Mau Pasang Iklan, Hub Biro Iklan, Aulia Advertising, Telp 0813 8468 1151
Aulia PROPERTY,MEMASARKAN BALE PERIGI, PURI SINAR PAMULANG, PESONA ALAM CIPUTAT, CLUSTER Tsb Ready Stock Telp 081384681151

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus
Spesialis cetak/sablon spanduk kain promosi,SPANDUK KAIN Dwitama Advertising Benda Baru, Pamulang, Tangsel Telp, 0856 7386 103, 0813 8468 1151

Kamis, 23 Juni 2016

Inspirasi Ramadhan: Agar Kita Mendapatkan Lailatul Qadar


Tak terasa, Jum’at, 24 Juni 2016 ini, kita sudah memasuki hari ke-19 Ramadhan 1437 H. Itu artinya, malam ini kita telah memasuki sepuluh hari yang terakhir dari Ramadhan tahun ini. Tak terasa memang, tiba-tiba kita sudah memasuki sepuluh hari terakhir. Begitulah waktu. Waktu adalah kehidupan kita. Karena hidup kita hakikatnya adalah rangkaian waktu. Beruntunglah hidup kita, jika kita yang bisa mengisi rangkaian waktu kita dengan ketaatan. Sebaliknya, merugilah kita, jika rangkaian waktu itu kita sia-siakan, bahkan kita isi dengan kemaksiatan.
Maka, detik per detik, menit per menit, jam per jam, hari per hari, bulan per bulan, dan tahun per tahun adalah rangkaian waktu yang merajut hidup kita. Sungguh sayang jika rangkaian itu kita sia-siakan, bahkan kita isi dengan kemaksiatan. Terlebih, ketika detik per detik, menit per menit, jam per jam dan hari per harinya mempunyai nilai yang luar biasa. Itulah “Lailatul Qadar”.
Iya, mengapa malam itu begitu berharga dan luar biasa? Karena, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut malam itu lebih baik daripada seribu bulan, atau 84 tahun:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [al-Qur’an] pada malam al-Qadar. Apakah yang Kamu ketahui tentang Lailatu al-Qadar? Lailatu al-Qadar [malam] yang lebih baik ketimbang seribu bulan.” [Q.s. al-Qadar: 1-3].
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutnya sebagai malam penuh berkah, karena malam itu diberkahi Allah:
حم، وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ، إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ، فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ، أَمْراً مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ، رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Ha-mim. Demi al-Kitab [al-Qur’an] yang menjelaskan, sesungguhnya Kami telah menurunkannya di malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kamilah yang Memberi Peringatan. Di malam [Lailatu al-Qadar] itu dirinci semua urusan yang penuh hikmah. Urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kamilah yang Mengutus para rasul sebagai wujud kasih sayang Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Q.s. ad-Dukhan: 1-6]
Ibn ‘Abbas, Radhiya-Llahu ‘anhu yang diberi gelar Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam sebagai Turjuman al-Qur’an [penafsir al-Qur’an], menuturkan makna ayat ini, “Di malam itu, semua urusan dunia dirinci ketentuan [takdir]-nya, dari satu tahun ke tahun berikutnya.”
Pendek kata, Lailatul Qadar adalah malam yang istimewa, penuh berkah dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitu istimewa, agung dan berkahnya malam itu, hingga nilai ketaatan di dalamnya lebih baik ketimbang 84 tahun. Saat para Malaikat yang mulia beserta Jibril turun, membawa al-Qur’an, menebar rahmat dan kedamaian hingga terbitnya Fajar [Subuh]. Saat takdir kita dari tahun ke tahun ditetapkan, di saat itulah kita ajukan “Proposal Hidup” kita kepada-Nya.
Wajar, jika Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam titahkan kepada kita untuk mencarinya. Baginda Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الآوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.
“Carilah Lailatul Qadar di sepuluh malam yang terakhir di bulan Ramadhan.” [Hr. Bukhari]
Tak hanya menitahkan kepada kita untuk mencarinya, tetapi Baginda Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam juga menitahkan:
وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa saja yang mendirikan Lailatul Qadar dengan penuh keimanan, dan hanya mengharap ridha dan pahala [dari Allah ‘Azza wa Jalla], maka dosa-dosa dia yang lalu pasti akan diampuni [oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala].” [Hr. Bukhari dan Muslim]
Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam juga mencontohkan, bagaimana menghidupkan Lailatul Qadar. Dalam hadits Abi Sa’id al-Khudri Radhiya-Llahu ‘anhu, dituturkan bahwa Baginda Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam telah melakukan i’tikaf, dan menitahkan siapa saja di antara para sahabatnya yang ingin melakukan i’tikaf, hendaknya tidak meninggalkan i’tikafnya.
Dalam riwayat ‘Aisyah Radhiya-Llahu ‘anha, ketika telah memasuki sepuluh hari terakhir, Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangungkan keluarganya. Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam pun menghidupkannya dengan shalat, doa, tilawah al-Qur’an dan ketaatan yang lainnya. Meski dalam riwayat lain, Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam telah melakukan Penaklukan Kota Makkah juga tanggal 20 Ramadhan 8 H.
Begitulah, Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat Ridhwanu-Llah ‘alaihim menghidupkan Lailatul Qadar. Sebagian ulama’ memilih memperbanyak doa, ketimbang yang lain. Karena begitu berharganya malam itu, sehingga saat itulah mereka mengajukan Proposal Hidup mereka. Sufyan at-Tsauri Rahimahu-Llah berkata:
الدُّعَاءُ فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ أَحَبَّ إِليَّ مِنَ الصَّلاَةِ، قَالَ: وَإِذَا كَانَ يَقْرَأُ وَهُوَ يَدْعُوْ وَيَرْغَبُ إِلَى الله فِي الدُّعَاءِ وَالْمَسْأَلَةِ لَعَلَّهُ يُوَافِقُ.
“Berdoa di malam [Lailatul Qadar] itu lebih aku sukai ketimbang shalat. [Beliau berkata] Jika sedang membaca al-Qur’an, beliau pun sambil berdoa dan berharap kepada Allah dalam doanya, dan pintanya, semoga Dia menyetujui [mengabulkannya].”
Di antara doa-doa yang terbaik, selain yang telah dicontohkan oleh Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam untuk dibaca di malam penuh berkah ini, adalah doa yang diperuntukkan untuk kebaikan Islam dan umatnya. Setelah itu, baru doa untuk kemaslahatan pribadi dan keluarga.
http://aulia-advertising.blogspot.co.id/

Semoga kita bisa mendapatkan kemuliaan, keagungan dan keistimewaannya. Semoga apa yang menjadi hajat kita dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
[Khadim Ma’had dan Majlis Syaraful Haramain][]

