Allah SWT secara kâffah. Sesungguhnya Islam adalah agama yang agung, memuaskan akal, sesuai fitrah manusia dan menenteramkan hati. Namun, kesempurnaan dan kemuliaan Islam tak akan dapat dirasakan tanpa penegakkan syariah Islam dalam naungan Khilafah. Sungguh tak mungkin Islam dapat berdampingan dengan sekularisme. Sekularisme menciptakan kerusakan, menyuburkan takhayul dan khurafat; sedangkan Islam menebar rahmat bagi semesta alam. Saatnya kita mencampakkan sekularisme, lalu kita ganti dengan akidah dan syariah Islam. [] 


*Komentar al-Islam:*

Korban Kanjeng Dimas di Makassar Tertipu Sekitar Rp 200 M (Republika.co.id, 4/10). 

1. Begitulah akibat mempercayai dukun/paranormal; rugi dunia-akhirat. Di dunia rugi secara materi. Di akhirat akan diazab jika tak bertobat. 
2. Semua ini terjadi karena akidah umat yang dangkal sebagai akibat paham sekularisme, selain karena adanya pembiaran negara terhadap praktik-praktik perdukunan dan paranormal. 
3. Saatnya umat mencampakkan sekularisme, memahami akidah Islam secara benar serta merindukan hidup di bawah naungan syariah Islam secara kâffah.

Bersarnya Dosa Riba


«الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا، أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَ 
ْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ»

Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang yang mengawini ibunya. (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Al-Hakim meriwayatkan hadis di atas di dalam Al-Mustadrak dari Abu Bakar bin Ishaq dan Abu Bakar bin Balawaih; keduanya dari Muhammad bin Ghalib, dari Amru bin Ali dari Ibn Abi ‘Adi, dari Syu‘bah, dari Zaid dari Ibrahim, dari Masruq, dan dari Abdullah bin Mas‘ud. Al-Hakim berkomentar, “Hadis ini sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya.”
Al-Minawi menukil di dalam Faydh al-Qadîr, bahwa al-Hafizh al-‘Iraqi berkata (tentang hadits di tas), “Sanadnya sahih.”
Adapun al-Baihaqi meriwayatkan hadis di atas di dalam Su‘ab al-Imân dari Abu Abdillah al-Hafizh, dari Abu Bakar bin Ishaq, dari Muhammad bin Ghalib dari Amarah bin Ali, dari Ibn Abi Adi, dari Syu‘bah, dari Zubaid dari Ibrahim, dari Masruq, dan dari Abdullah bin Mas‘ud.
Hadis yang semakna juga diriwayatkan oleh Ibn al-Jarud dalam Al-Muntaqâ; Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaybah; Abd ar-Razaq dalamMushannaf Abd ar-Razâq; Abu Nu‘aim al-Ashbahani dalam Ma‘rifah ash-Shahâbah; Ibn Abi Dunya di dalam Dzam al-Ghîbah wa an-Namîmah; dan yang lain.
Makna Hadis
Kata ar-ribâ maksudnya adalah itsm ar-ribâ (dosa riba). Menurut ath-Thayibi, penetapan makna tersebut merupakan keniscayaan agar sejalan dengan makna kalimat: aysaruhâ mitslu an yankiha….
Kata bâb[an] maknanya adalah hûban(dosa). Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda:
«الرِّبَا سَبْعُوْنَ حُوْبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ»
Riba itu (ada) 70 dosa. Yang paling ringan adalah (seperti) seorang laki-laki yang menikahi ibunya sendiri (HR Ibn Majah, al-Baihaqi, Ibn Abi Syaibah dan Ibn Abi Dunya).
Kata hûb[an] artinya adalah al-itsm wa adz-dzunûb (dosa). Kata 73 itu—dalam riwayat lainnya dinyatakan 70, 72 dan 63—tidak menyatakan batasan jumlah tertentu, melainkan menunjukkan arti:banyak jenis dan tingkatannya. Karena iru, hadis di atas bisa dimaknai bahwa dosa riba banyak macam dan tingkatannya. Yang paling rendah adalah seperti dosa seseorang yang menzinai ibunya sendiri. Bahkan Abdullah bin Hanzhalah menuturkan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً »
Satu dirham riba yang dimakan oleh seorang laki-laki, sementara ia tahu, lebih berat (dosanya) daripada berzina dengan 36 pelacur (HR Ahmad dan ath-Thabrani).
Ibn Abbas juga menuturkan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«دِرْهَمٌ رِبًا أَشَدُّ عَلَى اللهِ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً. وَقَالَ : مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ»
Satu dirham riba (dosanya) kepada Allah lebih berat daripada 36 kali berzina dengan pelacur. (Ibn Abbas berkata) dan Beliau bersabda, “Siapa saja yang dagingnya tumbuh dari yang haram maka neraka lebih layak untuknya.” (HR al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Asy-Syaukani, dalam Nayl al-Awthâr, berkata, Hal ini menunjukkan bahwa riba termasuk kemaksiatan yang paling berat. Sebabnya, kemaksiatan yang menandingi bahkan lebih berat daripada kemaksiatan zina, yang merupakan perbuatan yang sangat menjijikkan dan sangat keji, tidak diragukan lagi, bahwa kemaksitan riba itu melampaui batas-batas ketercelaan.”
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa riba termasuk kemaksiatan yang paling besar. Hal itu bisa dilihat dari:Pertama, orang yang mengambil riba merupakan penghuni neraka dan kekal di dalamnya (QS 2: 275). Kedua, meninggalkan (sisa) riba dinilai sebaga

