Ada ungkapan kaidah fiqhiyah yg dijadikan hujjah andalan salafi wahabi
terkait amalan yg tidak ada perintahnya itu adalah amalan bid’ah dan
haram dilakukan sbb:
قاعدة: الأصل في العبادات التحريم. فلا يجوز للإنسان أن يتعبد لله -عز وجل-
بعبادة، إلا إذا ورد دليل من الشارع بكون تلك العبادة مشروعة
Kaidah : Hukum asal ibadah adalah haram, tidak dibolehkan bagi manusia
jika beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla sampai adanya dalil yg
memerintahkan itu ibadah sebagai ibadah yg disyare’atkan.
Benarkah demikian? Imam Syafi’i berkata mengenai kaidah asal satu ibadah,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil yg
membolehkan atau melarangnya).” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah
juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya
adalah dengan melihat dalil”. Kaidah ini disebutkan oleh beliau dalam
kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu Ruslan disebutkan,
الأصل في العبادات التوقيف
“Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil).”
Ibnu Muflih berkata dalam Al Adabu Asy Syar’iyah,
أَنَّ الْأَعْمَالَ الدِّينِيَّةَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُتَّخَذَ شَيْءٌ
سَبَبًا إلَّا أَنْ تَكُونَ مَشْرُوعَةً فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ مَبْنَاهَا
عَلَى التَّوْقِيفِ
“Sesungguhnya amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh dijadikan sebagai
sebab kecuali jika telah disyari’atkan karena standar ibadah boleh
dilakukan sampai ada dalil.”
Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di dalamnya- berkata,
Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di dalamnya- berkata,
إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
“Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17)
Setelah memperhatikan pandangan dan pendapat para ulama diatas tentunya
kita memahami bahwa ternyata amalan ibadah itu tawqif, artinya belum
diketahui apakah amalan tersebut itu wajib, haram, sunah atau mubah?
Untuk mengetahui sebuah ibadah itu wajib, haram, sunah atau mubah semua
bermuara pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yg tentunya dalam memahaminya
harus mengikuti penjelasan para ulama. Jadi tidak segitu mudahnya kita
menghukumi suatu amalan itu bid’ah, salah dan harus dijauhi manakala
belum adanya larangan dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr : 7)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ
مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: "Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa saja yg aku
larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yg aku perintahkan
kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yg
membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya
dan menyelisihi Nabi-nabi mereka'." [HR. Bukhâri dan Muslim].
Hadits di atas dengan redaksi seperti itu diriwayatkan oleh Muslim dan
ath-Thahâwi [Kitab Musykîlul-Âtsâr, no. 548] dari riwayat az-Zuhri dan
Sa'îd bin al-Musayyib dan Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu. Hadits di atas juga diriwayatkan dari beberapa jalan, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu dengan lafazh:
ذَرُوْنِيْ مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
سُؤَالُهُمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَاءِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
“Biarkan aku terhadap apa yang aku tinggalkan pada kalian, karena
sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa oleh pertanyaan dan
penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jika aku melarang sesuatu
terhadap kalian, jauhilah. Dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada
kalian, kerjakanlah semampu kalian.”
Dalam riwayat lain disebutkan latar belakang hadits di atas dari riwayat
Muhammad bin Ziyâd dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami,
kemudian beliau bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا.
فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ فَسَكَتَ. حَتَّى
قَالَهَا ثَلاَثًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لَوْ قُلْتُ : نَعَمْ
لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِيْ مَا
تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ
سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ
بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ
شَيْءٍ فَدَعُوْهُ.
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada kalian,
maka berhajilah". Seseorang berkata, ‘Apakah setiap tahun, wahai
Rasulullah?’ Maka beliau diam hingga orang tersebut mengulanginya sampai
tiga kali, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Kalau aku katakan ya, niscaya hal tersebut menjadi wajib, dan niscaya
kalian tidak akan sanggup," kemudian beliau bersabda, "Biarkanlah aku
terhadap apa yg aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang2
sebelum kalian binasa karena pertanyaan dan penentangan mereka kepada
nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakan
semampu kalian. Dan jika aku melarang sesuatu pada kalian,
tinggalkanlah". [HR Muslim, no. 1337. An-Nasâ`i, V/110, 111. Ahmad,
II/508. Al-Baihaqi, VI/326. Ibnu Khuzaimah, no. 2508. Ath-Thahâwi dalam
Musykîlul-Âtsâr, no. 1472. Ibnu Hibbân, no. 3696, 3697 – at-Ta’lîqâtul
Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibban. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam
Kitâbus-Sunnah, no. 110, Tahqîq: Syaikh Salim al-Hilali. Ad-Dâraquthni,
II/534, no. 2668 dan II/535, no. 2670, dan Ibnu Jarir dalam
Jâmi’ul-Bayân, no. 12808]
Hadits tersebut dari jalur lain diriwayatkan ad-Dâruquthni, Ibnu Hibbân,
dan Ibnu Khuzaimah, di dalamnya disebutkan, "Kemudian turunlah firman
Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang
jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.' [QS.