Minggu, 19 Juni 2016

Hidup Tapi Mati

Saat dulu belajar di bangku sekolah, guru mata pelajaran IPA Biologi pernah bertanya tentang apa saja ciri-ciri dari makhluk hidup. Salah satu jawaban saya waktu itu, yang saya pelajari dari pelajaran beliau, adalah tumbuh (bertumbuh) selain bergerak dan berkembang biak. Karena yang namanya hidup itu pasti tumbuh. Kalau berhenti tumbuh itu pertanda makhluk itu mati atau segera mati.
Lalu mungkin tidak ya ada makhluk yang hidup tapi sebenarnya dia mati? Atau ada tidak ya manusia yang hidup tapi sejatinya dia mati?
Dalam kaca maca iman, seseorang tidak hanya dilihat dari kasat mata saja, yang nampak atau terlihat saja. Islam mengajarkan kepada kita betapa pandangan seorang mukmin itu bisa berkebalikan dengan pandangan mata manusia kebanyakan. Bukan sekedar beda, tapi memang secara pondasi benar-benar bertolak belakang dengan paham umum.
Islam menilai ada orang yang sudah mati, tapi Allah mengabarkan justru dia itu hidup. Pun sebaliknya Islam telah memberi kabar bahwa banyak manusia yang hidup, tapi Allah menilainya mati. Ya, yang kita lihat mati justru hidup; yang kita cermati hidup sebaliknya justru ia telah mati. Benar-benar kontra.
Kenapa bisa demikian? Mari kita simak beberapa firman Allah Swt berikut ini:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Ali Imran: 169-170)
“Tidak sama orang yang hidup dengan orang yang sudah mati. Sesungguhnya Allah SWT mendengar orang yang dikehendaki-Nya, sedangkan kamu tidak bisa menjadikan orang-orang yang di dalam kubur bisa mendengar.” (QS Faathiir: 22)
Di dalam ayat yang pertama, Allah menggambarkan bahwa para syuhada (yang sudah mati) itu sebenarnya hidup, tidak mati. Bahkan kita tidak boleh menyebutnya telah mati. Mereka hidup, demikian Allah gambarkan. Sedangkan sebaliknya di ayat yang kedua Allah mengabarkan bahwa orang-orang kafir itu pada hakikatnya telah mati meski masih hidup.
Qatadah menyampaikan dalam tafsirnya berkaitan dengan surat Faathiir ayat 22: “Ini adalah pemisalan yang Allah sampaikan antara mukmin dengan kafir, antara yang buta dengan melihat, antara kegelapan dengan cahaya.”
Oleh karenanya kita jangan terbuai atas apa yang terlihat oleh pandangan mata. Karena bisa jadi hakikatnya sangat berbeda dengan yang sebenarnya.
Seseorang yang telah mati dikatakan hidup karena anugerah yang telah Allah berikan atas amal sholih dan perjuangan mereka. Mereka ditempatkan dalam kemuliaan. Sebaliknya orang hidup disebut mati juga karena atas apa yang mereka lakukan. Hidup mereka jauh dari iman dan menolak kebenaran. Tidak hanya hatinya yang mati tapi hakikatnya hidup mereka telah mati.
Jadilah pribadi yang hidupnya benar-benar hidup dan matinya senantiasa hidup. Hal pembedanya tidak lain karena iman dan amal sholih yang dikerjakan. Saat hidup tanpa iman sebenarnya hidup kita itu bukan kehidupam tapi kematian. Pun jika hidup dengan iman tapi tanpa amal sholih pun juga demikian. Kematian dari kesempatan untuk beramal.
Mari kita berkaca pada keseharian. Sudahkah hidup kita benar-benar hidup, hidup yang ditemani iman yang lurus dan amal yang sholih? Jika belum, yuk berubah. Mumpung Allah masih beri kita kesempatan. Jika sudah, mari tingkatkan agar lebih baik lagi. Jangan sampai hidup kita yang kita lalui ini sebenarnya telah mati. Tapi jadilah pribadi yang meskipun nanti kita sudah mati tapi tetap hidup di hadapan Allah Swt. Aamiin. Wallahu’alam.
[Asep Supriatna, Life Performance Trainer]

Refleksi Rasa Syukur

Bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah merupakan salah satu kewajiban seorang muslim. Seorang hamba yang tidak pernah bersyukur kepada Allah, alias kufur nikmat, sejatinya adalah orang-orang sombong yang pantas dimasukkan ke nerakanya Allah SWT. Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingat dan bersyukur atas nikmat-nikmatNya. Allah SWT berfirman:
Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 152).
Imam ‘Ali Ash-Shabuni dalam Shafwât al-Tafâsir menyatakan, “Ingatlah kalian kepadaKu dengan ibadah dan taat, niscaya Aku akan mengingat kalian dengan cara memberi pahala dan ampunan. Sedangkan firman Allah SWT, ‘bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu’, bermakna: “Bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan kepadamu dan jangan mengingkarinya dengan melakukan dosa dan maksiyat. Telah diriwayatkan bahwa Nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhannya: ‘Ya Rabb, bagaimana saya bersyukur kepada Engkau?’ Rabbnya menjawab: ‘Ingatlah Aku dan janganlah kamu lupakan Aku. Jika kamu mengingat Aku sungguh kamu telah bersyukur kepadaKu. Namun, jika kamu melupakan Aku, kamu telah mengingkari nikmatKu’.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, I/142).
Di ayat yang lain Allah SWT menyatakan:
Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.” (Qs. al-Baqarah [2]: 172).
‘Ulama-‘ulama tafsir menafsirkan ayat ini sebagai berikut: “jika kalian benar-benar menyembah kepadaNya, bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmatNya yang tidak bisa dihitung itu dengan ibadah dan janganlah menyembah selain diriNya.
Atas dasar itu, bersyukur atas nikmat Allah merupakan kewajiban seorang muslim. Namun, seorang muslim harus memahami bagaimana cara merefleksikan rasa syukur secara benar. Betapa banyak orang merefleksikan rasa syukurnya dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syukur itu sendiri. Misalnya, ada orang yang mewujudkan rasa syukurnya dengan cara mabuk-mabukkan, pesta pora, pergi ke tempat-tempat maksiyat, bernyanyi-nyanyi hingga melupakan kewajibannya, dan seterusnya. Adapula yang merefleksikan rasa syukurnya dengan cara menyediakan sesaji dan persembahan kepada pohon dan tempat-tempat keramat. Refleksi syukur seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Islam.
Untuk itu, para ulama telah menggariskan tata cara bersyukur yang benar. Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa syukur harus direfleksikan dengan cara beribadah dan memupuk ketaatan kepada Allah SWT dan meninggalkan maksiyat. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam ‘Ali Al-Shabuni.
Ibadah dan taat kepada Allah SWT serta meninggalkan larangan-larangan Allah merupakan perwujudan rasa syukur yang sebenarnya. Seorang yang selalu taat kepada Allah SWT, menjalan seluruh aturan-aturanNya dan sunnah Nabinya pada hakekatnya ia adalah orang-orang yang senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. Sebaliknya, setiap orang yang menampik dan menolak dengan keras syari’at Islam, tunduk dan patuh kepada aturan-aturan kufur, termasuk orang-orang yang ingkar terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada mereka.
Allah SWT telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa, orang-orang yang mau bersyukur atas nikmat yang diberikanNya sangatlah sedikit. Kebanyakan manusia ingkar terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya.” (Qs. Yunus [10]: 60).
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka sedangkan mereka beribu-ribu jumlahnya karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka, ‘Matilah kamu’, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Qs. al-Baqarah [2]: 243).
Ayat-ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa, kebanyakan manusia tidak mau bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Tatkala mendapatkan kenikmatan mereka sering melupakan Allah SWT. Akan tetapi, tatkala mendapatkan kesusahan mereka mereka ingat dan bersyukur kepada Allah. Namun, setelah terlepas dari penderitaan mereka kembali ingkar kepada Allah SWT. Allah telah menyatakan dengan sangat jelas:
Katakanlah: ‘Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencara di darat dan di laut yang kamu berdo’a kepadaNya dengan berendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengetakan): ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur’.” Katakanlah: ‘Allah menyelamatkan kamu daripada bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukanNya.” (Qs. al-An’âm [6]: 63-64).
Ketika manusia ditimpa dengan berbagai macam kesusahan mereka segara berdoa dan berjanji untuk bersyukur kepada Allah jika bencana itu dilepaskan dari mereka. Akan tetapi, ketika Allah menghindarkan mereka dari bencana mereka lupa bersyukur bahkan kembali mempersekutukan Allah SWT. Betapa banyak orang menangis, meratap dan merengek-rengek meminta kepada Allah SWT agar dihindarkan dari kesusahan hidup; mulai kelaparan, kekeringan, bencana alam dan lain-lain. Mereka rela berpayah-payah memohon kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan kerendahan hati. Akan tetapi, ketika Allah menghindarkan mereka dari kesusahan mereka kembali menerapkan aturan-aturan kufur, bahkan menandingi aturan-aturan Allah SWT. Bukankah hal ini termasuk telah menyekutukan Allah SWT? Bukankah refleksi syukur sebenarnya harus diwujudkan dalam bentuk menerapkan syari’at Islam dan selalu berdzikir kepada Allah SWT? (Syamsuddin Ramadhan)