HIJRAH, SAATNYA BERUBAH!




Biro Iklan Aulia Advertising


Tak terasa, kita akan kembali bertemu dengan awal tahun baru hijrah. Kali ini kita akan memasuki tahun 1438 Hijrah. Sayang, pergantian tahun hijrah ini masih diiringi dengan keprihatinan kita atas sejumlah kondisi buruk yang menimpa umat Islam dalam segala aspek kehidupannya. Pergantian tahun hijrah, yang akhir-akhir ini selalu diperingati oleh sebagian kaum Muslim, justru sama sekali jauh dari esensi (hakikat)-nya, yakni perubahan! Ya, esensi hijrah adalah perubahan; dari kejahilian menuju cahaya Islam; dari kekufuran dan kemusyrikan menuju tauhid dan keimanan; dari darul kufur ke Darul Islam; dari tatanan kehidupan yang rusak dan bobrok ke tatanan kehidupan yang baik dan diliputi keberkahan. 
Karena itu tentu penting bagi umat Islam untuk kembali merenungkan hakikat hijrah yang esensinya adalah perubahan. 

Makna Hijrah
Dwitama Spanduk Advertising

Hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Lisân al-‘Arab, V/250; Al-Qâmûs al-Muhîth, I/637). Para fukaha lalu mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam). Karena itu para fukaha biasa menggunakan istilah Darul Islam dan darul kufur. Frasa Darul Islam, misalnya, terdapat dalam kitab-kitab fikih Syafiiyah seperti: Rawdhah ath-Thâlibîn (I/129), Al-Umm (III/30), I‘ânah ath-Thâlibîn (IV/233), Fath al-Wahhâb (I/112), dll. 

Masyarakat Sebelum Hijrah 
Masyarakat Arab sebelum Rasulullah saw. hijrah adalah masyarakat Jahiliah. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah aspek. 
*Pertama:* Aspek akidah. Akidah masyarakat Arab saat itu penuh dengan kemusyrikan. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, jin, ruh terdahulu, binatang dan berhala. 
*Kedua:* Aspek sosial. Kehidupan sosial Makkah saat itu dicirikan dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Rata-rata dari mereka adalah peminum arak, tukang mabuk. Pelacuran dan perzinaan di Jazirah Arab saat itu adalah hal biasa. Kebiadaban bangsa Arab saat itu bahkan sampai melampau batas kemanusiaan. Anak-anak perempuan yang baru lahir dibenamkan hidup-hidup ke dalam tanah (Lihat: QS at-Takwir: 8-9). 
Ketiga: Aspek ekonomi. Bisnis yang dilakukan bangsa Arab saat itu sangat kental dengan riba. Bahkan pinjaman dengan bunga yang berlipat ganda (riba fadhl) telah menjadi tradisi mereka. 
Keempat: Aspek politik. Secara politis bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Kristen Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan. 

