Mau Pasang Iklan, Hub Biro Iklan, Aulia Advertising, Telp 0813 8468 1151
Aulia PROPERTY,MEMASARKAN BALE PERIGI, PURI SINAR PAMULANG, PESONA ALAM CIPUTAT, CLUSTER Tsb Ready Stock Telp 081384681151

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus
Spesialis cetak/sablon spanduk kain promosi,SPANDUK KAIN Dwitama Advertising Benda Baru, Pamulang, Tangsel Telp, 0856 7386 103, 0813 8468 1151

Selasa, 30 Agustus 2016

UTANG DAN PAJAK: BEBAN NEGARA, DERITA RAKYAT


Sebagaimana kita ketahui, selama ini ada dua sumber pemasukan utama APBN di negeri ini. *Pertama*: utang ribawi. *Kedua*: Pajak. 

Membebani Negara 
Utang ribawi, bahkan dengan bunga yang sangat tinggi, sudah puluhan tahun menjadi sumber pemasukan utama APBN di negeri ini. Dalam 6 tahun terakhir saja (2010-2016) utang Indonesia bukan berkurang, tetapi bertambah rata-rata pertahun sebesar 13,5% (Kemenkeu.go.id).
 
Pada tahun 2016 ini, khusus untuk utang luar negeri, menurut Bank Indonesia (BI) hingga Triwulan II tahun ini utang Indonesia mencapai Rp 4.281 triliun (Tempo.co, 23/8). 
Tahun ini pula Pemerintah harus membayar cicilan bunga utang sebesar Rp 191,2 triliun, sementara tahun depan cicilan bunga yang harus dibayarkan Pemerintah mencapai Rp 221,4 triliun (Detik.com, 18/8). Itu berarti, rata-rata cicilan bunga utang Indonesia selama 2016-2017 adalah sekitar Rp 200 triliun pertahun! Ingat, itu baru cicilan bunganya, belum cicilan pokoknya. 

Padahal jelas, utang ribawi termasuk dosa besar. Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 275, Allah SWT secara tegas telah mengharamkan riba. Bahkan Allah SWT pun tegas menyatakan: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ - فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ 

_Hai orang-orang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkan sisa-sia riba jika kalian benar-benar kaum Mukmin. Jika kalian tidak melakukan itu (meninggalkan riba), berarti kalian telah memaklumkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya_ *(QS al-Baqarah [2]:278-279)*. 

Baginda Rasulullah juga tegas menyatakan: 

دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنِيَّةً 

_Satu dirham yang dinikmati seseorang, sementara dia tahu, adalah lebih besar (dosanya) daripada 36 kali zina_ *(HR ad-Daruquthni, ath-Thabrani dan al-Haitsami)*. 

Zina adalah dosa besar. Pelakunya layak dihukum cambuk 100 kali atau dirajam sampai mati. Namun, riba ternyata jauh lebih besar dosanya daripada zina. Jika satu dirham (sekitar Rp 60 ribu) harta riba dosanya lebih besar daripada 36 kali zina, tentu tak terbayangkan dosa dari harta riba sebanyak ratusan bahkan ribuan triliun rupiah. 

Selain itu, bunga cicilan utang Indonesia yang rata-rata pertahun Rp 200 triliun itu sesungguhnya menjadi beban berat bagi negara. Pasalnya, jika dibanding-bandingkan dengan alokasi Belanja Pemerintah Pusat, uang Rp 200 triliun itu sangatlah besar. Uang Rp 200 triliun itu sama dengan: 1,5 kali lipat anggaran pendidikan yang hanya Rp 150,1  triliun; 3 kali lipat anggaran kesehatan yang hanya Rp 67,2 triliun; 2 kali lipat anggaran pertahanan yang hanya Rp 99,6 triliun; 5 kali lipat anggaran perumahan dan fasilitas umum yang hanya 34,7 triliun; 4 kali lipat alokasi dana desa (untuk sekitar 74 ribu desa) yang hanya Rp 47 trilun; 3 kali lipat subsidi BBM yang hanya Rp 65,7 triliun; 5 kali lipat subsidi listrik yang hanya Rp 38,4 triliun; dan 10 kali lipat subsidi pangan yang hanya Rp 21,0 triliun. 