Ketaatan Dalam Jamaah

 Banyak orang yang meletakkan ketaatan kepada pemimpinnya baik itu kepada pemimpin partai, pemimpin jamaah, organisasi maupun Negara secara membabi buta. Mereka mentaati pemimpin tanpa batasan batasan yang dibenarkan oleh hukum syara’. Mengiyakan kata kata pemimpin tanpa perlu dikaji ulang apakah perintahnya tersebut sesuai atau melanggar hukum syara’. Sehingga lebih terkesan taklid buta terhadap keberadaan seorang pemimpin tersebut.
Memang ketaatan itu adalah hal yang sangat fundamental dalam Syiasah dan Dakwah Islamiyah. Akan tetapi bukan berarti kita lantas meletakkan ketaatan kepada pemimpin itu secara serampangan tanpa ada batasan batasan yang jelas. Karena ketaatan kepada pemimpin itu sifatnya tidak mutlak sebagaimana ketaatan kita kepada Allah dan Rosulullah Muhammad SAW.
Hal tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Firmannya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. (QS. an-Nisa : 59)
Maksud dari ayat di atas adalah wahai kaum muslimin hendaklah mentaati Allah dan Rosullnya serta Ulil Amri (yang mentaati Allah dan RosulnNya) diantara kalian. Artinya ketaatan kepada Allah dan Rosulullah memiliki skala pioritas mutlak. Sedangkan ketaatan kepada pemimpin memiliki batasan dan syarat syarat yang berlaku, yaitu ketika pemimpin tersebut taat pula kepada Allah dan RosulNya.
Hal tersebut senada dengan apa yang diajarkan oleh Rosulullah dalam beberapa hadisnya
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله، ومن أطاع الأمير فقد أطاعني ومن عصى الأمير فقد عصاني
Siapa saja yang taat kepadaku, maka berarti dia telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah mendurhakai Allah. Siapa saja yang taat kepada amir, maka berarti dia telah mentaatiku. Dan siapa saja yang durhaka kepada amir, maka berarti dia durhaka kepadaku. (HR. Bukhari dan Muslim)
عَلَى الْمَرْءِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib bagi seseorang untuk mendengar dan taat dalam apa yang ia sukai dan benci, kecuali ia diperintah berbuat maksiat. Maka bila ia diperintah berbuat maksiat, ia tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 2955 dan Muslim no. 1839)
Keberadaan Amir/Pemimpin memang untuk ditaati oleh para pengikutnya (orang yang dipimpin), sebagaimana imam shalat yang harus diikuti oleh semua makmumnya. Seorang amir al jaisy harus ditaati oleh semua pasukannya, Seorang amir jamaah/partai (hizb) harus ditaati oleh semua anggotanya. Seorang Kholifah harus pula ditaati oleh seluruh warga Negara yang berbaiat kepadanya
Agar ketaatan kita kepada pemimpin adalah merupakan ketaatan yang benar dan berdasar, kita harus memiliki landasan landasan yang kuat untuk meletakkan ketaatan tersebut. Syekh Said Hawwa  dalam menjelaskan rukun ketaatan menyebutkan bahwa ketaatan yang sempurna tidak mungkin terwujud tanpa adanya Ilmu dan Tsiqoh.

Ilmu landasan dalam ketaatan
Ilmu adalah landasan semua amal dalam kehidupan setiap manusia. Karena amal tanpa ilmu akan menjadikan amal tersebut rusak atau bahkan terjadi penyimpangan yang bisa jadi membahayakan dirinya maupun membahayakan ummat secara keseluruhan. Oleh karena itu Ilmu merupakan landasan fital yang harus dimiliki ketika kita hendak meletakkan ketaatan kepada pemimpin.
Islam melarang kepada ummatnya untuk berbuat taklid buta. Taklid yang tanpa dasar. Hal tersebut seperti yang disalmpaikan Allah dalam firmanNya :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra’ :36)
Itulah pentingnya ilmu. Sebagai gambaran, seorang makmim yang mengetahui syarat dan rukun shalat, dia akan bisa mengetahui ketika Imam melakukan perintah yang salah dalam memimpin jamaah. Akan tetapi makmum yang tidak berilmu pasti dirinya tidak akan mampu mengerti ketika imam melakukan kesalahan. Akan tetapi menjadi celaka ketika makmum yang tahu rukun dan syarat sholat dan dirinya mengetahui perintah imam salah tetapi dirinya “ewuh pekewuh” , merasa imam lebih faham darinya sehingga dirinya membiarkan kesalahan tersebut terjadi. Maka semua jamaah akan melakukan kesalahan.
Begitupula dalam kehidupan kita berjamaah. Ketika kita memiliki ilmu dalam berjamaah, tahu hak dan kewajiban tiap tiap anggota dan pengurus, tahu fiqroh thoriqoh dan uslub jamaah, maka kita akan mampu memberikan masukan dan mengawal agar jamaah selalu berada dalam koridor yang benar dalam meniti jalan dakwah ini
Kesalahan besar sebagian jamaah adalah “menyembunyikan” sebagian ilmu keorganisasian kepada anggotanya. Sehingga ketika pemimpin ataupun pengurus melakukan kesalahan dalam memimpin, setiap anggota tidak akan melakukan muhasabah dan bahkan berkhusnudzon Qiyadah sedang melakukan manufer politik demi tubuh jamaah/partai. Sungguh hal tersebut sangat berbahaya bagi keberlangsungan dakwah dalam tubuh jamaah/partai.
Maka sangat penting bagi keberlangsungan partai adalah memahamkan Fiqroh, Thoriqoh dan Uslub yang ditabani oleh partai. Sehingga setiap indifidu yang berada dalam jamaah mengerti dan memahami dengan benar apa yang disebut dengan “manufer partai” dengan “kesahalah partai”. Sehingga bisa melakukan muhasabah apabila memang terjadi hal yang demikian.
Itulah ilmu yang harus dimiliki dalam kepartaian. Agar kita mantap dan sempurna memberikan ketaatan kepada pemimpin partai demi berlangsungnya dakwah.

Tsiqoh sebagai landasan ketaatan.
Tidak ada Jamaah/Partai tanpa adanya pemimpin. Karena Allah memang memerintahkan kepada kita untuk selalu berjamaah. Ketika shafar kita harus dipimpin oleh seorang amir syafar dan semua pengikutnya harus taat dan percaya (tsiqoh) kepadanya. Sebagaimana diajarkan oleh Rosulullah SAW dalam hadisnya
وَلاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Tidak halal bagi tiga orang yang berada di manapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang di antara mereka sebagai amir (pimpinan) (HR Ahmad).
Tsiqoh adalah al-i’timân (percaya), yakni mempercayai apa-apa yang diperintahkan oleh amir (pemimpinan) atas upaya untuk mencapai urusan bersama dalam dakwah, baik dalam suasana (perasaan) lapang maupun sempit, disukai maupun dibenci.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. An-Nisaa : 65)
Percaya terhadapa keputusan keputusan amir jamaah/partai akan menjadikan langkah dan gerak dalam dakwah menjadi mantap. Kuat terhadap benturan. Kokoh bagai karang dilautan.