Al-Mâidah: 101].
Diriwayatkan dari jalur lain bahwa ayat di atas turun setelah para
sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang haji,
"Apakah haji itu setiap tahun?"
Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Anas
bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata,"Rasulullah berkhutbah kepada
kami kemudian seseorang bertanya, 'Siapa ayahku?' Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, 'Si Fulan.' Setelah itu turunlah ayat di
atas." [HR al-Bukhâri, no. 4621, dan Muslim, no. 2359]
Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim juga disebutkan hadits dari
Qatâdah, dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Orang2
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mereka
menekan beliau dalam pertanyaan mereka. Beliau marah kemudian naik
mimbar dan bersabda, “Pada hari ini, tidaklah kalian menanyakan suatu
apa pun kepadaku, melainkan aku akan menjelaskannya,” Seseorang yg jika
berdebat dengan orang2, ia dipanggil dengan nama selain nama ayahnya
sendiri lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, siapa ayahku?' Nabi bersabda,
“Ayahmu ialah Hudzafah.” Umar bin al-Khaththaab bangkit lalu berkata,
'Kami ridho Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad
sebagai Rasul. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan berbagai
fitnah.' Dan Qatâdah ketika menyebutkan hadits di atas, ia membaca
firman Allah Ta'ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya
menyusahkan kalian.'[QS. Al-Mâ-idah : 101]. [HR al-Bukhâri, no. 6362,
7089, 7294. Muslim, 2359 (137), dan Ibnu Jarîr ath-Thabari, no. 12799]
Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan juga hadits dari Ibnu 'Abbâs
Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Satu kaum bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan maksud mengejek. Salah seorang dari
mereka berkata, 'Siapa ayahku?' Orang yg untanya tersesat berkata, 'Di
mana untaku?' Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat ini, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika
diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian'." [QS.
Al-Mâ-idah: 101]. [HR al-Bukhâri, no. 4622, dan Ibnu Jarîr ath-Thabari,
no. 12798]
Hadits2 diatas juga melarang kaum Muslimin menanyakan banyak hal tentang
halal dan haram, boleh atau tidaknya suatu amalan atau suatu hal,
karena jawabannya dikhawatirkan menjadi turunnya perintah keras di
dalamnya, misalnya bertanya tentang haji, apakah haji wajib setiap tahun
atau tidak.
Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits dari Sa'ad bin Abi Waqqâsh bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ.
Sesungguhnya kaum Muslimin yg paling besar dosanya ialah orang yg
menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, kemudian sesuatu tersebut
diharamkan dengan sebab pertanyaannya itu. [HR al-Bukhâri, no. 7289.
Muslim, no. 2358. Ahmad, I/176, 179. Abu Dâwud, no. 4610, dan Ibnu
Hibbân, no. 110]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang li'an
(suami-istri saling melaknat dengan sebab tuduhan berzina), (lihat
an-Nûr/24 ayat 6-9) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka
dengan pertanyaan seperti itu hingga penanya mendapatkan musibah
karenanya sebelum menjatuhkannya pada istrinya. [Musnad al-Imam Ahmad,
II/19, 42. Shahîh Muslim, no. 1493. Sunan at-Tirmidzi, no. 1202, dan
Shahîh Ibni Hibban, no. 4272]
Seseorang bertanya kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma tentang
mengusap Hajar Aswad. Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata kepada orang
tersebut, "Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
Hajar Aswad dan menciumnya." Orang tersebut berkata, ‘Bagaimana
pendapatmu kalau aku tidak bisa melakukannya?, Bagaimana pendapatmu
kalau aku didesak?’
Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata kepada orang tersebut: "Letakkan
kata-kata 'bagaimana pendapatmu' di Yaman. Aku melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap Hajar Aswad dan menciumnya”. [HR at-Tirmidzi,
no. 861. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhâri, no. 1611, dan an-Nasâ`i,
V/230-231]
Maksud perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ialah hendaklah engkau
hanya mempunyai semangat untuk mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak usah memperkirakan tidak akan mampu melakukannya atau
mempersulitnya sebelum terjadi karena hal tersebut melemahkan semangat
untuk mengikuti beliau. Sebab, mempelajari agama dan bertanya tentang
ilmu itu akan dipuji jika untuk diamalkan, dan bukannya untuk
perdebatan.