Uang Rp 200 triliun itu juga sama dengan 8 kali lipat anggaran Pemerintah Pusat untuk mensubsidi 92,4 juta jiwa peserta PBI jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang hanya Rp 25,5 triliun (Cnnindonesia.com, 16/03/16). 
Dengan membandingkan jumlah cicilan bunga utang di atas yang rata-rata berkali-kali lipat dibandingkan dengan masing-masing pos anggaran untuk kepentingan publik, jelas cicilan bunga utang tersebut menjadi beban negara setiap tahunnya. Anehnya, saat pemasukan APBN tidak sesuai target, Pemerintah tidak berusaha mengurangi atau menunda pembayaran cicilan utang, apalagi berani menolak membayar cicilan bunganya yang jelas-jelas termasuk riba (haram). Yang justru dikurangi atau dipangkas oleh Pemerintah adalah pos-pos anggaran yang berhubungan langsung dengan kepentinghan rakyat, misalnya pendidikan. 



Menzalimi Rakyat 

Selain utang, yang paling menjadi andalan pemasukan APBN setiap tahunnya adalah pajak. Pajak bahkan menjadi satu-satunya sumber pemasukan terbesar dalam APBN kita selama puluhan tahun. Pada tahun 2016 ini, dalam APBN 2016 pemasukan dari pajak ditargetkan sebesar 75% dari total pemasukan APBN atau sekitar Rp 1.360,2 triliun. Jumlah sebesar itu belum termasuk target pemasukan dari kepabeanan dan cukai sebesar 10%  atau sekitar Rp 186,5 triliun. Jika keduanya digabung, praktis penerimaan dari perpajakan adalah 85%-nya dari semua penerimaan APBN. Pajak, bea dan cukai tentu sebagiannya berasal dari uang rakyat. Ironisnya, pemasukan  APBN yang berasal dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) hanya ditargetkan 15% atau sebesar Rp 273,8 triliun saja. Dari jumlah sebesar itu, penerimaan dari migas (minyak dan gas) hanya Rp 78,6 triliun (Kemenkeu.go.id). 

Fakta di atas  membuktikan bahwa selama ini APBN tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak kepada para pemilik modal, terutama pihak asing. Apalagi subsidi untuk rakyat terus dikurangi, sementara beban pajak atas rakyat makin ditambah, di antaranya melalui pemberlakukan UU Tax Amnesty, yang ternyata disinyalir akan menyasar juga rakyat kebanyakan. Padahal selama ini pun mereka telah terbebani oleh berbagai pungutan pajak yang amat memberatkan. Terkait itu, Baginda Rasulullah saw. telah bersabda: 

مَا مِنْ رَجُلٍ يَسْتَرْعَى رَعِيَّةً يَمُوْتُ حَيْنَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ اِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ 

_Tidaklah seseorang diangkat untuk mengurus rakyat, lalu mati, sementara ia menipu (menzalimi) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga_ *(HR al-Bukhari)*. 

Solusi Nyata 
Kebanyakan rakyat memahami, bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat kaya dengan sumberdaya alamnya seperti emas, perak, tembaga, timah, bouksit, nikel, minyak dan gas (migas), serta batubara selain kekayaan lain berupa puluhan juta hektar hutan, kekayaan laut dengan jutaan ton ikannya, dll. Namun anehnya, sumber pemasukan utama APBN kita bukan dari hasil-hasil kekayaan alam yang berlimpah-ruah tersebut, tetapi justru dari pajak yang sebagian besarnya dipungut dari rakyat dan juga dari utang ribawi. Pertanyaannya: Lalu kemana uang hasil dari berbagai sumberdaya alam milik rakyat itu? Tidak lain, sebagian besarnya masuk ke pihak swasta, khususnya pihak asing. Mengapa? Karena memang sebagain besar sumberdaya alam milik rakyat itu sudah lama berada dalam genggaman pihak swasta terutama  pihak asing. Menurut Data Litbang Kompas, hingga tahun 2011 saja asing telah menguasai: 70% tambang migas; 75% batubara, bauksit, nikel dan timah;’ 85% tembaga dan emas; dan 40% perkebunan sawit dari total 8,5 juta hektar. Menurut Kompas (25/5/2011) pula, dengan penerapan otonomi daerah yang cenderung liberal, hingga tahun 2011 saja sudah ada 8.000 izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kondisi itu makin membuka peluang asing untuk menguasai langsung sumberdaya batubara dan mineral. 

