Berbicara tentang masalah pernikahan berarti kita sedang
membicarakan sebuah tema yang selalu hangat untuk dibahas. Sebuah tema yang
selalu menjadi topik utama pembicaraan para remaja. Hal tersebut tidaklah
salah, bahkan sah-sah saja karena para remaja memang sedang memasuki usia
matang untuk menikah. Tidak ketinggalan, Rasulullah SAW pun ikut menghangatkan
tema ini dengan sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ
مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ؛ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ،
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ. (متفق عليه)
“Wahai para pemuda…! Siapa saja diantara kalian yang telah mampu
maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan, dan siapa yang belum mampu maka hendaklah dia berpuasa karena
puasa itu adalah penekan nafsu syahwat. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Menikah Adalah Sunnah Nabi
Teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua pakar hadits
terkemuka Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Anas ibn Malik tentang
tiga orang sahabat Nabi SAW yang datang menemui para istri Nabi SAW dan
menanyakan tentang ibadah beliau.
Ketika mereka diberitahukan perihal ibadah Nabi SAW seakan-akan
mereka masih menganggap kecil ibadah-ibadah yang telah mereka kerjakan selama
ini. Mengapa? Karena Nabi SAW saja yang sudah mendapat jaminan ampunan dari
Allah SWT baik dosa yang terdahulu maupun dosa yang belum dilakukan, masih
terus beribadah dengan sungguh-sungguh. Sedang mereka yang belum mendapat
jaminan ampunan, maka logikanya mereka seharusnya beribadah dengan lebih keras
dan sungguh-sungguh lagi.
Lantas kira-kira apa yang ada dibenak mereka? laki-laki pertama
mengatakan: “Saya akan shalat sepanjang malam dan tidak akan tidur”. Yang kedua
lantas menimpali: “Adapun saya, saya akan puasa terus menerus”. Kemudian yang
ketiga berujar: “Adapun saya, saya akan meninggalkan wanita dan tidak akan
menikah”.
Kemudian datanglah Rasulullah SAW dan bersabda: “Kalian berbicara
begini dan begini padahal aku adalah yang seorang yang paling takut kepada
Allah SWT dan paling bertaqwa kepadanya, akan tetapi aku shalat dan juga tidur,
aku puasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), dan aku juga menikahi wanita,
siapa saja yang tidak suka terhadap sunnahku maka dia bukan termasuk dariku
(umatku)”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Menikah, Kenikmatan Yang Bernilai Ibadah
Islam tidaklah seperti agama yang dianut oleh para hewan berwujud
manusia yang selalu menuhankan syahwat dan hawa nafsunya. Islam juga bukan
agama yang mengajarkan kemunafikan dengan berbalut suci baju kerahiban. Suci
dalam kepura-puraan dan hewan dalam wujud dan perbuatan.
Inilah islam, agama sempurna yang semua ajarannya bersumber dari
wahyu tuhan semesta alam. Menikah …! Ya itulah solusinya. Kenikmatan
yang bernilai ibadah. Solusi syar’i untuk menyalurkan syahwat insani.
Islam sangat memperhatikan fitrah suci manusia. Tidak mengajarkan
pemeluknya untuk mengumbar syahwatnya, tidak pula memerintahkan membuang jauh
syahwat yang memang sudah menjadi fitrah manusia. Islam sangat menganjurkan
bagi mereka yang telah mampu agar segera menikah.
Pernikahan…! Di dalamnya ada ketenangan. Di dalamnya ada
kebahagiaan. Ada suami, imam gagah dengan mahkota qawwamah. Ada
istri, sosok yang menebarkan sakinahdalam rumah tangga.
Juga ada anak-anak yang menjadi penyejuk mata.
Lantas, Kenapa Banyak Ulama Tidak Menikah…???
Satu hal yang perlu saya pertegas disini bahwa yang dimaksud
banyak bukanlah mayoritas. Banyak dalam bahasa arab bisa dikatakan sebagai jama’. Jama’ artinya
lebih dari dua.Jama’ artinya dimulai dari tiga dan juga masuk di
dalamnya bilangan-bilangan setelahnya.
