Senin, 19 September 2016, HMJ Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta menyelengarakan diskusi publik bertajuk “Islam Progresif : Kritik atas Islam Liberal”, hadir sebagai panelis, Ulil Abshar Abdalla (Co-Founder Jaringan Islam Liberal), Ali Munhanif (Peneliti di PPIM UIN Jakarta), Muhammad AlFayadl (Koordinator Front Nahdliyin untuk kedaulatan SDA), Danni Setiawan (Dosen FISIP UIN Jakarta, Pengurus Pusat Muhammadiyah), dan sebagai moderator adalah Nasir mahasiswa FISIP UIN Jakarta. Diskusi yang berlangsung di Aula Madya FISIP UIN Jakarta ini dipadati oleh mahasiswa dari UIN Jakarta dan juga kampus lain seperti Universitas Indonesia. Jalannya diskusi berlangsung cukup menarik, alur pembahasan panelis berfokus pada pandangan Islam terhadap isu ekonomi - politik.
Dalam paparannya Fayadlh mengajukan gagasan Islam Progresif, Ia banyak mengkritik sepak terjang Islam Liberal termasuk di antaranya sikap Islam liberal yang membela ekonomi pasar. Fayadlh mengkritik kapitalisme kemudian mengajukan wacana yang menurutnya lebih progresif yakni bagaimana Islam bisa menjawab realita ekonomi politik atas rusaknya kapitalisme, di antaranya ia contohkan bagaimana Islam mengatur produksi dan upah buruh yang menjadi problem dalam kapitalisme. Fayadlh juga mengkritik ekonomi syariah yang hari ini dipraktikan masih dalam bayang-bayang kapitalisme.
Atas kritikan dari Front Nahdyiyin Ulil tidak merasakan tidak ada hal yang istimewa bahkan Ia mengamini bahwa Islam liberal memang telah gagal. Baginya Islam liberal minus aksi hanya sekumpulan kalangan elitis saja. Terkait kapitalisme Ulil menyampaikan bahwa ia menunggu gerakan dari Islam kiri yang menurutnya sempat populer di era 60-70an, termasuk gerakan Islam kiri yang ada di Indonesia.
Atas kritikan dari Front Nahdyiyin Ulil tidak merasakan tidak ada hal yang istimewa bahkan Ia mengamini bahwa Islam liberal memang telah gagal. Baginya Islam liberal minus aksi hanya sekumpulan kalangan elitis saja. Terkait kapitalisme Ulil menyampaikan bahwa ia menunggu gerakan dari Islam kiri yang menurutnya sempat populer di era 60-70an, termasuk gerakan Islam kiri yang ada di Indonesia.
Panelis yang ketiga Danni, di antara paparannya mengajukan sebuah problem terkait fenomena riba, bahwa Islam jelas mengharamkan riba namun dalam kapitalisme di antara yang tidak bisa dipungkiri adalah unsur riba di dalamnya, beliau menjelaskan dengan memberi contoh Indonesia yang berhutang kepada asing, yang hutangnya berbasis riba, contoh lainnya juga beliau sebut yakni gedung UIN Jakarta ada yang dibangun dengan pinjaman dari bank yang juga berbasis riba. Atas fenomena ini beliau mengajukan pertanyaan bagaimana kemudian Islam menjawab fenomena tersebut.
Sedangkan Ali Munhanif dalam paparannya mengapresiasi Ulil dan Jaringan Islam Liberal sebagai sebuah diskursus pemikiran, Ali mendorong agar Indonesia menjadi negara yang modern dan sekuler.
Di sesi tanggapan dan pertanyaan, Penanya pertama menanyakan langsung kepada Ulil tentang kontribusi yang diberikan JIL untuk Indonesia. Dijawab secara spontan oleh Ulil, “Tidak ada”. Jawaban spontan tersebut diiringi tawa dari para peserta diskusi.
Penanggap kedua adalah Gustar mahasiswa yang memperkenalkan diri sebagai aktivis HTI, Ia mengapresiasi kajian yang dilakukan Fayadlh dari Front Nahdliyin terkait rusaknya kapitalisme. Ia menjelaskan Islam memiliki perbedaan yang tegas dengan sosialisme dan kapitalisme, Islam memiliki jawaban atas segala problematika termasuk tentang reklamasi dan tax amnesty. Ia juga menambahkan bahwa perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme juga menjadi salah satu isu sentral yang diserukan Hizbut Tahrir.
Terkait Isu Islam dan Ekonomi-Politik Danni dosen Ilmu Politik yang juga Pengurus Pusat Muhamaddiyah mengapresiasi apa yang selama ini telah dilakukan HTI, menurutnya HTI sudah lebih dulu konsen menyikapi isu ekonomi-politik sebagaimana yang dituangkan dalam publikasi-publikasi HTI, bahkan ia menambahkan upaya judicial review yang dilakukan Muhammadiyah di antara landasannya mengutip hadis (annaasu syurakaau fi tsalasin ... ) yang telah lebih dulu disuarakan oleh HTI.
Di kesempatan tanggapan, Ulil menyampaikan pembelaannya terhadap kapitalisme sebagai ideologi yang akomodatif terhadap kritik meskipun telah mengalami berkali-kali krisis, ia juga menuding kalangan seperti HTI yang memperjuangkan sistem Islam sebagai kelompok agamawan yang tidak mengerti ekonomi dan sains dan tidak memiliki orang-orang pakar di bidang tersebut serta tidak empiris, tudingan Ulil spontan dibantah oleh peserta diskusi dari HTI bahwa apa yang disampaikan Ulil adalah tidak benar, Hizbut Tahrir memiliki para pakar dan juga empiris. Terlihat Ulil tidak bisa membela tudingannya yang dibantah. Kontak antara Ulil dan peserta dari HTI membuat riuh para peserta diskusi. [CHY]