Padahal penguasaan swasta apalagi asing atas sumber-sumber keayaan alam milik umat jelas haram karena bertentangan dengan nash-nash syariah, antara lain sabda Nabi saw.: 

اَلنَّاسُ شُرَكَاءٌ فِي ثَلاَثَةٍ :اَلْمَاءِ وَالْكَلأِ وَالنَّارِ 

_Umat manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, pedang gembalaan dan api_ *(HR Ibn Majah)*. 

Dalam hadis lain dinyatakan: _Abyadh bin Ahmmal pernah meminta tambang garam kepada Nabi saw. di daerah Ma’rib. Awalnya Nabi saw. hendak memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, seseorang berkata, ”Tambang garam itu seperti air yang mengalir (berlimpah, red.).” Seketika Nabi saw. pun menolak untuk memberikan tambang garam itu kepada Abyadh_ *(HR al-Baihaqi, ad-Daruquthni dan ad-Darimi).* 

Karena itu solusi nyata untuk mengatasi defisit APBN sesungguhnya bukanlah dengan utang yang makin membebani negara dan pajak yang makin menyengsarakan rakyat. Solusinya tidak lain adalah dengan mengembalikan semua sumberdaya alam itu kepada umat sebagai pemiliknya yang sah, lalu dikelola oleh negara sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Dengan dikelola oleh negara, seluruh hasil dari sumberdaya alam itu pasti akan dinikmati sepenuhnya oleh rakyat, bukan oleh segelintir pihak swasta dan pihak asing. Dengan begitu negara tidak akan terus-menerus dibebani utang luar negeri berikut bunganya. Rakyat pun tidak terus-menerus dirugikan dengan berbagai macam pungutan pajak. Mengapa? Karena hasil-hasil dari sumberdaya alam milik rakyat itu lebih dari cukup untuk membiayai pengurusan rakyat, bahkan akan sanggup memakmurkan dan mensejahterakan mereka. 

Semua itu pasti bakal terwujud saat bangsa ini benar-benar mau secara sungguh-sungguh menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam institusi Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.  Itulah wujud ketakwaan hakiki. Jika umat ini telah benar-benar bertakwa, Allah SWT pasti akan menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:
 
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ 

_Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (Kami) sehingga Kami menyiksa mereka karena perbuatan yang mereka lakukan itu_ *(QS al-A’raf [7]: 96)*. 


*Komentar al-Islam:* 

PP Muhammadiyah Gugat UU "Tax Amnesty", Program Ini Semakin Banyak Ganjalan (Kompas.com, 29/8/16). 

1. UU apapun yang merugikan rakyat dan bertentangan dengan syariah layak digugat. 
2. Sayang, selama negeri ini sekular, lahirnya banyak UU yang merugikan rakyat dan bertentangan dengan syariah akan sulit dicegah. 

3. Hanya dalam institusi Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah akan lahir banyak UU yang berpihak pada kepentingan rakyat dan sesuai dengan tuntutan syariah.

Senin, 29 Agustus 2016

DARI JI'RANAH KITA BELAJAR MENGELOLA KECEWA


Di Ji’ranah hari itu ada kecewa. Ada kebijakan Rasulullah yang tak dipahami. 
Ada keputusan yang disalahmengerti. Sangat manusiawi kelihatannya. Orang-orang Anshar merasa disisihkan selepas perang Hunain yang menggemparkan.