Belajar dari Kekalahan Perang Uhud
Ketika kaum muslimin Merasakan pahitnya kekalahan pada perang Uhud, mereka pun menyadari apa sebab kekalahan itu, dan dengan apa mereka akan meraih kemenangan. Sebelum perang Uhud, waktu itu sabtu pagi, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah mewanti-wanti agar pasukan pemanah yang berada di bukit Rumah (nama aslinya bukit ‘Ainain) agar tetap berada ditempatnya, walaupun kaum muslimin telah meraih kemenangan atau ditimpa kekalahan.
Api peperangan menyala, pedang menyambar, anak panah meleset keluar dari busurnya, tombak dihujamkan, banyak nyawa yang melayang, kaum muslimin menyerang, maju dengan penuh kepahlawan sebagai ksatria, kemenanganpun telah menampakkan senyumnya, kaum musyrikin lari meninggalkan medan perang penuh ketakutan.
Saat itu, diatas bukit Rumah pasukan pemanah mulai berselisih, kebanyakan mereka berkata, “Kita telah menang, ayo kita turun untuk bersama saudara-saudara kita“.
Pimpinan pasukan Abdullah bin Jubair radiyallahu’anhu mengingatkan, “Tetaplah berada ditempat kalian, karena Rasulullah memerintahkan agar kita tetap berada diatas bukit, dalam keadaan kita menang ataupun kita kalah“.
Perintah Rasulullah itu adalah dalam keadaan perang, sekarang perang telah selesai dan musuh telah melarikan diri“, mereka beralasan. Kemudian 40 orang dari 50 orang pasukan pemanah turun dari bukit Rummah.
Pimpinan pasukan berkuda kaum musyrikin Khalid bin Walid (sebelum masuk Islam) melihat kebanyakan pasukan pemanah telah meninggalkan tempatnya, maka ia dengan sigap menyerang pasukan kaum Muslimin dari belakang. Sisa pasukan pemanah yang berada diatas bukit yang bertugas untuk melindungi bagian belakang kaum muslimin tidak dapat menghadapi pasukan berkuda kaum musyrikin.
Keadaan pun berbalik, cahaya kemenangan yang mulai nampak kembali bersembunyi, kekalahan akhirnya dirasa, luka jasmani dan pahitnya kekalahan mereka teguk dengan begitu berat.
Namun mereka sadar, akan sebab kekalahan: melanggar satu perintah RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Mereka akan mendapatkan kunci kemenangan dan pertolongan Allah Ta’ala adalah dengan menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.
Penutup
Dakwah membutuhkan keseriusan dari para pengembannya. Tanpa keseriusan tentulah akan menjadi menghambat laju pergerakan dari Jamaah. Keseriusan tersebut sangat terlihat dari ketaatan dan ketsiqohan kita kepada pemimpin. Mengerjakan amanah yang diberikan kepada kita dengan sebaik baiknya dan semaksimal mungkin. Tidak menunda nunda setiap amanah dakwah, serta menyampaikan progresnya untuk dijadikan bahan evaluasi kedepan.
Jangan sampai kita justru menjadi para penghambar laju lesatan dakwah ini dengan abai terhadap taklif taklif dakwah yang diberikan kepada kita. Atau menunaikan sebatas pengugur kuwajiban semata, minim kreatifitas dan inovasi dalam pengemangan uslub dakwah.
لِيَجْزِىَ ٱللَّهُ كُلَّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
Agar Allah memberi pembalasan kepada tiap-tiap orang terhadap apa yang ia usahakan. Sesungguhnya Allah Maha cepat hisab-Nya ( QS. Ibrahim : 51 )
كُلُّ نَفْسٍۭ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al-Muddatsir : 38 )
Semoga kita semua digolongkan oleh Allah dalam barisan para pejuang yang istiqomah dijalan Nya dan selalu memberikan ketaatan yang benar kepada para pemimpin kita. Selalu memperhatikan landasan ilmu dan tsiqoh dalam mentaati pemimpin. Wallahualam (Sigit Nur Setiyawan)

Sabtu, 11 Juni 2016

QARINAH & PERANNYA DALAM INSTINBATH HUKUM SYARA’