Masyarakat Pasca Hijrah 
Setelah Rasulullah saw. berhijrah dari Makkah ke Madinah, kemudian beliau membangun Daulah Islamiyah (Negara Islam) di sana, keadaan masyarakat Arab pasca hijrah berubah total. Negara Islam yang dibangun Baginda Nabi saw. berhasil menciptakan masyarakat Islam, dari sebelumnya masyarakat Jahiliah. Faktanya, masyarakat Madinah bentukan Nabi saw.—melalui institusi Negara Islam yang beliau dirikan—adalah masyarakat yang benar-benar berbeda karakternya dengan masyarakat Arab Jahiliah sebelum Hijrah. *Pertama:* Dari sisi akidah. Yang dominan saat itu adalah akidah Islam. Bahkan akidah Islam menjadi satu-satunya asas negara dan masyarakat. Karena itu meski saat itu terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan adalah aturan (syariah) Islam. 
*Kedua:* Dari sisi sosial. Kehidupan sosial saat itu penuh dengan kedamaian dan ketenteraman serta jauh dari ragam kemaksiatan. Perjudian diperangi. Perzinaan diberantas. Segala bentuk kemaksiatan dan kriminalitas dibabat habis melalui penegakkan hukum Islam yang tegas. 
*Ketiga:* Dari sisi ekonomi. Saat itu ekonomi berbasis riba benar-benar dihapus. Penipuan dan berbagai kecurangan diberantas. Sebaliknya, cara-cara yang diakui syariah dalam meraih kekayaan dibuka seluas-luasnya. 
Keempat: Dari sisi politik. Pasca Hijrahlah sesungguhnya Islam dan kaum Muslim benar-benar mulai diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Negara Islam yang dibangun Nabi saw. benar-benar disegani, bahkan ditakuti oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Bahkan sejarah telah membuktikan, pada akhirnya dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, dapat ditaklukan oleh Daulah Islamiyah melalui jihad fi sabilillah. Dengan jihad yang dilancarkan oleh Daulah Islamiyah itulah hidayah Islam makin tersebar dan kekuasan Islam makin meluas. 

Jahiliah Modern
Dwitama Spanduk

Masyarakat saat ini sebenarnya sangat mirip dengan masyarakat Jahiliah sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Wajar jika sebagian ulama menyebut kondisi sekarang sebagai “Jahiliah Modern”. Dari sisi akidah, berbagai kemusyrikan dan ragam aliran sesat terus bermunculan. Di negeri ini, mencuatnya kasus Aa Gatot dan Kanjeng Dimas—melengkapi kasus-kasus sebelumnya seperti kasus Guntur Bumi, Eyang Subur, Lia Eden, dll—menunjukkan betapa sebagian umat ini masih percaya dengan orang-orang 'aneh ' berbaju syaikh, wali (bahkan mengaku nabi), guru spiritual, orang pintar, ahli hikmah; dll. 
Padahal mereka menyatukan penyembahan terhadap jin dengan berbagai tindak kejahatan seperti penipuan, pelecehan wanita, bahkan pesta narkoba! 
Dari sisi sosial, kebejatan moral (maraknya perzinaan, pornografi-pornoaksi, dll), tindakan kriminal (pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, perjudian, narkoba, dll) terus menyeruak. 
Dari sisi ekonomi, riba masih menjadi basis kegiatan ekonomi. Demikian pula banyaknya transaksi-transaksi batil lainnya. Bahkan dalam hal riba, negara adalah pelaku utamanya dengan terus menumpuk utang luar negeri berbunga tinggi. Tahun ini utang negara kita sudah menembus angka Rp 4000 triliun lebih, dengan rata-rata bunga yang harus dibayar hanya dalam dua tahun (2016-2017) rata-rata Rp 200 triliun pertahun. 
Di bidang politik, fenomena Pilkada DKI yang menyita energi sebagian umat pastinya juga tidak akan menghasilkan kondisi yang lebih baik. Sebagaimana Pemilu atau sejumlah Pilkada sebelum ini, jelas umat hanya diperalat untuk kemudian dijadikan korban oleh para elit politik. Mereka kembali ditipu, dikhianati dan dizalimi pasca Pemilu atau Pilkada usai. Sepanjang tahun ini, nasib umat tidak berubah sekalipun rezim berganti. 
Dalam lingkup politik luar negeri, Dunia Islam tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain. Bahkan negeri-negeri Islam menjadi obyek penjajahan gaya baru oleh bangsa Barat. Irak, Afganistan Suriah porak-poranda oleh AS dan sekutunya. Palestina tetap dalam cengkeraman Zionis Israel. Konflik terjadi di berbagai negeri Islam karena campur tangan asing yang berkepentingan terhadap potensi-potensi strategisnya. Di negeri-negeri Barat diskriminasi atas umat Islam yang minoritas juga menjadi pemandangan saban hari. 