Mereka telah berjuang total. Mereka berperang di sisi Rasul dengan penuh kecintaan. Tapi, harta rampasan perang lebih banyak dibagikan pada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Sementara pada mereka, seakan hanya memperoleh sisa.
Padahal, semua orang tahu, sebagaimana Rasul pun juga mengetahuinya: merekalah yang berjuang dengan sepenuh iman ketika orang-orang Quraisy dan kabilah Arab itu lari tunggang langgang pada serangan pertama pasukan Malik bin Auf An-Nashry.
Maka, hari itu di Ji’ranah, ada yang kasak-kusuk, ada yang memercikan api, “Demi Allah, Rasulullah saw telah bertemu kaumnya sendiri!” Kalimat itu jelas sarat kekecewaan.
Hari itu juga utusan Anshar, Sa’d bin Ubadah menemui Sang Rasul. Hatinya gusar. Ia ingin segera sampaikan apa yang dirasakan sahabat Anshar pada beliau. Ada yang mengganjal di hati, tapi (mungkin) mereka anggap tak layak untuk disampaikan. Sa’d bin Ubadahlah yang memberanikan diri.
“Ya Rasulullah, dalam diri kaum Anshar ada perasaan mengganjal terhadap engkau, perkara pembagian harta rampasan perang. Engkau membagikannya pada kaummu sendiri dan membagikan bagian yang teramat besar pada kabilah Arab, sementara orang-orang Anshar tidak mendapat bagian apapun.”
Kita menangkap protes itu disampaikan dengan lugas tapi tetap santun. Ada kecewa, tapi iman mereka mencegahnya dari sikap yang merendahkan. Ada ganjal di hati, tapi bukan amarah tak terkendali.
“Lalu, kamu sendiri bagaimana Sa’d?” tanya Sang Rasul.
“Wahai Rasulullah, aku tidak punya pilihan lain, selain harus bersama kaumku.” Jawab Sa’d menjelaskan perasaannya. Jujur. Apa adanya. Ia tidak menutup-nutupi bahwa dirinya juga kecewa. Rasulullah lalu meminta mengumpulkan semua orang Anshar. Pada mereka Rasul menenangkan.
“Bukankah dulu aku datang dan kudapati kalian dalam kesesatan, lalu Allah berikan kalian petunjuk? Bukankah dulu saat aku datang kalian saling bertikai, lalu Allah menyatukan hati kalian? Bukankah dulu saat aku datang, kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mengayakan kalian?”
Orang-orang Anshar itu membenarkan. Mereka memang sedang dilanda kecewa, tapi lihatlah betapa mereka memilih diam, dan tidak balik menyerang dengan kata-kata dan argumentasi yang dapat diungkapkan.
Disebabkan iman sematalah mereka bersikap hormat pada Sang Rasul, meski mereka teramat kecewa. Saya bayangkan hari itu di Ji’ranah. Para sahabat yang mengelilingi Rasulullah.
“Demi Allah, jika kalian mau kalian bisa mengatakan, ‘Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkan. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah, lalu kami menolongmu. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan terusir, lalu kami memberikan tempat. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan miskin, lalu kami yang menampungmu.”
Saya bayangkan Rasul yang mulia menghela nafas sejenak. Dapat kita rasakan kata-kata itu menggetarkan dada orang-orang yang diliputi iman itu. Saya bayangkan tempat itu mendadak senyap, kecuali suara Rasulullah yang teduh. Beberapa sahabat mulai menitikkan airmata.
“Apakah ada hasrat di hati kalian pada dunia?” tanya Rasulullah tanpa susulan jawab dari para sahabat. Semua terdiam.