QARINAH & PERANNYA DALAM INSTINBATH HUKUM SYARA’
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Foto Dakwah Tangsel.
Pengertian Qarinah
Qarinah (القرينة) dalam bahasa Arab berasal dari kata qarana, yang artinya jama’a (menggabungkan atau mengumpulkan) atau shaahaba (membarengi atau membersamai). Jadi qarinah menurut pengertian bahasa Arab artinya adalah sesuatu yang berkumpul atau membarengi sesuatu yang lain. (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19; Nazar Ma’ruf Muhammad Jan Bantan, Al Qara`in wa Ahammiyatuhaa fi Bayan Al Murad min Al Khithab ‘Inda Al Ushuliyyin wa Al Fuqoha, klm. 31-32).
Adapun menurut istilah dalam ushul fiqih, qarinah menurut Syaikh ‘Atha bin Khalil adalah setiap apa-apa yang memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna tuntutan itu jika dia digabungkan atau dibarengkan dengan tuntutan tersebut. (kullu maa yubayyin nau’ al thalab wa yuhaddidu ma’nahu idzaa maa jama’a ilaihi wa shaahabahu). (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19).
Qarinah ini tak dapat dilepaskan dari kaidah ushul fiqih (qa’idah ushuliyah) yang berbunyi : al ashlu fi ma’na al amr at thalab (asal dari makna perintah adalah tuntutan). Artinya, jika terdapat perintah (amr) dalam Al Qur`an atau As Sunnah, maka pengertian dasar dari amr itu adalah tuntutan (thalab). Yang menentukan jenis amr itu, apakah berupa amr yang jazm (tegas), atau amr yang ghair jazm (tidak tegas), atau amr yang berupa takhyir (piliihan), adalah qarinah-qarinah yang menyertai amr tersebut. (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 13)
Contohnya, terdapat perintah (amr) dalam firman Allah SWT ( أقيموا الصلاة) )Dirikanlah shalat ( (QS An Nuur : 56). Ini adalah tuntutan (thalab) kepada muslim untuk sholat. Tuntutan ini ternyata disertai qarinah-qarinah yang bersifat jazm (tegas), yaitu misalnya adanya ancaman siksa neraka bagi yang tak sholat. Ini berarti sholat itu hukumnya wajib. Qarinah itu antara lain firman Allah SWT :
ما سلككم في سقر قالوا لم نك من المصلين
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” Mereka menjawab,”Kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS Al Muddatstsir [74] : 42-43).
Qarinah yang menentukan jenis tuntutan ini adakalanya terdapat dalam nash yang lain, yaitu pada nash yang berbeda dengan nash yang mengandung thalab, seperti contoh di atas. Adakalanya qarinah terdapat pada nash yang sama dengan nash yang mengandung thalab. Misalkan firman Allah SWT :
ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra` [17] : 32).
Ayat tersebut mengandung tuntutan (thalab), yaitu tuntutan untuk meninggalkan perbuatan zina (wa laa taqrabuz zina). Dan pada nash yang sama, terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan itu adalah tuntutan untuk meninggalkan zina secara jazm (tegas), atau berhukum haram, yaitu firman-Nya yang berbunyi (innahu kaana fahisyatan wa saa`a sabiila).
Qarinah yang terdapat dalam nash yang berbeda dengan nash yang mengandung thalab, disebut juga dengan istilah al qarinah al munfashilah (qarinah yang terpisah). Sedang qarinah yang terdapat dalam nash yang sama dengan nash yang mengandung thalab, disebut al qarinah al muttashilah (qarinah yang bersambung/menyatu). (Muhammad Qasim Al Asthal, Al Qarinah ‘Inda Al Ushuliyyin wa Atsaruha fi Fahm An Nushush, hlm. 75 & 78).
Peran Qarinah
Peran qarinah sangat penting dan mutlak bagi seorang mujtahid yang hendak mengistinbath suatu hukum syara’. Terdapat paling tidak 3 (tiga) peran atau urgensi qarinah, yaitu :
Pertama, qarinah berperan untuk memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna tuntutan yang ada. Inilah peran paling penting dari qarinah. Dengan demikian, tanpa mencari dan memahami qarinah, seorang mujtahid dalam upayanya mengistinbath hukum tidak akan dapat menentukan makna tuntutan yang ada, apakah tuntutan itu hukumnya wajib atau mandub, haram atau makruh, ataukah mubah.
Dengan kata lain, mujtahid yang mencari dan memahami qarinah akan termasuk orang yang melakukan tadabbur terhadap Al Qur`an dan orang yang berusaha memahami makna-makna Al Qur`an. Dengan kata lain, mujtahid yang mencari dan memahami qarinah akan terhindar dari celaan sebagai orang yang tidak melakukan tadabbur terhadap Al Qur`an, serta terhindar dari celaan sebagai orang yang hatinya telah tertutup / terkunci, sebagaimana firman Allah :
أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (melakukan tadabbur) Al Qur`an ataukah hati mereka terkunci?” (QS Muhammad [47] : 24)
Kedua, pengamalan qarinah dapat menjamin pengamalan dalil secara komprehensif, bukan secara parsial. Sebab orang yang tidak mencari qarinah atau yang tidak mengamalkan qarinah, berarti mengabaikan dalil-dalil lain yang mengandung qarinah, baik dalil dari Al Qur`an maupun As Sunnah. Dengan demikian qarinah mempunyai peran untuk menjauhkan seorang mujtahid dari tindakan mengamalkan sebagian ayat Al Qur`an dan meninggalkan sebagian ayat Al Qur`an lainnya, yang jelas dikecam oleh Allah SWT dengan firman-Nya :
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَما جَزاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا وَيَوْمَ الْقِيامَةِ يُرَدُّونَ إِلى أَشَدِّ الْعَذابِ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian itu daripadamu, kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Dan Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al Baqarah [2] : 85)
Ketiga, mengamalkan qarinah dapat menghindarkan diri dari kontradiksi (ta’arudh) antar dalil yang secara lahiriah dapat nampak. Mujtahid yang mencari dan memahami qarinah, akan dapat meletakkan dalil-dalil yang secara lahiriah bertentangan secara proporsional, yaitu tanpa adanya pertentangan sama sekali. Sebab adanya kontradiksi (ta’arudh) di antara dalil-dalil syar’i adalah sesuatu yang mustahil secara syar’i, sebagaimana firman Allah SWT :
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an? Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa` [4] : 82). (Lihat Muhammad Qasim Al Asthal, Al Qarinah ‘Inda Al Ushuliyyin wa Atsaruha fi Fahm An Nushush, hlm. 40-41, dengan sedikit perubahan redaksional).
Kewajiban Mencari Qarinah
Menurut Syaikh ‘Atha bin Khalil, seorang mujtahid yang akan mengistinbath hukum syara’ haruslah menempuh 2 (dua) langkah sebagai berikut :
Pertama, mencari dalil yang menetapkan adanya thalab dalam suatu nash, baik thalab itu berupa thalabul fi’li (tuntutan untuk mengerjakan perbuatan), ataupun berupa thalabut tarki (tuntutan untuk meninggalkan perbuatan).
Kedua, mencari qarinah yang kalau digabungkan dengan dalil thalab yang telah diperoleh, akan dapat menjelaskan jenis tuntutan dan menentukan maknanya. (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19).
Langkah kedua untuk mencari qarinah itu hukumnya adalah wajib secara syar’i sehingga berdosalah seorang mujtahid kalau meninggalkan langkah tersebut. Sebab pada dasarnya mengistinbath hukum syara’ adalah wajib hukumnya demi untuk menyelesaikan berbagai masalah manusia (mu’alajat li masyakil al insan). Dan kewajiban ini tidaklah mungkin terlaksana tanpa ada langkah mencari dan memahami qarinah-qarinah. Maka langkah mencari dan memahami qarinah hukumnya adalah wajib, berdasarkan kaidah maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajib (jika suatu kewajiban tidak sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). (Muhammad Qasim Al Asthal, Al Qarinah ‘Inda Al Ushuliyyin wa Atsaruha fi Fahm An Nushush, hlm. 40).
Macam-Macam Qarinah
Menurut Syaikh ‘Atha bin Khalil, terdapat 3 (tiga) macam qarinah untuk memahami jenis thalab, yaitu :
pertama, qarinah yang menunjukkan jazm (hukum tegas), baik yang menunjukkan hukum haram maupun hukum wajib.
Kedua, qarinah yang menunjukkan ghair jazm (hukum tidak tegas), baik yang menunjukkan hukum mandub (sunnah) maupun hukum makruh.
Ketiga, qarinah yang menunjukkan istiwa` (hukum mubah), yaitu qarinah yang menunjukkan kesamaan antara tuntutan mengerjakan dengan tuntutan meninggalkan perbuatan. (‘Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19-28).
Qarinah yang pertama, yakni yang menunjukkan jazm (hukum tegas), ada banyak macam bentuknya. Antara lain adanya penjelasan mengenai siksaan atau hukuman di dunia atau di akhirat, atau yang semakna dengan itu, terhadap suatu perbuatan yang dikerjakan, ataupun perbuatan yang tidak dikerjakan. Penjelasan mengenai hukuman untuk perbuatan yang dikerjakan, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri. Adanya hukuman ini, merupakan qarinah bahwa perbuatan mencuri itu hukumnya haram. Firman Allah SWT :
وَ السَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُما جَزاءً بِما كَسَبا نَكالاً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Maidah [5] : 38).
Qarinah berupa penjelasan mengenai hukuman untuk perbuatan yang tidak dikerjakan, contohnya siksaan di neraka Saqar bagi orang yang tidak sholat. Adanya ancaman siksaan ini, merupakan qarinah bahwa mengerjakan sholat hukumnya wajib (lihat kembali contoh di atas di awal tulisan).
Qarinah yang menunjukkan jazm, juga dapat berupa celaan yang keras baik terhadap perbuatan yang ditinggalkan, maupun perbuatan yang dilakukan. Misalnya predikat mati jahiliyah bagi yang tidak mempunyai baiat kepada khalifah. Adanya predikat mati jahiliyah ini, merupakan qarinah yang menunjukkan baiat kepada seorang khalifah hukumnya wajib. Sabda Rasulullah SAW :
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam / khalifah) maka matinya mati jahiliyah.” (HR Muslim).
Contoh lainnya adalah predikat fahisyah (keji) dan jalan yang buruk (sa`a sabila) bagi perbuatan zina. Predikat ini merupakan qarinah yang menunjukkan bahwa zina itu hukumnya haram. (lihat kembali contoh di atas di awal tulisan).
Qarinah yang kedua, adalah qarinah yang menunjukkan ghairu jazm (hukum tidak tegas), yang menunjukkan hukum sunnah atau makruh. Qarinah ini juga ada banyak ragam bentuknya. Antara lain, adanya nash yang menunjukkan tarjih, yaitu melakukannya lebih baik daripada tak melakukannya, tetapi kosong dari qarinah-qarinah yang menunjukkan jazm. Misalnya sabda Rasulullah SAW :
تبسمك في وجه أخيك صدقة
“Senyummu di hadapan saudaramu, adalah sedekah.” (HR Tirmidzi).
Hadits ini menunjukkan adanya tarjih, yaitu tersenyum itu lebih baik daripada tidak tersenyum, karena ada pujian bahwa senyum kepada sesama muslim itu adalah sedekah. Tapi nash ini tidak disertai qarinah yang menunjukkan jazm, misalnya yang tidak tersenyum akan mati jahiliyah, atau dianggap melakukan perbuatan keji, dsb. Maka tersenyum pada saat berjumpa dengan sesama muslim hukumnya adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Contoh lainnya dari qarinah yang menunjukkan ghairu jazm (hukum tidak tegas), adalah diamnya Nabi SAW setelah adanya tuntutan untuk tidak berbuat sesuatu (thalabut tarki). Misalnya sabda Nabi SAW :
من كان موسرا ولم ينكح فليس منا
“Barangsiapa sudah mampu menikah tapi dia tidak menikah, maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR Bukhari, Muslim, dll)
Hadits tersebut berisi tuntutan untuk meninggalkan hidup membujang bagi yang sudah mampu menikah. Sebab Nabi SAW memberi predikat orang seperti itu sebagai orang yang “bukan golongan kami”. Tapi Nabi SAW telah membiarkan sebagian shahabatnya tidak menikah, padahal sudah mampu menikah. Diamnya Nabi SAW ini merupakan qarinah bahwa larangan hidup membujang bagi yang sudah mampu menikah adalah larangan makruh, bukan larangan haram.
Qarinah yang ketiga, adalah qarinah yang menunjukkan istiwa` (hukum mubah). Bentuknya juga beraneka ragam. Di antaranya adanya perintah setelah larangan, yang dirumuskan dalam kaidah ushuliyah yang berbunyi Al Amru ba’da an nahyi yufiidul ibaahah (perintah setelah larangan menunjukkan hukum mubah).
Misalnya perintah berburu binatang setelah adanya larangan berburu bagi yang berihram, yakni setelah jamaah haji melakukan tahallul. Allah SWT berfirman :
وإذا حللتم فاصطادوا
“Dan apabila kamu sudah menyelesaikan ibadah haji (bertahallul), maka berburulah.” (QS Al Maaidah [5] : 2).
Perintah untuk berburu ini bukanlah berarti perintah wajib, namun sekedar kebolehan berburu. Karena sebelum selesai beribadah haji haram hukumnya jamaah haji untuk berburu. Jadi perintah itu bukanlah perintah wajib, melainkan sekedar perintah untuk menghilangkan keharaman, yaitu menunjukkan boleh, bukan wajib berburu.
Yang semisal ini adalah perintah untuk bertebaran di muka bumi (intisyar fi al ardhi), seperti berjual beli (QS Al Jumuah : 10), setelah sebelumnya ada larangan jual beli pada saat sholat Jumat (QS Al Jumuah : 9). Perintah itu bukan berarti perintah wajib, melainkan sekedar boleh. Seperti itu pula adalah perintah untuk menggauli isteri setelah isteri selesai dari haid (QS Al Baqarah : 222), setelah sebelumnya ada larangan menggauli isteri pada saat haid (QS Al Baqarah : 222). Perintah untuk menggauli isteri pasca haid juga bukan perintah wajib atas suami, melainkan sekedar boleh.
Penutup
Demikianlah sekilas penjelasan kami mengenai qarinah dan perannya yang sangat penting dalam mengistinbath hukum syara’ bagi seorang mujtahid. Juga telah saya jelaskan macam-macam qarinah dan contoh-contohnya untuk menyempurnakan faidah tulisan ini, walau pun sangat singkat. Maka bagi yang ingin memperluas wawasan serta contoh-contoh tentang qarinah, hendaklah merujuk kepada kitab-kitab ushul fiqih, khususnya kitab karya Syaikh ‘Atha bin Khalil, hafizhahullah, yaitu Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19-28.
Wallahu a’lam.