Perubahan Menuju Khilafah 
Percetakan Aulia Adv

Karena itu saat ini sebetulnya kaum Muslim, bahkan dunia, perlu membangun kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islam, yang akan mampu mewujudkan kembali masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibangun Nabi saw. pasca Hijrah. Khilafah akan mengantarkan umat ini meraih kembali kemuliaan dan kejayaannya, sebagaimana pada masa lalu. Khilafah akan menjadikan dunia ini bisa hidup kembali dalam keamanan, kedamaian, kemakmuran, keadailan, kesejahteraan dan keberkahan. Khilafahlah yang akan menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan sekaligus menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. 
Karena itu awal tahun Tahun Baru Hijrah dan hari-hari ke depan sejatinya adalah hari-hari untuk terus menggelorakan kebangkitan Islam menuju perubahan hakiki. Perubahan yang hakiki adalah perubahan yang dapat menyelesaikan secara tuntas seluruh persoalan kaum Muslim di dunia saat ini. Perubahan semacam itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan dua hal sekaligus. Pertama: Membangun kekuatan politik internasional, yakni Khilafah Islam, yang menyatukan seluruh potensi kaum Muslim, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Kedua: Menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam Khilafah Islam tersebut. Hanya dengan cara inilah kaum Muslim akan mampu mengakhiri kondisi buruknya di bawah kekuasaan sistem Kapitalisme global menuju kehidupan mulia dan bermartabat di bawah institusi global: Khilafah Islam. 
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ 
_Hukum Jahiliahkah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?_ *(TQS al-Maidah [5]: 50)*. [] 



*Komentar al-Islam:* 

Anak Laki-Laki Makin Rentan Terkena Kejahatan Seksual (Republika.co.id, 28/9/16) 

1. Tidak perempuan, tidak laki-laki. Dalam sistem sekular-liberal saat ini semua bisa jadi korban kejahatan. 
2. Maraknya kejahatan seksual—juga aneka kejahatan lainnya—membuktikan rezim dan sistem saat ini gagal menciptakan rasa aman bagi warganya. 
3. Hanya dengan penerapan syariah dan penegakkan Khilafah rasa aman akan benar-benar bisa dirasakan oleh setiap orang.

ISLAM MENGATUR POLITIK,



Dwitama Spanduk Advertising

ISLAM MENGATUR POLITIK

Akhir-akhir ini hubungan Islam dan politik kembali ramai dibicarakan, terutama menjelang Pilkada DKI. Seruan menolak pemimpin kafir dituduh sebagai seruan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) yang tidak pantas, apalagi kalau dibahas dalam khutbah-khutbah Jumat, ceramah agama, termasuk ibadah haji. Mereka menyebut hal itu sebagai “politisasi agama” yang berbahaya. Pemimpin harus dilihat dari kinerjanya, bukan dari agamanya, ujar mereka. 
Penggunaan Masjid Istiqlal baru-baru ini untuk melakukan penyadaran umat tentang kepemimpinan Islam dianggap sebagai *“politisasi agama”*. Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, sampai berujar “Saya minta kegiatan politik praktis di Masjid Istiqlal jangan dilakukan, makanya saya tidak datang. Saya sudah sampaikan nggak boleh Istiqlal dipakai untuk acara itu,” (Bbc.com, 20/9). 
Sudah sejak lama upaya memisahkan Islam dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Berbagai argumentasi disampaikan. Agama itu suci, sementara politik itu kotor. Kalau politik dikaitkan dengan agama, itu akan mengotori agama. Demikian kata mereka. Ada juga yang mengatakan, Islam bukanlah agama politik, tetapi agama ibadah dan akhlak. 