Perlu kita ketahui bahwa tidak menikah adalah pilihan yang sangat
berat. Konsekuensi dari pilihan itu adalah tiadanya sosok istri yang memberikan
ketenangan jiwa dan pelayanan baginya. Tiadanya anak-anak penyejuk mata yang
berarti juga menjadikan putus nasabnya. Juga ada nafsu syahwat yang harus dikekangnya agar tidak menjadikan dirinya bermaksiat kepada tuhannya.
Tidak Ada Hadits Shahih Tentang Keutamaan Membujang
Memang ada hadits-hadits yang bertebaran dikalangan masyarakat
tentang keutamaan membujang. Tapi inilah perkataan seorang pakar hadits yang
keilmuannya telah diakui umat islam. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam
kitab al-Manar al-Munif fii ash-Shahih Wa adh-Dha’if :
أحاديث مدح العزوبة كلها
باطل
“Hadits-hadits yang memuji untuk membujang semuanya bathil”.
Antara Menuntut Ilmu Dan Menikah
Tidak ada yang meragukan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi SAW.
Di sisi yang lain menuntut ilmu merupakan amalan yang sangat mulia. Bahkan
Rasulullah SAW dalam hadits-hadits beliau banyak memuji para penuntut ilmu.
Salah satu hadits tersebut adalah sabda beliau SAW:
{فضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر
الكواكب وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما
وإنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر} (رواه أبو داود والترمذي).
“Keutamaan seorang yang berilmu di banding ahli ibadah (yang tidak
berilmu) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang, sungguh para
ulama adalah ahli waris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan
dinar ataupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu, siapa yang mengambilnya maka
hendaklah mengambil bagian yang banyak”. (HR.Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Itulah kemuliaan ilmu. Warisan para nabi wang diwariskan kepada
para ulama. Tiada yang menyamai tingkatan kenabian, akan tetapi ilmu lah yang
berada di bawah tingkat kenabian tersebut.
Para ulama bagaikan matahari yang dengan sinar ilmunya mereka
menerangi gelap kebodohan dunia. Mereka bagaikan bintang yang menjadi petunjuk
bagi umat manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Nabi SAW
mengatakan kepada Ali ibn Abi Thalib jika dia menjadi sebab seorang saja
mendapat petunjuk maka hal itu lebih baik baginya dibanding unta merah. Dalam
riwayat yang lain dikatakan lebih baik dari dunia dan seluruh isinya.
Sebuah Hadits Nabi SAW Sebagai Bahan Renungan
Imam al-Hakim meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak juga
Imam al-Haitsami dalam kitab Majma’ az-Zawa’id sebuah hadits
dari sahabat al-Aswad ibn Khalaf dari Nabi SAW. Ketika beliau merengkuh Hasan
kemudian beliau menciumnya. Ketika para sahabat menemuinya, beliau bersabda:
{إن الولد مخبلة مجهلة مجبنة} (رواه البزار)
“Sesungguhnya anak adalah (penyebab) kekikiran, kebodohan dan
kepengecutan”. (HR.al-Bazzar)
Az-Zamakhsari dalam kitab al-Fa’iq mengatakan
bahwa: “Maksudnya adalah anak menjadikan bapaknya kikir karena dia menahan
hartanya untuk diberikan pada anaknya, menjadi sibuk dengan anaknya dari
menuntut ilmu, menjadi pengecut karena takut dibunuh dan menelantarkan
anaknya”.
Kisah Salah Seorang Ulama
Abu Bakar an-Naisaburi berkata kepada Yusuf al-Qawwas: “Kamu tahu
seorang yang shalat selama empat puluh tahun dan tidak pernah tidur malam?
Setiap hari cuma memakakan lima butir (kurma)? Shalat shubuh dengan wudhu
shalat isya’? orang tersebut adalah saya sebelum mengenal Ummu Abdirrahman. Apa
yang saya katakan kepada seorang yang menikahkanku?” Kemudian dia berkata:
“Saya tidak menginginkan kecuali kebaikan”.
Wahai Para Penuntut Ilmu…!
Sebuah nasehat berharga dari Umar ibn Khathab yang wajib kita
renungkan adalah perkataan beliau:
تفقّهوا قبلَ أَن تسودوا
“Menjadilah faqih (dengan menuntut ilmu) sebelum menjadi
pemimpin”.
