Bermula dari pertanyaan yang masuk di inbox tentang
pemaknaan ayat QS. An-Nur: 26, apakah ayat tersebut bisa difahamai dengan ala
kadarnya sesuai dengan terjemahannya bahwa “Wanita-wanita yang keji adalah
untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita
yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”, atau
bagaimana?
Dengan merujuk kepada lebih kurang kitab tafsir; Ibnu
Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maraghi,
Tafsir Al-Maraghi, As-Sya’rowi, Tafsir As-Sya’rowi, dan Ibnu Asyur, At-Tahrir
wa At-Tanwir, ¸ juga ditambah dengan bebarapa bacaan pendukung lainnya,
dapatlah kita berikan penjelasan sederhananya sebagai berikut:
Tema Ayat
Surat An-Nur secara umum memang memberikan banyak pengajaran
tentang tema kesucian, oleh karenanya para ulama sering berpesan agar perempuan
muslimah sering membaca surat ini; surat cinta dari Sang Pencipta tentang
kesucian, walaupun dilain pihak laki-laki dianjurkan untuk sering mentadaburi
surat At-Taubah yang banyak memberikan pengajaran tentang pentingnya sebuah
kejujuran, agar diri jauh dari sifat munafiq.
QS. An-Nur: 26 ini adalah ayat penutup yang Allah turunkan
untuk menyatakan tentang kesucian Aisyah ra istri Rasulullah SAW dari tuduhan
keji yang tersiar bahwa Aisyah ra sudah berlaku mesum dengan Sufyan bin
Muatthal.
Jadi inilah tema sentral dari ayat yang sekarang menjadi
pembahasan kita. Pengetahuan ini penting sekali untuk diketahui, agar ayat ini
mula-mula kita fahami dulu sesuai dengan konteks dimana ayat ini turun, dan apa
yang melatar belakangi turunnya, barulah kemudian ayat ini bisa kita bawa untuk
menuju hikmah berikutnya yang mungkin ajan kita dapatkan selanjutnya
Makna Ayat
QS. An-Nur; 26 ini berbunyi:
الْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ
مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Kata al-khabitsat pada ayat diatas setidaknya difahami
dengan dua makna; Perkataan keji atau perempuan yang keji, pun begitu dengan
kata at-thayyibat dan at-thayyibun bisa difahami dengan dua makna yag sama:
Perkataan yang baik atau laki-laki yang baik.
Sebenarnya kedua pemakaan tersebut bisa kita ambil semua
tanpa harus membuang salah satunya, dalam ilmu tafsir perbedaan pemaknaan ini
masuk dalam kata gori ikhtilaf at-tanawwu’ dimana memungkin bagi kita untuk
mengambil semua makna yang aslinya tidak saling bertentangan.
Jika kita fahami bahwa al-khabitsat itu bermakna perkataan
yang keji, maka kira-kira makna ayat tersebut akan seperti ini: Perkataan keji
itu hanya untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki keji itu memang layak
mendapatkan perkataan yang keji, sedang perkataan baik itu untuk laki-laki yang
baik, dan laki-laki yang baik itu memang layak untuk mendapatkan perkataan yang
baik.[ قال ابن عباس: الخبيثات
من القول للخبيثين من
الرجال، والخبيثون من الرجال للخبيثات
من القول. والطيبات من
القول، للطيبين من الرجال، والطيبون
من الرجال للطيبات من
القول.]. Ini adalah
pendapat Ibnu Abbas ra, seperti yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya
Tafsir Al-Quran Al-Azhim.
Namun jika kita memahaminya dengan arti perempuan yang keji,
maka makna ayat tersebut akan seperti ini: “Perempuan yang keji itu untuk laki
yang keji, dan laki-laki yang keji itu untuk perempuan yang keji pula, sedang
perempuan yang baik itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu
untuk perempuan yang baik pula” وقال]
عبد الرحمن بن زيد
بن أسلم: الخبيثات من
النساء للخبيثين من الرجال، والخبيثون
من الرجال للخبيثات من
النساء، والطيبات من النساء للطيبين
من الرجال، والطيبون من الرجال للطيبات
من النساء]. Ini adalah pendapat
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, juga seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir
dalam kitab tafsirnya.
Seperti yang sudah kita singgung diatas, bahwa kedua
pemakanaan ini satu dengan yang lainnya bisa saling melengkapai, kedua
pemaknaan ini mengarah kepada satu tema; pensucian Aisyah ra dari perkataan
keji orang-orang munafik yang menebar isu miring tentang istri Rasulullah SAW
ini.