BAGAIMANA MEMBUKTIKAN KEASLIAN AL-QUR'AN

BAGAIMANA MEMBUKTIKAN KEASLIAN AL-QUR'AN

Foto Dakwah Tangsel.
Soal:
Beberapa waktu yang lalu telah ditemukan naskah al-Quran tertua, bahkan diklaim lebih dulu ketimbang zaman Nabi saw. Pertanyaannya, benarkah klaim ini? Jika benar, bisakah bukti fisik seperti ini dijadikan alat untuk membuktikan keaslian al-Quran?
Jawab :
Pertama: Al-Quran telah didefinisikan oleh para ulama dengan:
كَلاَمُ اللهِ المُعْجِزُ المُنَزَّلُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَاسِطَةِ جِبْرِيْل عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَنُقِلَ إِلَيْنَا نَقْلاً مُتَوَاتِرًا بَيْنَ دَفَتَي المُصْحَفِ.
Kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada junjungan kita, Muhammad saw., melalui Malaikat Jibril as. dan dinukil kepada kita secara mutawatir di antara dua ujung Mushaf (al-Fatihah sampai an-Nas).” 1
Proses transmisi al-Quran kepada kita berbeda dengan hadis. Jika hadis sampai kepada kita melalui riwayat, maka al-Quran sampai kepada kita melalui penukilan. Menukil itu artinya memindahkan apa adanya, baik makna, huruf maupun bacaannya. Berbeda dengan meriwayatkan. Meriwayatkan itu artinya menyampaikan makna, bisa dengan redaksi yang sama sehingga dikenal riwâyat bi al-lafzhi; bisa dengan redaksi yang berbeda, atau disebut riwâyat bi al-ma’na.
Karena itu di dalam al-Quran tidak dikenal istilah riwâyat bi al-ma’na karena al-Quran memang tidak disampaikan melalui periwayatan. Sebaliknya, di dalam hadis dikenal istilah riwayat bi al-ma’na karena proses transmisi seperti ini terjadi di dalamnya.
Kedua: Pembukuan al-Quran dilakukan begitu al-Quran diturunkan kepada Nabi saw. Saat al-Quran turun, Nabi saw. pun memanggil pencatat wahyu untuk menuliskan ayat atau surat yang diturunkan kepada beliau. Di Makkah, ‘Abdullah bin Saad bin Abi Sarh dan Khalid bin Said bin al-‘Ash adalah nama-nama pencatat wahyu, ketika masih di Makkah, sebelum hijrah.2
Khalid bin Said bin al-‘Ash berkata, “Akulah orang yang pertama kali menulis “BismilLahirrahmanirrahim (Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).”3
Dokumen penulisan al-Quran ini juga bisa ditemukan dalam riwayat Ibn Hisyam. Sebagaimana diketahui, Umar bin al-Khaththab pernah mendatangi rumah adiknya, Fatimah dan Said bin Zaid, yang sedang mempelajari al-Quran yang disampaikan oleh Khubab bin al-Art. QS Thaha yang diajarkan itu ditulis pada selembar kulit disembunyikan oleh Fatimah agar tidak diketahui oleh Umar.4
Dalam riwayat lain, al-Kattani, dalam kitabnya At-Tarâtib al-Idâriyyah, menuturkan riwayat, “Sewaktu Rafi’ bin Malik al-Anshari menghadiri Baiat ‘Aqabah, Nabi Muhammad saw. menyerahkan semua ayat yang diturunkan pada dasawarsa sebelumnya. Ketika kembali ke Madinah, Rafi’ mengumpulkan semua anggota sukunya dan membacakan di depan mereka.” 5
Setelah di Madinah, jumlah para penulis wahyu Nabi saw. pun bertambah banyak, tak kurang dari 65 Sahabat.6
Ketiga: Al-Quran yang dibukukan di zaman Nabi saw. itu didiktekan langsung oleh beliau di hadapannya. Nabi saw. mengetahui huruf dan tulisannya. Setelah ditulis, penulis wahyu itu pun membacakan ulang apa yang dia tulis kepada Nabi saw. untuk memastikan tulisan, bacaan dan maknanya. Ini sebagaimana yang dituturkan oleh Zaid bin Tsabit.7
Karena itu al-Quran telah ditulis dan direkam dengan baik pada zaman Nabi saw. Zaid bin Tsabit menuturkan, “Kami mengumpulkan al-Quran di depan Nabi Muhammad saw.” 8
Nabi saw. kemudian memerintahkan, “Letakkan ayat-ayat tersebut ke dalam Surat—sebagaimana yang Baginda saw. sebutkan.”9
Dalam kesempatan lain, Zaid bin Tsabit menyatakan, “Rasulullah saw. telah wafat, sementara al-Quran belum terkumpulkan sedikitpun.”10
Ini tidak berarti, bahwa al-Quran belum ditulis dan dibukukan. Namun, yang benar, al-Quran sudah ditulis dan dibukukan, meski masih berserakan, dan belum terhimpun dalam satu mushaf.
Keempat: Setelah Rasulullah saw. wafat dan Abu Bakar ra. menjabat sebagai khalifah, Umar bin al-Khaththab mengusulkan kepada beliau agar al-Quran dikumpulkan menjadi satu mushaf. Namun, usulan ini ditolak meski kemudian pada akhirnya diterima oleh Abu Bakar. Beliau lalu menunjuk Zaid bin Tsabit, “Carilah semua al-Quran (yang berserakan) agar dapat dikumpulkan seluruhnya.”
Meski awalnya merasa berat, Zaid bin Tsabit akhirnya menerima tugas ini, dibantu oleh Umar ra.11
Dalam pelaksanaannya, Khalifah Abu Bakar mensyaratkan beberapa hal. Abu Bakar tidak memberikan wewenang kepada dia agar menulis (menyalin), kecuali apa yang telah tersedia dalam bentuk tulisan berupa kertas (kulit). Itulah alasannya, mengapa Zaid tidak mau memasukkan ayat terakhir QS al-Bara’ah sebelum sampai dengan membawa bukti suatu ayat yang telah tertulis (dalam bentuk tulisan) kendati ia mempunyai banyak Sahabat yang dengan mudah untuk mengingatnya kembali secara tepat dari hapalan mereka. 12
Zaid bin Tsabit menuturkan, bagaimana tugas tersebut dia lakukan, “Al-Quran saya kumpulkan dari berbagai bentuk kertas, kulit, potongan tulang dan dari dada-dada para penghapalnya.” 13
Dalam riwayat lain, Zaid menuturkan, “Saya mendapati dua ayat terakhir QS al-Bara’ah hapalannya ada pada Abu Khuzaimah al-Anshari.” 14
Karena itu, sebenarnya al-Quran yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit di zaman Abu Bakar ini sebenarnya bukanlah al-Quran yang baru, namun materi yang sama yang telah ditulis dan dibukukan di zaman Nabi saw. Setelah seluruh materi ini terkumpul, maka arsipnya pun disimpan di arsip kenegaraan di bawah pengawasan Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Kelima: Sepeninggal Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, kompilasi al-Quran tersebut dipindahkan ke rumah Hafshah binti Umar hingga ‘Umar wafat dan digantikan oleh Utsman bin ‘Affan. Pada zaman Khalifah Utsman inilah, kompilasi al-Quran ini digandakan setelah mendengar nasihat ‘Ali bin Abi Thalib, “Saya tahu, kita ingin menyatukan manusia (umat Islam) dengan satu mushaf. Dengan itu tidak ada lagi perbedaan dan perselisihan. Saya berpendapat, sebagaimana pendapat Anda.”15
Khalifah Utsman pun mengirimkan surat kepada Hafshah ra, “Kirimkanlah Suhuf kepada kami agar kami dapat membuat naskah yang sempurna. Kemudian Suhuf itu akan kami kembalikan kepada Anda.”
Hafshah pun mengirimkan Suhuf itu kepada Khalifah Utsman. Beliau kemudian memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Harits bin Hisyam agar memperbanyak salinan naskah tersebut. Setelah selesai, Suhuf ini pun dikembalikan kepada Hafshah.16 Mushaf inilah yang dikemudian dikenal dengan Mushaf dan Rasm ‘Utsmânî. Dengan demikian mushaf ini merupakan mushaf mutawâtir.