Sebuah nasehat yang sangat luar biasa yang menunjukkan pentingnya
menuntut ilmu. Bahkan sebagian ulama menafsirkan perkataan Umar ibn Khathab
tersebut dengan anjuran menununtut ilmu sebelum menikah. Loh kok bisa? Bisa.
Karena pada hakekatnya seorang suami juga harus menjadi pemimpin rumah
tangganya yang otomatis dia akan sibuk dan perhatiannya terhadap ilmu pun akan
berkurang.
Perkataan-Perkataan Para Ulama Yang Perlu Kita Ketahui
Disini saya akan mencoba untuk menukil perkataan-perkataan para
ulama yang cukup menarik untuk kita ketahui. Imam al-Khathib al-Baghdadi
menjelaskan dalam kitab al-Jami’ Lii Akhlaqi ar-Rawi Wa Aadabi as-Sami’:
“Dianjurkan agar penuntut ilmu membujang sampai batas yang memungkinkan
baginya, karena kesibukannya dalam menunaikan hak-hak suami istri dan mencari
penghidupan akan menghalanginya untuk menuntut ilmu”.
Bahkan Imam Sufyan at-Tsauri mengatakan: ”Siapa yang telah menikah
berarti dia telah mengarungi samudra, jika telah lahir seorang anak maka dengan
itu perahunya hancur”. Maksudnya seorang yang telah menikah dan juga telah
dikaruniai anak maka otomatis waktunya untuk mencari ilmu akan berkurang atau bahkan
tidak ada sama sekali.
Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaid al-Khathir berkata:
“Saya memilih bagi penuntut ilmu yang masih pemula agar menghindari untuk
menikah sesuai kemampuannya, bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak menikah
sehingga umur beliau mencapai empat puluh tahun”.
Sebuah hal yang mencengangkan datang dari sebuah ungkapan salah
seorang ulama:
ذُبِحَ العلمُ بين أفخاذِ
النساءِ
“Ilmu itu telah disembelih diantara paha para wanita”.
Artinya kenikmatan menikahi seorang wanita terkadang dapat
menjadikan seseorang berhenti untuk menuntut ilmu. Ungkapan yang lain
menyebutkan: “Ilmu itu telah hilang dalam paha para wanita”.
Perlu kita ingat bahwa para ulama pada masa itu harus melakukan
perjalanan melintasi kota atau bahkan melintasi negara untuk menuntut ilmu.
Maka jelas berkeluarga pada saat itu dapat menghambat dan menghalangi mereka
untuk menuntut ilmu. Hal tersebut mungkin agak berbeda dengan zaman kita
sekarang.
Para Ulama Mengharamkan Yang Dihalalkan Allah?
Mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT merupakan
dosa yang sangat besar. Bahkan hal tersebut sudah menjadi bentuk kesyirikan
kepada Allah SWT. Lantas benarkah para ulama berani mengharamkan
sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah SWT? Bahkan Allah SWT berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ})المائدة: 87(
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”. (QS.al-Maidah : 87)
Benarkah para ulama tersebut sudah jatuh ke dalam larangan ayat di
atas? Tunggu dulu! Jangan sekali-kali kita menyimpulkan sesuatu semau kita
sendiri!
Imam asy-Syathibi dalam kitab al-I’thisham menjelaskan
terkait ayat di atas. Ada beberapa hal menurut beliau yang perlu kita ketahui
terkait pengharaman yang halal. Dan gambaran dari hal tersebut ada rinciannya.
Yang pertama: Pengharaman hakiki. Dan pengharaman jenis inilah
yang dilakukan oleh orang-orang kafir seperti dalam masalah al-Bahirah dan as-Sa’ibah yang
telah Allah SWT terangkan dalam al-Qur’an.