Pertanyaan itu mengetuk sisi terdalam dari jiwa para sahabat. Jiwa yang sejak semula disemai iman.
“Padahal, dengan dunia itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam.” Rasul mulai menjelaskan alasan kebijakannya.
Saya bayangkan para sahabat Anshar yang mengangguk paham dalam diam. “Sedangkan terkait keimanan kalian, aku sudah teramat percaya.” Kata-kata itu begitu dalam dan jujur.
Tetes airmata tak kuasa lagi ditahan. Terlebih ketika Rasulullah melanjutkan, “Apakah kalian tidak berkenan di hati jika orang-orang lain pergi membawa onta dan domba, sementara kalian pulang bersama Rasul Allah?”
Sebuah perbandingan yang kontras. Kesadaran itu hadir tidak tiba-tiba. Tangis para sahabat meledak. Jika bukan karena iman, kekuatan apa yang mampu menghadirkan kesadaran setelah kekecewaan? Sungguh, iman merekalah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Kisah di atas teramat panjang. Dari dalamnya kita belajar bagaimana dalam komunitas kebaikan sekalipun, kekecewaan itu nyaris tak dapat dielakkan.
Setiap kita mungkin pernah kecewa. Sebabnya bisa bermacam-macam. Tapi sebagiannya karena kita tak persepaham dengan orang lain; apakah kelakuannya, kebijakannya, pernyataannya, perhatiannya, atau apapun. Kita pun bisa kecewa karena merasa tidak mendapat dukungan yang memadai. Kecewa itu bisa muncul dimana-mana, bahkan dalam dakwah sekalipun.
Di dalam bilik-bilik rumah bisa lahir kekecewaan. Suami kecewa pada istri atau sebaliknya, istri kecewa dengan suami. Di ruang-ruang kerja, kekecewaan dapat juga timbul. Di manapun ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kekecewaan bisa hadir tiba-tiba.
Dalam dakwah, kecewa bisa juga tumbuh bagai ilalang. Sebabnya bisa bermacam-macam. Gagasan yang ‘dianggap’ tidak diperhatikan, selera-selera yang tak sama, kebijakan qiyadah yang tak memenuhi keinginan kita, perilaku dan tindakan ikhwah, dan yang lain.
Hanya kekuatan imanlah yang mampu menjaga kita dari penyikapan yang salah saat kecewa. Sebagian di antaranya menyikapi dengan marah, kalap, bahkan bisa juga dengan ‘mutung.’ Sebagian yang lain menyikapi dengan cara-cara yang lebih arif dan bijak.
Jika kecewa datang menggerogoti, periksalah kembali orientasi kita. Selialah motif kita. Periksa pula niat-niat kita dalam beramal dan beraktivitas. Inilah saat paling tepat untuk menakar motif dan orientasi kita.
Semoga pengiring atas rasa kecewa adalah sikap lapang dada, semangat beramal yang makin menggelora, keikhlasan yang mempesona, dan penghormatan pada sesama.
Jangan biarkan, kekecewaan ditanggapi dengan aktivitas yang tidak memuliakan kita. Jangan pula sampai kekecewaan menyeret kita pada devisit iman dan juga devisit emosi.
Sedari awal, kita memilih jalan dakwah,  bukan karena ingin selalu disenangkan. Bukan pula hasrat untuk terus dimenangkan. Kadang tak semua hasrat hati mesti terturuti. Begitulah tabiat perjalanan ini; kesediaan untuk berjalan bersama, mesti diikuti lapang dada atas segala kecewa yang muncul menggoda.
Kita memilih jalan dakwah semata karena berharap ridha Allah. Seluruh rasa kecewa itu hanyalah liliput atas kerinduan kita yang besar atas keridlaan Allah.
Semoga Allah menjaga keistiqamahan kita dan menguatkan keikhlasan kita dalam beramal. Aamiin... [

