Pendaftaran Haji Plus Dan Umroh |
Awetkan Binatang untuk Aksesoris, Bolehkah?
Sablon Spanduk |
Tanya :
Pasang Iklan |
Ustadz, bagaimana hukum gantungan kunci dari hewan yang diawetkan, seperti kupu-kupu? (Doni Riwayanto, Jogja)
Jawab :
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui lebih dulu hukum mengawetkan hewan secara umum. Secara garis besar, hewan-hewan yang diawetkan ada dua macam dari segi halal haramnya; pertama, hewan yang haram dimakan, seperti babi, anjing, kucing, harimau, singa, burung elang, dan sebagainya. Hewan-hewan yang haram dimakan ini jika mati akan menjadi bangkai (al maitah). Padahal syariah Islam telah mengharamkan memanfaatkan najis-najis, termasuk bangkai. Syariah juga mengharamkan menjualbelikan bangkai, sesuai hadits bahwa Rasulullah SAW telah melarang jual beli minuman keras (khamr), bangkai (al maitah), babi (khinzir), dan berhala/patung (al ashnam). (HR Bukhari dan Muslim).
Maka dari itu, haram hukumnya mengawetkan hewan-hewan yang haram dimakan, seperti babi, anjing, kucing, singa, burung elang, dan hewan-hewan lain yang haram dimakan. Hal ini karena pengawetan tersebut termasuk memanfaatkan najis yang telah diharamkan syariah. Haram pula menjualbelikan hewan-hewan yang diawetkan jika hewannya termasuk hewan yang haram dimakan, karena syariah telah mengharamkan menjualbelikan bangkai.
Kedua, hewan-hewan yang halal dimakan, seperti sapi, kambing, belalang, ikan, hewan-hewan laut, dan sebagainya. Hewan-hewan yang halal dimakan ini dibagi lagi menjadi dua macam dilihat dari segi ada tidaknya penyembelihan syar’i padanya:
(1) hewan yang telah disembelih secara syar’i. Untuk hewan kategori ini, yaitu hewan yang halal dimakan dan sudah disembelih secara syar’i, maka boleh diawetkan dan boleh pula hewan yang sudah diawetkan itu dijualbelikan. Hal itu karena hewan tersebut mati dalam keadaan suci, yakni bukan menjadi bangkai yang statusnya najis.
Berdasarkan ini, boleh misalnya mengawetkan kambing, ayam, unta, dan hewan-hewan lain yang halal dimakan dengan syarat sudah disembelih dulu secara syar’i.
(2) hewan yang mati tanpa disembelih secara syar’i. Hewan kategori ini, statusnya menjadi bangkai yang najis dan haram dimakan. Hal ini dikarenakan kematian adalah sebab terjadinya kenajisan (al maut ‘illat at tanjiis). (Lihat Abdul Majid Mahmud Shalahain, Ahkamun Najaasaat fi Al Fiqh Al Islami, Madinah : Darul Majma’, 1991, Juz I hlm. 145).
Maka dari itu, hewan kategori ini tidak boleh diawetkan dan tidak boleh pula hewan yang sudah diawetkan itu dijualbelikan. Hal itu dikarenakan syariah telah mengharamkan memanfaatkan dan menjualbelikan najis. Dikecualikan dalam hal ini, bangkai-bangkai tertentu yang telah dihalalkan syariah berdasarkan dalil-dalil khusus, yaitu : (1) bangkai ikan; (2) bangkai belalang; dan (3) bangkai hewan-hewan laut.
Berdasarkan ini, tidak boleh misalnya mengawetkan kambing, ayam, unta, dan hewan-hewan lain yang halal dimakan jika tidak disembelih dulu secara syar’i. Adapun hewan-hewan yang bangkainya dihalalkan syariah, yaitu ikan, belalang, dan hewan-hewan laut, boleh diawetkan tanpa ada keraguan.
Demikianlah hukum syara’ mengenai hukum mengawetkan hewan yang bersifat umum. Pertanyaannya, bolehkah mengawetkan kupu-kupu? Jawabannya tergantung pada apakah kupu-kupu itu halal dimakan atau tidak. Dalam kajian kami, wallahu a’lam, kupu-kupu (Arab : al faraasy) hukumnya haram dimakan, sebagaimana penjelasan Imam Syihabuddin Al-Syafi’i (w. 808 H) dalam kitabnya At-Tibyaan Limaa Yuhallal wa Yuharram Minal Hayawan hlm. 95 dan 101.
Dalil keharaman kupu-kupu, sabda Nabi SAW, ”Jika lalat jatuh/hinggap pada makanan salah seorang kamu, maka tenggelamkanlah dia” (“idza waqa’a al dzubaab fii tha’aami ahadikum falyaghmishu”). (HR Bukhari).
Dalam hadits ini Nabi SAW memerintahkan menenggelamkan lalat (al dzubaab) jika jatuh/hinggap di makanan, padahal penenggelaman itu dapat mengakibatkan terbunuhnya lalat itu. Ini menunjukkan haramnya lalat, karena adanya perintah syara’ untuk membunuh suatu hewan berarti menunjukkan bahwa hewan itu haram dimakan. Padahal dalam bahasa Arab, pengertian lalat (al dzubaab) mempunyai makna yang luas, termasuk juga “kupu-kupu” (al faraasy). Maka, kupu-kupu hukumnya haram. (Imam Syihabuddin Al-Syafi’i, At-Tibyaan Limaa Yuhallal wa Yuharram Minal Hayawan, Beirut : Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, hlm. 102).
Berdasarkan haramnya kupu-kupu, maka dengan demikian jelaslah bahwa mengawetkan kupu-kupu hukumnya haram. Haram pula menjualbelikan kupu-kupu yang telah diawetkan, seperti dalam bentuk gantungan kunci yang ditanyakan di atas. Wallahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al Jawi].