Keenam: Mushaf Mutawâtir inilah yang dinyatakan oleh Imam as-Syafii sebagai al-Quran. Adapun mushaf ahad, seperti Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ubay bin Kaab, dan lain-lain tidak diakui sebagai al-Quran, dan tidak bisa digunakan sebagai hujjah atas nama al-Quran. Alasannya, karena Nabi saw. telah diberi tugas untuk menyampaikan al-Quran yang diturunkan kepada beliau, kepada sekelompok orang, yang perkataan mereka bisa menjadi hujjah yang qath’i. Orang yang perkataannya bisa menjadi hujjah yang qath’i tak terbayang setuju untuk tidak menukil apa yang mereka dengarkan dari Nabi saw.17
Dengan cara seperti itulah, al-Quran sampai kepada kita. Dengan cara yang sama, al-Quran pun terjaga keasliannya. Begitulah. Pendek kata, al-Quran yang telah sampai kepada kita itu adalah al-Quran yang telah dinukil secara mutawatir, baik makna, tulisan maupun bacaannya. Allah SWT sendiri berjanji memastikan al-Quran terpelihara:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْر وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran ini dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaga-Nya (QS al-Hijr [15]: 9).
Ketujuh: Mengenai fakta bahwa telah terjadi penambahan pada titik, harakat dan tanda baca pada mushaf yang baru dilakukan pada zaman Muawiyah (w. 60 H/679 M), ketika Muawiyah menugaskan Abu al-Aswad ad-Du’ali (w. 69 H/688 M), yang di zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab telah beliau minta menulis risalah tentang tata bahasa Arab, dan telah merintis tanda baca dalam huruf Arab.18 Semua ini tidak mengurangi keaslian al-Quran. Justru semuanya ini dilakukan untuk menjaga keotentikannya agar tulisan, bacaan dan maknanya tetap terjaga.
Adapun temuan naskah yang diklaim ada sebelum Nabi saw., dan klaim itu didasarkan pada hasil pengujian yang teliti, maka klaim ini sesungguhnya tidak bisa menggugurkan keaslian naskah al-Quran yang ada di tangan kita. Pertama: Temuan ini hanya membuktikan “adanya” naskah, yang diklaim sebagai naskah al-Quran. Kedua: “Adanya” naskah ini tidak bisa digunakan untuk membuktikan hakikatnya, termasuk umurnya, kapan dibuat, dan seterusnya. Jika pun bisa, hasilnya hanya bersifat spekulasi, yaitu “diperkirakan berumur”, “diperkirakan dibuat pada tahun sekian”, dan seterusnya.
Karena itu jika “adanya” naskah ini hanya bisa menghasilkan kesimpulan spekulatif tentang umur al-Quran dan kapan dibuat, maka kesimpulan seperti ini tidak bisa meruntuhkan fakta yang qath’i bahwa al-Quran yang ada di tangan kita ini asli.
Dengan demikian, klaim temuan naskah tersebut hanyalah cara lain—setelah berbagai cara yang dilakukan oleh kaum kafir gagal—untuk meragukan keaslian al-Quran. Untuk pengayaan dalam masalah ini, silakan baca buku Prof. Dr. M.M. Al-A’dhami, The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation.
WalLahu a’lam.
[ Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki :
`````````````````````
1 Lihat, Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/161.
2 Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, IX/22; As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr Tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr, I/11.
3 Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, IX/22.
4 Lihat: Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/343-346.
5 Al-Kattani, At-Tarâtib al-Idâriyyah: an-Nuzhum al-Hukmiyyah, I/44.
6 Prof. Dr. M. Musthafa A’dhami, Kutâb an-Nabi.
7 As-Suli, Adab al-Kutab, hlm. 165; al-Hatsami, Majma’ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, I/52.
8 At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hlm. 141; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, V/185; al-Hakim, Al-Mustadrak, II/229.
9 At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadis no. 3086; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, I/69; al-Hakim, Al-Mustadrak, I/221.
10 Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/12.
11 Abi Dawud, Al-Mashahif, hlm. 6.
12 Ibn Hajar, Fath al-Bârî, IV/13.
13 Az-Zarkhasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, I/238-239.
14 Ibn Hajar, Fath al-Bârî, IV/13.
15 Abu Dawud, Al-Mashahif, hlm. 22.
16 Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/ii; Abu Dawud, Al-Mashahif, hlm. 19-20; Abu ‘Ubaid, Fadhâ’il, hlm. 282.
17 Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/160.
18 Ad-Dani, Al-Muhkam, hlm. 4-5; Ibn an-Nadim, al-Fihrist, hlm. 46.

KESABARAN ATAS BENCANA TERMASUK BAIKNYA KESUKSESAN & TANDA KEBAHAGIAAN

Ketahuilah bahwa termasuk baiknya kesuksesan dan tanda kebahagiaan adalah kesabaran atas bencana, serta kelembutan pada saat mendapat musibah. Bahkan al-Qur’an turun dan as-Sunnah datang untuk menegaskan pentingnya kesabaran. Allah SWT berfirman:

- kami ảyuّha) - karena sesungguhnya agar kita ٓma umurnya dan mati kembali dan itu memang sudah pergi-pergi-dan-dan-tanda-tanda-aّha ketika anda tidak alaّkum ufli h Mereka (

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (TQS. Ali Imran [3] : 200).

Artinya bersabarlah atas apa yang Allah wajibkan terhadap kalian, dan kuatkanlah kesabaranmu terhadap musuh-musuh kalian, serta tetaplah bersiap siaga—dalam hal ini ada dua pengertian: Pertama, tetaplah bersiap siaga untuk jihad. Kedua, tetaplah bersiap siaga untuk menunggu waktu shalat.

Kamu itu nggak pernah aٔbī mereka. Tiba-tiba kita: ada yang melihat warna asūlu aّhi saw.: " nggak d uluّkum alá pada siapa kita akan dibaca-umurnya dia bihi Mengapa orang-orang-yang-Kau-waya-bihi kembali masanya kita melihat tanda? Orang-orang: Balá Asūla-yang-Aّhi. - kita: ٕSba. - Wu, diam. Ada yang di sebelah maka jejak waka w " kata seorang wanita-nya - mas ٕlá dilalaikan. Untuk itu. Kamu pikir. Kau sudah dekat) tidak benar, yang benar (tidak), tatkala kami melihat aktivitas alikum dikasrahkan ".

Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan, dan mengangkat derajat?” Mereka menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Sempurnakan wudhu’ di waktu-waktu yang tidak disenangi (saat sangat dingin atau sakit), banyak melangkah ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut bersiap siaga (ar-ribāth).” (HR. Ibnu Majah).

Kemudian al-Qur’an turun untuk menegaskan pentingnya kesabaran dalam melakukan apa yang diwajibkan dan yang disunnahkan, serta menjadikannya di antara penopang ketakwaan dalam perkara yang diwajibkan dan dianjurkannya.

[Adab ad-Dunyā wa ad-Dīn, Al-Mawardi]

Jumat, 10 Juni 2016

RAMADHAN, TAKWA DAN CITA-CITA AGUNG”


Foto Dakwah Tangsel.