Politisasi Agama?

Menggunakan agama sebagai dasar politik dan pengaturan politik bukanlah politisasi agama. Itulah yang memang diperintahkan oleh Islam. Yang layak disebut “politisasi agama” adalah saat agama digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan Pemilu, lalu setelah menang Pemilu agama kemudian ditinggalkan. Inilah yang selama ini terjadi. Para elit politik cenderung mendadak islami menjelang Pemilu; mulai dari pakai kopiah (yang dianggap sebagai simbol pakaian islami), shalat Jumat keliling, kunjungan ke pesantren dan majelis taklim, dll. Namun, setelah menang Pemilu, semua simbol tersebut ditinggalkan. Mereka bahkan tetap menolak Islam sebagai dasar pengaturan politik dengan berbagai dalih. 
Bagaimana pula, misalnya, sikap terkait dengan kepemimpinan wanita dalam Islam. Ada pihak yang awalnya menolak karena Islam mengharamkan perempuan menjadi kepala negara, tiba-tiba bersikap sebaliknya. Argumentasi yang dibangun berdasarkan pada alasan keagamaan pula. Kata mereka, perempuan boleh menjadi kepala negara karena keadaan darurat. Sekali lagi, inilah yang layak dianggap sebagai “politisasi agama”. 
Politisasi agama adalah buah dari sistem demokrasi liberal yang busuk. Nader Hashemi, seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan Politik Islam, University of Denver, dalam bukunya, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal, menyatakan, “Reinterpretasi (penafsiran kembali, red.) ide-ide keagamaan menjadi amat penting bagi kehidupan demokrasi liberal yang kondusif.” 
Demikianlah yang terjadi saat politik tidak diatur berdasarkan syariah Islam yang mulia, tetapi berdasarkan ideologi Kapitalisme, yang menjadikan manfaat sebagai asas terpenting. Politik hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi demi mempertahankan kekuasaan politik. Dalam politik seperti ini, sikap pragmatis dan menghalalkan segala cara—termasuk “politisasi agama”—menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik. 

Islam Mengatur Politik 

Dalam Islam politik bukanlah sesuatu yang kotor. Politik Islam tidak identik dengan rebutan kedudukan dan kekuasaan. Dalam bahasa Arab, politik berpadanan dengan kata sâsa-yasûsu-siyâsat[an]; artinya mengurusi, memelihara. Samih 'Athif dalam bukunya, As-Siyâsah wa As-Siyâsah Ad-Duwaliyyah (1987: 31), menulis bahwa politik (siyâsah) merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing menuju kebaikan. 

Karena itu, dalam Islam, politik amatlah mulia sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan. Alasannya: Pertama, Islam adalah agama yang syâmil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual. Syariah Islam juga mengatur mu’âmalah seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dsb. Islam pun mengatur masalah ‘uqûbah (sanksi hukum) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam. Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama terkemuka yang membahas perbagai persoalan mulai dari thaharah (bersuci) hingga Imamah/Khilafah (kepemimpinan politik Islam). 
Percetakan Aulia Advertising