عن أبي ثعلبة الخشني جرثوم بن ناشر – رضي الله عنه – عن رسول الله صلى الله
علية وسلم قال : " إن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيعوها،وحد حدودا فلا
تعتدوها، وحرم أشياء فلا تنتهكوها ، وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا
تبحثوا عنها ". حديث حسن رواه الدارقطني وغيره
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, jurtsum bin Nasyir radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya”. (HR. Daraquthni dalam Sunannya no. 4/184 hadits hasan, dalam Arbain Nawawi hadits yg ke-30)
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, jurtsum bin Nasyir radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya”. (HR. Daraquthni dalam Sunannya no. 4/184 hadits hasan, dalam Arbain Nawawi hadits yg ke-30)
Diantara pertanyaan2 yg dilarang dan dapat membinasakan ialah sebagai berikut.
1. Bertanya tentang hal2 yg didiamkan oleh syariat (tidak ada dalil perintah dan larangan) dan tidak dijelaskannya, karena Allah Ta’ala yg berhak menjelaskan hal2 yg membuat manusia bahagia di dunia dan akhirat. Dan Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia mendiamkan beberapa perkara adalah sebagai rahmat dan bukan karena Allah lupa menjelaskannya, dan kita dilarang membicarakannya/memperdebatkannya.
2. Bertanya tentang hal2 yg tidak ada manfa’atnya dan tidak adanya kebutuhan. Karena, bisa jadi jawabannya tersebut akan berakibat buruk kepada orang yg bertanya.
3. Bertanya dengan tujuan untuk menghina, mengejek, memperolok-olok, dan kesia-siaan.
4. Banyak bertanya mengenai masalah2 yg belum terjadi.
5. Bertanya dengan pertanyaan yg bersifat memaksa, menyusahkan, dan mengada-ada. Sebab, terkadang jawabannya akan banyak sehingga sulit untuk mengamalkannya, sebagaimana yg terjadi pada Bani Israil ketika mereka disuruh untuk menyembelih seekor sapi betina.
6. Bertanya tentang hal2 yg Allah Ta’ala sembunyikan dari para hamba-Nya dengan sebab adanya hikmah yg hanya diketahui oleh Allah Ta’ala saja, contohnya bertanya tentang rahasia takdir, waktu terjadinya hari Kiamat, hakikat ruh, dan yg sepertinya.
1. Bertanya tentang hal2 yg didiamkan oleh syariat (tidak ada dalil perintah dan larangan) dan tidak dijelaskannya, karena Allah Ta’ala yg berhak menjelaskan hal2 yg membuat manusia bahagia di dunia dan akhirat. Dan Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Dia mendiamkan beberapa perkara adalah sebagai rahmat dan bukan karena Allah lupa menjelaskannya, dan kita dilarang membicarakannya/memperdebatkannya.
2. Bertanya tentang hal2 yg tidak ada manfa’atnya dan tidak adanya kebutuhan. Karena, bisa jadi jawabannya tersebut akan berakibat buruk kepada orang yg bertanya.
3. Bertanya dengan tujuan untuk menghina, mengejek, memperolok-olok, dan kesia-siaan.
4. Banyak bertanya mengenai masalah2 yg belum terjadi.
5. Bertanya dengan pertanyaan yg bersifat memaksa, menyusahkan, dan mengada-ada. Sebab, terkadang jawabannya akan banyak sehingga sulit untuk mengamalkannya, sebagaimana yg terjadi pada Bani Israil ketika mereka disuruh untuk menyembelih seekor sapi betina.
6. Bertanya tentang hal2 yg Allah Ta’ala sembunyikan dari para hamba-Nya dengan sebab adanya hikmah yg hanya diketahui oleh Allah Ta’ala saja, contohnya bertanya tentang rahasia takdir, waktu terjadinya hari Kiamat, hakikat ruh, dan yg sepertinya.
Adapun selain itu, maka bertanya tersebut dituntut menurut syariat. Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. An-Nahl : 43].
Kesimpulannya, barang siapa mengerjakan apa saja yg diperintahkan Allah
Ta’ala dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjauhi apa saja yg
dilarang, dan tidak mempermasalahkan perkara atau amalan yg tidak ada
perintah dan larangannya baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak
membicarakannya atau memperdebatkannya sebagaimana telah dijelaskan
dalam hadits2 diatas, maka isya Allah akan selamat di dunia dan akhirat.
Ingatlah bahwa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam
diatas bahwa “Allah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu
bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya.” Wallahu a’lam
bis-Shawab
Demikianlah Ibnu Mas’ud At-Tamanmini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin
والله الموفق الى اقةم الطريق