Mau Pasang Iklan, Hub Biro Iklan, Aulia Advertising, Telp 0813 8468 1151
Aulia PROPERTY,MEMASARKAN BALE PERIGI, PURI SINAR PAMULANG, PESONA ALAM CIPUTAT, CLUSTER Tsb Ready Stock Telp 081384681151

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus

Menyelenggarakan Umrah Dan Haji Plus
Spesialis cetak/sablon spanduk kain promosi,SPANDUK KAIN Dwitama Advertising Benda Baru, Pamulang, Tangsel Telp, 0856 7386 103, 0813 8468 1151

Rabu, 14 Maret 2018

MENDIRIKAN KHILAFAH BERARTI MEMBERONTAK KEPADA ALLAH SWT?



MENDIRIKAN KHILAFAH BERARTI MEMBERONTAK KEPADA ALLAH SWT?


Anda akan menganggap aneh pertanyaan di atas. Sebab, bagaimana mungkin mendirikan khilafah yang diwajibkan Allah Swt, namun ketika dilaksanakan justru dianggap sebagai tindakan memberontak kepada-Nya?
Tentu Anda akan merasa lebih aneh lagi ketika ada mengiyakan pertanyaan tersebut. Anda pun barangkali lebih terkejut jika pernyataaan itu keluar dari seorang profesor Perguruan Tinggi Agama Islam. Tetpai begitulah faktanya. Ini benar-benar terjadi. Bukan lelucon, juga bukan hoaks.
Adalah Prof. Dr. Yudian Wahyudi yang juga rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang melontarkan pernyataan aneh itu. Di depan hakim PTUN Kamis, 8/3/18 yang lalu dengan tegas, ahli yang didatangkan oleh pemerintah itu mengatakan:  “Maka, mendirikan khilafah di Indonesia berarti memberontak kepada Allah!”
Pernyataan ini benar-benar sangat ganjil. Aneh. Sebab, menegakkan khalifah adalah perintah Allah Swt. Tidak ada seorang pun ulama yang berbeda tentang ini. Semuanya mengatakan bahwa mengangkat seorang khalifah –kepala negara khilafah— adalalah wajib. Al-Imam al-Mawardi rahimahullah dalam al-Ahkâm al-Sulthâniyyah berkata:
الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمْ الْأَصَمُّ.( الأحكام السلطانية للماوردي {ص: 15})
Imamah itu diangkat sebagai pengganti tugas-tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia;  Dan mengangkatnya bagi orang  yang mampu melaksanakannya di tengah umat adalah wajib berdasarkan ijma’, meskipun al-Ashamm menyelisihinya (al-Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Shulthâniyyah, 15)
Bahkan bukan sekadar wajib. Menurut al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, para sahabat Nabi saw ridhwânal-lâh ‘alayhim pun menjadikan kewajiban mengangkat seorang imam sesudah wafatnya Rasulullah saw itu sebagai ahamm al-wâjibât(kewajiban paling penting). Alasannya, mereka lebih mendahulukan untuk menyelesaikan urusan ini dibandingkan dengan memakamkan jenazah Rasulullah saw.
Hal itu tidak mengherankan. Sebab, tugas utama khalifah adalah menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan. Sehingga, tanpanya akan ada banyak hukum Islam yang terlantar dan tidak bisa dilaksanakan.
Sebagai contoh paling mudah adalah hukum-hukum hudud dan jinayat yang diwajibkan dalam al-Quran. Semua hukum akan terlantar ketika tidak ada khalifah seperti sekarang. Dan ini pula di antara dalil wajibnya mengangkat seorang Imam. Imam al-Hasan al-Naisaburi berkata:
أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله ﴿ فاجلدوا ﴾ هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب .
Umat telah bersepakat bahwa pihak yang diseru dengan firman-Nya: (Maka cambuklah) adalah seorang Imam, hingga mereka beralasan dengannya atas wajibnya mengangkat seorang Imam. Sesungguhnya sesuatu perkara yang tidak sempurna sebuah kewajiban tanpanya, maka perkara itu hukumnya wajib.” (Al-Hasan bin Muhammad An-Naisaburi, Tafsir An-Naisaburi, V/465).
Tentang tugas khalifah dalam urusan tersebut, al-Imam Abu Zakari al-Nawawi rahimahullah juga berkata:
لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا
Menjadi keharusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya (dalam Rawdhat al-Thâlibîn wa Umdat al-Muftîn, III/433).
Sementara menerapkan hukum-hukum Islam adalah kewajiban. Amat banyak ayat dan Hadits yeng menjelaskan hal ini. Seperti firman Allah Swt:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Maka putuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Alloh, dan jangan menuruti hawa nafsu mereka untuk meninggalkan kebenaran yang telah diturunkan padamu (QS al-Maidah [5]: 48).
Perintah seperti ini bertebaran dalam al-Quran, seperti QS al-Maidah [5]: 48-49, al-Nisa [4]: 59, 60, dan 65, al-Hasyr [47]: 7, al-Ahzab [33]: 36, al-Nur [24]: 63, dan lain-lain.
Kewajiban itu berlaku untuk seluruh manusia sejak diutusnya Rasulullah saw hingga hari Kiamat. Tak ada beda antara orang Arab dengan orang Eropa, Orang Maroko dengan orang Indonesia. Sebab, Rasulullah saw diutus seluruh manusia tanpa terkecuali (lihat QS Saba` [34]: 28 dan  al-A”raf [7]: 158).
Jelaslah bahwa menerapkan hukum Islam adalah kewajiban dari Allah Swt. Dan itulah tugas utama seorang khilafah. Maka, bagaimana mungkin mendirikan khilafah di Indonesia dianggap sebagai pemberontakan kepada Allah Swt?
Bisakah dinalar dengan akal sehat: Allah Swt memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengerjakan sebuah kewajiban, kemudian Dia pula menyebut orang-orang yang mengerjakannya  sebagai pemberontak kepada-Nya?
Mestinya yang dapat diterima oleh akal sehat adalah yang bertindak sebaliknya. Sudah jelas bahwa Allah Swt telah memerintahkan manusia untuk tunduk dan patuh kepada syariah-Nya. Siapa pun yang membangkang, menolak, menghalangi, dan memusuhi; maka merekalah  yang lebih layak disebut memberontak kepada Allah Swt.
Masih bingung juga?
Semoga Allah Swt memberikan hidayah kepada kita sehingga tidak terbingungkan oleh pernyataan-pernyataan nyleneh, walaupun dilontarkan seorang ahli. WaL-lâh a’lam bi al-shawab. (Rokhmat S. Labib).