Yang kedua: Hanya sebatas meninggalkan dan tidak ada tujuan untuk
mengharamkan. Hal tersebut juga terjadi pada Rasulullah SAW yang meninggalkan
memakan adh-Dhabb (kadal padang pasir/ biawak). Beliau bersabda:
{إنه لم يكنْ بأرضِ قومي، فأجدُنِي أعافُهُ}
(رواه الجماعة إلا الترمذي)
“Sesengguhnya dia tidak ada di negri kaumku, sehingga aku
mendapati diriku tidak menyukainya”. (HR.Jama’ah kecuali at-Tirmidzi)
Tidak Menikah Adalah Pilihan?
Tidak menikah adalah pilihan sebagian ulama berdasarkan ijtihad
mereka dengan mempertimbangkan berbagai hal dan mashlahatnya. Tidak menikah
bukanlah madzhab sebagian ulama yang kemudian mereka mengajak orang-orang untuk
mengikuti mereka. Hal tersebut tidak akan pernah kita temukan dalam kitab-kitab
para ulama. Bahkan tidak ada seorang ulama pun yang mengharamkan pernikahan dan
mengajak orang lain untuk tidak menikah.
Pilihan untuk tidak menikah merupakan pengorbanan sebagian ulama
demi memfokuskan diri mereka terhadap ilmu agama yang memang sangat dibutuhkan
oleh umat islam. Hal tersebut berdasarkan ijtihad mereka dengan
mempertimbangkan berbagai hal dan maslahatnya juga keadaan diri mereka,
lingkungan mereka dan kondisi umat islam secara keseluruhan serta kebutuhan
mereka terhadap ilmu agama.
Siapa Saja Ulama Yang Tidak Menikah?
Dalam hal ini banyak ulama yang mengorbankan diri mereka untuk
tidak menikah demi berkhidmah pada umat islam dalam hal menuntut dan
mengajarkan ilmu agama. Hanya saja pada tulisan ini saya hanya akan menyebutkan
beberapa nama di antara mereka yang memang namanya sudah sangat masyhur di
kalangan umat islam. Sebut saja Imam ibnu Jarir ath-Thabari, Imam an-Nawawi,
begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Apakah Mereka Tidak Berhasrat Kepada Wanita?
Ketika mendengar pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan kisah
seorang yang sangat luar biasa. Seorang yang oleh para ulama dianggap sebagai
khulafaurrasyidin yang kelima. Ya, dialah Umar ibn Abdul Aziz.
Lantas apa hubungan pertanyaan di atas dengan kisah Umar ibn Abdul
Aziz? Saya akan mencoba untuk menjawabnya. Ketika Umar ibn Abdul Aziz diamanahi
untuk menjadi seorang khalifah maka beliau menganggap hal tersebut sebagai
amanah dan tanggung jawab yang sangat berat, sampai-sampai beliau mengatakan
kepada istrinya bahwa sudah tidak ada waktu lagi buat istrinya. Beliau merasa
waktu beliau sudah habis untuk mengurus urusan kaum muslimin yang sudah
diamanahkan kepada dirinya.
Akan tetapi istri beliau Fathimah binti Abdul Malik adalah wanita
sholehah yang lebih memilih untuk bersabar dan terus mendampingi suaminya Umar
ibn Abdul Aziz. Dan pengakuan istrinya ketika Umar ibn Abdul Aziz sudah wafat
bisa menjadi pelajaran buat kita semua. “Umar ibn Abdul Aziz tidak pernah mandi
besar baik karena janabah atau mimpi basah sejak dia diangkat menjadi khalifah
sampai dia meninggal”.
Ilmu Adalah Warisan Para Nabi
Lantas adakah sesuatu yang lebih besar dibandingkan ilmu yang
merupakan warisan para nabi? Maka urusan wanita bagi para ulama
dibandingkan dengan ilmu merupakan hal yang kecil.
Kebutuhan umat terhadap ilmu agama sangat besar. Maka sangatlah
wajar jika ulama (ahli waris nabi) merasa mendapatkan amanah yang begitu besar
untuk berkhidmah bagi umat islam. Begitu besarnya amanah dan tanggung jawab
yang mereka emban menjadikan urusan wanita menjadi sangat kecil. Bahkan
Itulah pengorbanan para penuntut ilmu. Maka pantaslah jika Allah
SWT meninggikan derajat mereka. Allah SWT berfirman:
{يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}(الحجرات : 11)
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.al-Mujadilah : 11)