Keutamaan Menghafal Al Qur'an

Orang yang hafal Al-Qur’an akan diletakkan diatas kepalanya mahkota kehormatan, dan kedua orang tuanya dipakaikan pakaian yang tidak ada di dunia.

 Dalam hadits dijelaskan:
... وَإِنَّ القُرْآَنَ يَلْقَى صَاحِبَهُ يَوْمَ القيامةِ – حِيْنَ يَنْشَقُّ عَنْهُ قَبْرَهُ – كَالرَّجُلِ الشَّاحِبِ ، فَيَقُوْلُ لَهُ : هَلْ تَعْرِفُنِي ؟ فيقول : مَا أَعْرِفُكَ . فيقول له : هَلْ تَعْرِفُنِي ؟ فيقول : مَا أَعْرِفُكَ . فيقول : أَنَا صَاحِبُكَ القُرْآَنُ ، الَّذِي أَظْمَأْتُكَ فِي الهَوَاجِرِ ، وَأَسْهَرْتُ لَيْلَكَ . وَإِنَّ كُلَّ تَاجِرٍ مِنْ وَرَاءِ تِجَارَتِهِ ، وَإِنَّكَ اليَوْمَ مِنْ وَرَاءِ كُلِّ تِجَارّةٍ . فَيُعْطِى المُلْكَ بِيَمِيْنِهِ ، واَلخُلْدَ بِشِمَالِهِ ، وَيُوْضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الوِقَارِ، وَيُكْسَى وَالِدَاهُ حُلَّتَيْنِ لَا يَقُوْمُ لَهُمَا أَهْلُ الدُّنْيَا ، فيقولان: بمِاَ كَسَيْنَا هَذِهَ ؟ فيقال : بِأَخْذِ وَلِدِكُمَا القُرْآن . ثم يقال له : اِقْرَأْ ، وَاصْعَدْ فِي دَرَجَةِ الجَنَّةِ وَغُرَفِهَا ، فَهُوَ فِي صُعُوْد مَا دَامَ يَقْرَأُ هَذَا كَانَ أَوْ تَرْتِيْلاً((
Artinya: … dan sesungguhnya Al-Qur’an akan menemui orang yang membacanya pada hari kiamat – ketika itu kuburannya dicium – seperti orang yang pucat, kemudian Al-Qur’an itu berkata kepadanya: “Apakah kamu mengenaliku?” Dia menjawab:” Aku tidak mengenalimu”. Kemudian bertanya lagi kepadanya:” Apakah kamu mengenaliku?”. Dia menejawab lagi:”Aku tidak mengenalimu”. Lalu Al-Qur’an itu berkata:”Aku temanmu, Al-Qur’an, yang membuatmu haus pada siang hari, dan membuatmu tidak tidur malam, dan sesungguhnya setiap pedagang di belakang dagangannya, dan hari ini kamuberada di belakang setiap dagangan, di berikan kerajaan di sebelah kanannya, kehidupan kekal di sebelah kirinya, diletakkan diatas kepalanya mahkota kehormatan, dan dipakaikan kedua orang tuanya pakaian yang tidak ada di dunia. Kemudian kedua orang tuanya berkata:”Kenapa kami memakai pakaian ini?” dikatakan kepada keduanya:” Karena anakmu yang selalu mengambil Al-Qur’an untuk dibaca, dan dikatakan kepadanya:”Bacalah! Dan naiklah sampai kedudukan yang tinggi di syurga, yaitu berada diatas selama kamu membacanya dengan tartil”.


Senin, 01 Agustus 2016

Doa Setelah Ijab kabul adalah ucapan doa setelahijab dan qobul.

Bacaan Doa Seteh Nikah. Untuk itu anda bisa melihat lafalnya dibawah ini. Karena kali ini kami akan memberikan lafal doa secara lengkap, mulai dari  bahasa arab. Sehingga untuk anda yang sedang menikah, anda bisa melihat bacaan tersebut dibawah ini dan menghafalkannya. Tidak perlu menunggu lebih lama lagi kalau begitu, langsung saja anda melihat bacaannya dibawah ini.







Untuk Pasang Iklan Hub :
 Biro Iklan Aulia Advertising Http://aulia_advertising.blogspot.com

Jl. H. Rean Perum Pamulang Regency Blok B 1 No 15 Benda Baru Pamulang Tangerang Selatan, 15417 Telp , 0813 8468 1151

Ikhlas Karena Allah

Ikhlas karena Allah SWT dan semata-mata hanya kepada Allah segalanya dipersembahkan adalah induk kekayaan seorang hamba dan pokok segala persoalannya.
Ikhlas juga merupakan pangkal pondasi kebaikan kehidupan, esensi dari kebahagiaan, keberhasilan, segala kenikmatan hidup, dan kesejukan pandangan matanya.
Karena demikianlah hakikat dari kita diciptakan dan diperintahkan dalam relung kehidupan. Atas dasar demikian pula saat para Rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan.
Tidak layak bagi hati, dan tak ada terasa kenikmatan jika segalanya tidak dipersembahkan kepada Allah azza wa jalla. Maka adalah hanya kepada-Nya semata segalanya kita persembahkan, kita memohon, dan kita berkeinginan.
Siapa saja yang bisa bersikap demikian, cukup Allah SWT baginya untuk segala kepentingan. Cukup hanya kepada Allah dia bersandar. Dia Allah akan mendorong dan membantu saat dirinya tidak mampu melakukan.
Allah akan melindunginya layaknya perlindungan orang tua pada anaknya. Allah lah yang akan melindungi dia dari segala marabahaya. Dan adalah bagi dia hanya Allah, sehingga Allah pun selalu hadir untuknya. Saat dirinya tidak memiliki daya dan upaya. [Oleh H. Luthfi H.]