Bahwa perkataan keji yang itu adalah isu panas yang tersebar
dimana-dimana semestinya hanya untuk perempuan keji, bukan untuk perempuan yang
suci. Pun begitu bahwa perempuan yang yang keji itu hanya untuk laki-laki yang
keji pula.
Bagaimana mungkin isu keji itu diarahkan kepada sosok Aisyah
ra yang suci. Dan mustahil rasanya istri Rasulullah SAW, orang yang paling
bertaqwa didunia ini, adalah peremuan yang keji (berbuat mesum).
Itulah rahasianya
mengapa kata al-khabitsat itu didaluhulukan, karena maksud awalnya adalah
sesegera mungkin mensucikan sosok Aisyah ra atas isu yang melanda beliau,
begitu menurut Ibnu Asyur dalam kitabnya At-Tahrir wa At-Tanwir.
Imam Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menguatkan bahwa
memang sudah sunnahnya mereka yang mempunyai kesamaan itu akan bersatu, dan
bersatunya Rasulullah SAW dengan Aisyah ra sebagai bukti bahwa Aisyah ra bukanlah
perempuan keji seperti yang diisukan.
Sekufu'
Imam As-Sya’rowi dalam menafsirkan ayat ini memberikan
penekanan yang lebih akan pentingnya kesamaan antara suami dan istri. Inilah
yang disebut dengan sekufu'. Kesamaan yang dimaksud terutama dalam hal agama,
walaupun tidak menutup kemungkinan persamaan cara berpikir, starata pendidikan,
starata sosial dan ekonomi juga menjadi pertimbangan yang kuat.
Maka dalam prakteknya bisa dipastikan bahwa laki-laki baik
juga akan mendamkan perempuan yang baik, dan perempuan yang baik juga akan
berusaha mencari laki-laki yang baik.
Memang sulit mengukur tingkat kebaikan dalam katagori agama,
kecuali jika sebelumnya ada pengakuan yang jujur. Namun disinilah pentingnya
jalan musyawarah, dan ini jugalah rahasianya mengapa perempuan itu tidak boleh
menikahkan dirinya sendirinya, wali menjadi syarat sahnya pernikahan, karena
perempuan wajib memusyawarahkannya dahulu sebelum menerima atau menolak lamaran
dari laki-laki yang datang.
Jangan hanya karena hati ini sudah berbunga-bunga lalu
kemudian menutup mata akan penilaian yang lainnya; bagaimana aqidahnya,
sholatnya seperti apa, bagaimana akhlaknya, seperti apa dia dimata keluarga dan
shabatnya, seperti apa cara pandangnya tentang kehidupan, dan seterusnya.
Lalu tiba-tiba mau diajak kawin lari, atau malah kawin
kontrak. Tidakkah kita berpikir bahwa bahwa dia yang tidak berani mendatangi
perempuan dengan baik adalah ciri dari laki-laki yang tidak baik. Dan
sebaliknya dia yang mau diajak berbuat tidak baik adalah ciri dari perempuan
yang tidak baik.
Bertaubat adalah cara terbaik untuk melepaskan diri dari cap
sebagai laki-laki atau perempuan buruk. Ini adalah cara perbaikan diri
berkesinambungan yang diajarkan oleh Islam. Siapa yang mengakhirkan
istighfarnya sedang ia mampu unutuk beristighfar sekarang, maka istighfarnya
itu membutuhkan istighfar lainnya, inilah taubatnya taubat, seperti kata Ibnu
QayyimAl-Jauzi.
Hukum Fiqih
QS. An-Nur: 26 ini
mempunyai pertalian dengan ayat ketiga dari surat ini, bahwa:
الزَّانِي
لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ
مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا
زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ
ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An-Nur: 3)
Ayat ini tidak difahami dengan begitu saja bahwa perempuan
yang keji itu tidak boleh dikawini, atau haram jika dikawini. Tidak. Namun ayat
ini bertujuan memberikan penegasan akan buruknya perilaku zina tersebut. Karena
pada hakikatnya perempuan muslimah yang berzinapun tidak boleh dinikahi oleh
orang-orang musyrik yang beda agama.
Hal yang menjadi perbedaan diantara ulama adalah terkait
dengan pernikahan seorang muslim dengan muslimah yang hamil karena zina.
1. Pendapat Pertama
Kalangan Hanafiyah mensahkan pernikahan ini, baik yang
menikahinya itu dia yang menzinahi atau orang lain. Mereka menambahkan boleh
bagi yang menzinahi untuk melakukan hubungan suami-istri setelah akad tersebut,
akan tetapi jika yang menikainya itu orang lain, maka dia tidak boleh melakukan
hubungan suami-istri sampai si perempuannya melahirkan. (Lihat: al-Kasa’i, Bada’i'
as-Shona’i', 2/269)
2. Pendapat Kedua
Kalangan Syafi’iyyah juga membolehkan pernikahan ini, hanya
saja makruh hukumnya menggauli istrinya yang sedang hamil itu setelah aqad.
(lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/191).
Tentunya pendapat yang mensahkan ini tidak mesti mereka
merestui hubungan perzinahan yang sudah terjadi. Tidak. Zina tetap haram, dan
ia merupakan perilaku yang sangat tercela.
Akan tetapi antara zina dengan nikah itu tidak ada hubungan
sama sekali. Zina memang haram, tapi nikahkan halal. Dan yang haram tidak bisa mengharamkan yang
halal.
Seperti yang ditulis Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya
bahwa permisalannya sama seperti orang yang mencuri buah dari kebun milik
tuannya, lalu kemudian tuan kebun tersebut membeli buah darinya, maka apa yang
dibeli hukumnya halal dan apa yang dicuri hukumnya haram. [ومثل ذلك مثل
رجل سرق من حائط
ثمره ثم أتى صاحب
البستان فاشترى منه ثمره،
فما سرق حرام وما
اشترى حلال ]
Belum lagi yang demikina didukung oleh hadits Nabi Muhammad
SAW berikut:
لا يحرم الحرام الحلال
“Perkara yang haram tidak bisa mengaharamkan yang halal”
(HR. Ibnu Majah. 2015)
Pendapat ini juga bersandar kepada beberapa atsat yang
pernah ada, diantaranya ini merupakan pendapat Abu Bakar ra, Umar ra, Ibnu Umar
ra, dan Ibnu Abbas ra. (Lihat: Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, 9/189)
Di Indonesia pendapat ini lebih dipakai, lihat saja misalnya
dalam Kompilasi Hukum Islam kita pada pasal bab VIII, pasal 53 dalam tiga
ayatnya yang berisikan:
Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan
pria yang menghamilinya.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1)
dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Pendapat Ketiga
Pendapat ini menyatakan bahwa perempuan yang hamil karena
perzinaan tidak boleh dinikahkan, sampai dia melahirkan. Baik bagi dia yang
menzinahi maupun bagi selainnya. Ini adalah pendapat dari kalangan Malikiyah
dan Hanabilah. (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 32/110, dan Kasyfu
al-Qona’, 5/83).
Imam Ibnu Qudamah (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 7/107)
menyatakan bahwa yang demikian karena keumuman hadits berikut:
لا توطأ حامل حتى
تضع
“Janganlah kalian menggauli perempuan yang sedang hamil
samapai ia melahirkan” (HR. Hakim. 2790)
Hadits ini secara redaksi sebenarnya berbicara tentang tidak
bolehnya mengauli budak yang sedang hamil, akan tetapi keumuman lafaznya juga
bisa dipakai untuk selain budak.
Bukan berarti hadits tersebut melarang seorang suami untuk
menggauli istrinya yang sedang hamil. Bukan. Akan tetapi ini lebih mengarah
kepada hal pernikahan. Jika dengan istri sendiri yang sudah sah, oke-oke saja.
Tidak ada masalah. Jangan panik dulu.
Belum lagi ditambah dengan penjelasan hadits berikut:
“Dari AbudDarda’, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa dia datang bersama perempuan yang hamil pada pintu gerbang lantas beliau
bersabda: Barang kali dia (tuannya) bermaksud menyenggamainya. Mereka
mengatakan: Ya. Maka Rasulullah saw.bersabda: Sungguh saya sangat ingin
melaknatnya dengan laknatan yang menyertainya di dalam kuburnya, bagaimana dia
menjadikannya sebagai ahli waris padahal hal itu tidak halal untuknya, ….”(H.R
Muslim)
Pengarang kitab Nailul Author, As-Syaukani juga menyatakan
keharamannya, berdasarkan ayat berikut:
“ laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An-Nur: 3)
Ditambah dengan pendapat yang menyatakan bahwa jika
pernikahan seperti ini dibolehkan, maka tidak menutup kemungkinan masyarakat
akan sedikit ‘lalai serta mengangagap remeh perkara ini.
“Ga apa-apa hamil duluan, toh akhirnya nikahnya juga masih
sah ko”. Begitu mungkin dalam anggapan sebagian orang. Untuk itulah mereka berpendapat bahwa pernikahan seperti
ini tidak boleh terjadi, sebagai salah satu jalan untuk menutup perilaku zina
yang sekarang terus berkembang dan
menjamur diamana-mana.
Begitulah akhirnya, memang jiwa-jiwa itu seperti prajurit
yang dibariskan, hanya mereka yang saling mengenallah yang akan mendekat dan
pada akhirnya bersatu.
Wallahu A’lam Bisshowab