Dalam al-Quran, Allah SWT, bukan hanya mewajibkan shaum Ramadhan; kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (QS al-Baqarah [2]: 183), tetapi juga mewajibkan hukum qishâsh dalam perkara pembunuhan; kutiba ‘alaykum al-qishâsh (QS al-Baqarah [2]: 78). Di dalam QS al-Baqarah [2]: 216 Allah SWT pun mewajibkan perang (jihad) dengan firman-Nya: kutiba ‘alaykum al-qitâl. Menurut para mufassir, semua frasa kutiba ‘alaykum dalam ayat-ayat tersebut memberikan makna furidha ‘alaykum. Al-Quran juga tak hanya membahas shalat, aqim ash-shalah (QS al-Baqarah [2]: 43), tetapi juga bicara ekonomi saat menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275], juga saat mewajibkan pendistribusian harta secara adil di tengah masyarakat (QS al-Hasyr [59]: 7). 
Kedua, apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah saw. saat menjadi kepala Negara Islam di Madinah menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tak dipisahkan. Tampak jelas peran Rasulullah saw. sebagai kepala negara, sebagai qâdhî (hakim) dan panglima perang. Rasul saw. pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah. 
Masjid Nabawi sendiri pada masa Rasulullah saw. bukan hanya digunakan untuk urusan ibadah ritual, tetapi juga menjadi tempat Rasulullah saw. bermusyawarah bersama para Sahabatnya untuk membicarakan segala urusan rakyatnya, termasuk mengatur strategi perang. Hingga kini di Masjid Nabawi berdiri kokoh ustuwanah wufud (tiang delegasi). Di sinilah Rasulullah saw. menerima tamu-tamu kenegaraan. Posisinya paling ujung dari sudut mihrab tahajud. Terdapat pula ustuwanah haris (tiang penjaga). Di sinilah Ali bin Abi Thalib mengawal Rasulullah saw. dan ditugasi menyampaikan pesan kepada para tamu. 
Sayang, kini fungsi masjid mengalami penurunan. Tidak seperti pada masa Rasul saw. dan para khalifah sesudahnya, kebanyakan masjid saat ini hanya digunakan untuk ibadah ritual saja. Di negeri ini, proses depolitisasi masjid (menjauhkan masjid dari kegiatan politik Islam) sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. Orientalis Belanda yang pura-pura masuk Islam, Snouck Hourgunje, memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Belanda untuk melarang masjid-masjid dan umat Islam dari kegiatan politik. Dengan cara seperti itu Belanda bisa memastikan umat Islam tidak akan pernah bangkit dan mampu melakukan perlawanan terhdap penjajahan. Snouck yang dididik untuk mempelajari Islam tahu betul bahwa jika fungsi masjid sepenuhnya dipakai, bibit-bibit perjuangan yang muncul untuk melawan penjajah akan semakin sulit untuk dipadamkan. 
Alhasil, penting menyatukan Islam dan politik ini. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, menyatakan, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar…Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah.” 
Ibnu Taymiyah juga menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/394). 

Wahai kaum Muslim: 
Sayang, politik Islam yang mulia telah diubah oleh paham sekularisme sedemikian rupa sehingga politik tersebut berwajah penuh kedustaan, penipuan, penyesatan dan pembodohan baik oleh penguasa maupun politisinya. Akibatnya, muncul anggapan bahwa politik itu kotor dan agama suci sehingga agama harus dipisahkan dari politik atau sebaliknya. Padahal tanpa agama perpolitikan merupakan hutan belantara. Karena itu dalam buku-buku fikih siyâsah dikenal kaidah: Islam adalah agama yang salah satu kandungannya politik (Al-Islâm dîn[un] minhu as-siyâsah). 
Dalam carut-marut politik seperti saat ini, keshalihan individual elit politik tentu tidak cukup dijadikan dasar pilihan politik; tidak cukup pula untuk menyelesaikan masalah bangsa dan negara ini. Sebab, masalah bangsa dan negara berakar pada sistemnya, yakni sistem Kapitalisme-sekular yang rusak. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan dan kehancuran negara ini. 
Karena itu kita membutuhkan bukan sekadar pemimpin yang shalih, namun juga ideologi dan sistem yang sahih. Itulah ideologi (mabda’) Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan dalam institusi Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah. AlLâhu Akbar! [] 


Komentar al-Islam: 
NU: Ahok tidak Pro Rakyat Kecil (Republika.co.id, 20/9). 
1. Begitulah, dalam sistem demokrasi, kekuasaan bersandar pada kekuatan para pemilik modal. Akibatnya, kebijakan penguasa lebih banyak menguntungkan mereka, bukan rakyat. 
2. Penguasa hanya peduli rakyat saat kampanye Pemilu. Itu pun hanya dengan menebar janji-janji kosong kepada rakyat. 
3. Saatnya umat mencampakkan sistem demokrasi, yang sudah terbukti banyak melahirkan para penguasa yang tidak pro rakyat, dan beralih pada sistem politik dan pemerintahan Islam. Itulah Khilafah.