Nilai manusia, kata Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, ditentukan oleh apa yang dia cari. Karena itu, apa yang kita cari mencerminkan siapa kita, dan kedudukan kita. Apa yang kita cari, besar, kecil, agung, remeh, ecek-ecek dan hina itu pula yang mencerminkan diri kita. Maka, orang yang berjiwa besar akan bercita-cita dan mencari hal-hal besar. Orang yang berjiwa kerdil, akan bercita-cita dan mencari hal-hal kecil. Begitu juga orang yang agung dan mulia, akan akan bercita-cita dan mencari hal-hal yang agung dan mulia. Sebaliknya, orang yang rendah dan hina, akan bercita-cita dan mencari hal-hal yang murahan dan hina.
Syaikh Al-‘Affani dalam, Ruhban al-Lail wa Farsanan an-Nahar, menuturkan kisah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Saat kekuasaan tertinggi, dan teragung di kolong langit dan bumi dalam genggamannya, saat beliau menjadi Amirul Mukminin, salah seorang Khulafa’ Rasyidin yang adil, tak lantas membuatnya bangga, dan cukup. Karena ada cita-cita yang lebih tinggi dan mulia dari apa yang ada dalam genggamannya. Cita-cita mendapatkan ridha Allah SWT. Bahkan, tiap malam beliau pun harus terjaga, munajat dan menangis ke haribaan Rabb-nya. Itulah sosok yang memiliki jiwa yang tinggi dan agung.
Sosok yang berjiwa tinggi dan agung, dengan cita-cita luhur dan agung itu tidak lahir dengan sendirinya, tetapi dia harus dibentuk dan dilahirkan. Lalu, apa pondasi dan bekal terpenting dari semuanya itu? Jawabannya, adalah takwa. Takwa digambarkan oleh Sayyidina ‘Ali, karrama-Llahu wajhah, dengan empat karakter: al-khauf min ar-Rabb al-Jalil [takut kepada Rabb yang Maha Agung], al-‘amal bi at-tanzil [menjalankan al-Qur’an/hukum yang diturunkan Allah], ar-ridha bi al-qalil [ridha meski terhadap yang sedikit], dan al-isti’dad li yaum al-rahil [bersiap menghadapi Hari Penggiringan]. Inilah karakter orang yang bertakwa, menurut menantu dan saudara sepupu Nabi saw. itu.
Hanya saja, kunci dan pangkal ketakwaan itu dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an:
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ، وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ، وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ..
“[Orang-orang yang bertakwa] adalah mereka yang mengimani yang gaib, mendirikan shalat dan membelanjakan apa yang telah Kami anugerahkan kepada mereka.” [Q.s. al-Baqarah: 3]
Allah mendahulukan keyakinan kepada yang gaib, sebelum menunaikan shalat dan membelanjakan harta, karena keyakinan kepada yang gaib ini adalah kuncinya. Karena keyakinan kepada yang gaib ini adalah pondasinya. Tanpanya, tidak mungkin mereka bisa mendirikan shalat, dan membelanjakan hartanya. Keyakinan kepada yang gaib, tentang Allah yang Maha Tahu, Melihat dan Berjanji memberikan pahala dan surga itulah yang mendorong mereka meski dengan berat akhirnya mendirikan shalat. Begitu juga orang yang berinfak, meski dengan berat, akhirnya sanggup dia kerjakan, karena keyakinannya bahwa Allah Maha Tahu, Melihat dan Berjanji akan membalasnya.
Keyakinan kepada yang gaib itulah yang membuat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tidak silau dengan kekuasaan, dan jabatan tertinggi yang ada dalam genggamnya. Jabatan mentereng, dan kedudukan yang tinggi di dunia itu pun tidak membuatnya lupa diri. Karena keyakinannya kepada yang gaib, bahwa di sana ada Allah yang ridha-Nya lebih dari segalanya. Tidak ada artinya kedudukan dan jabatan yang tinggi dan agung itu dalam genggaman, jika Allah tidak ridha. Itulah sosok manusia yang berjiwa agung dan tinggi. Mata dan hatinya bisa menembus dinding “dhahir kehidupan dunia” yang tebal, entah itu anak, isteri, gaji dan jabatan, termasuk pujian kawan, dan acaman musuh.
Keyakinan kepada yang gaib inilah yang ditanamkan oleh Allah SWT kepada Nabi saw. Keyakinan yang sama kemudian ditanamkan Nabi saw. kepada para sahabat, ridhwanu-Llah ‘alaihim. Keyakinan kepada yang gaib inilah yang membuat Abu Bakar radhiya-Llahu ‘anhu berani bertaruh dengan orang Kafir Quraisy, saat Emperium Persia mengalahkan Emperium Romawi, bahwa setelah ini Emperium Romawilah yang akan menang, sekaligus meyakini kemenangan kaum Muslim atas orang Kafir Quraisy. Allah SWT pun membenarkan keyakinan Abu Bakar, dengan menurunkan Q.s. ar-Rum 1-2 kepada Nabi saw. Kalau bukan karena keyakinannya kepada yang gaib, mustahil Abu Bakar bisa melakukannya.
Keyakinan kepada yang gaib inilah yang kini terkikis dari umat Islam. Akibatnya, mereka silau dengan yang dhahir. Karena terkikisnya keyakinan kepada yang gaib itu, mereka pun silau dengan penguasa dan sistem non-Islam. Mereka pun silau dengan kedikdayaan modal, media dan jaringan cukong dan mafia, saat yang sama mereka melupakan sandaran hakikinya, Allah SWT. Padahal, ketika mereka kalah secara materi, satu-satunya kekuatan mereka justru ada pada keyakinannya kepada yang gaib. Tetapi, sayangnya itu pun tidak ada. Akibatnya, mereka pun tetap terbelenggu “perbudakan” penjajah dan antek-anteknya.
Saat Papua, dengan tambang emas terbesarnya di dunia, dan lebih 90 persen sumber Migas negerinya dikangkangi oleh negara adidaya, seolah umat di negeri ini pun tak berdaya. Menyerah, dan tak sanggup berbuat apa-apa, selain pasrah. Semuanya ini karena hilangnya keyakinan kepada yang gaib, keyakinan bahwa daya dan kekuatan itu milik Allah, la haula wa la quwwata illa bi-Llah, bukan milik negara adidaya. Akibatnya, keadidayaan negara penjajah itu lebih mereka takuti ketimbang keMahaadidayaan Allah SWT. Karena itu, kita pun menjadi bangsa dan umat yang kerdil, hina dan terus terjajah.
Maha Besar Allah yang telah menetapkan puasa di bulan Ramadhan dengan hikmah takwa. Hikmah yang mestinya tiap tahun bisa diraih oleh umat Islam setelah menunaikannya. Andai saja takwa, kunci dan pondasinya, yaitu keyakinan kepada yang gaib, serta empat karakternya, sebagaimana yang dijelaskan oleh orang yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya itu bisa diraih dengan sempurna, umat Islam hari ini akan menjadi umat yang tinggi dan mulia. Umat terbaik sebagaimana generasi sebelumnya.
Semoga hikmah takwa ini bisa kita raih di bulan Ramadhan yang agung dan mulia ini dengan sempurna. Dengannya, semoga kita dikembalikan oleh Allah SWT menjadi umat yang mulia, agung dan terbaik sebagaimana generasi sebelum kita. Maka, inilah momentum yang sangat tepat untuk mengembalikan kemuliaan, keagungan dan ketinggian jiwa kita. Kemuliaan, keagungan dan ketinggian yang terbentuk karena mata dan hati kita mampu menembus tebalnya dinding “dhahir kehidupan dunia”.
Semoga kemuliaan dan keagungan Ramadhan benar-benar meninggikan derajat kita, dengan cita-cita kita yang tinggi dan mulia, dengan pekerjaan dan aktivitas agung yang kita torehkan di dalamnya. Aamiin ya robbal 'alamiin..
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
[Khadim Majlis-Ma’had Syaraful Haramain]