lعوذ بالله من الشيطان الرجيم بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسول الله، وأشهد أن لا
إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وبعد
Waktu persalinan adalah salah satu
momen paling mendebarkan bagi seorang wanita. Karena momen ini merupakan bagian
dari jihad teragung kaum wanita. Di mana seorang wanita yang meninggal saat
melahirkan bahkan termasuk golongan manusia yang mati syahid (HR. Abu Dawud dan
Ahmad). Setelah momen ini, seorang wanita akan memulai babak baru kehidupannya
menjadi seorang ibu yang mempunyai kewajiban mendidik buah hatinya. Dan
sebaik-baik pendidikan untuk anak adalah dengan pendidikan agama.
Ternyata, momen penting ini pun tak
lepas dari perhatian syariat karena pada saat persalinan seorang wanita akan
mengeluarkan darah nifas. Sebagaimana haid dan istihadhah, darah nifas termasuk
jenis darah yang biasa terjadi pada wanita. Oleh karena itu, para muslimah
hendaknya mengetahui hukum-hukum seputar darah nifas.
Apakah Darah Nifas itu??
Nifas adalah darah yang keluar dari
rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses
melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya
tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dll. Rasa sakit yang dimaksud
adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang
keluar tidak disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti
dengan proses kelahiran bayi, maka itu bukan darah nifas.
Selain itu, darah yang keluar dari
rahim baru disebut dengan nifas jika wanita tersebut melahirkan bayi yang sudah
berbentuk manusia. Jika seorang wanita mengalami keguguran dan ketika
dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia, maka darah yang keluar itu bukan
darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah) yang
tidak menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Perlu ukhty ketahui bahwa waktu
tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan puluh hari dimulai dari hari
pertama hamil. Dan sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh hari.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud sradhiyallahu
‘anhu , bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan
kepada kami, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
benar dan yang mendapat berita yang benar, “Sesungguhnya seseorang dari
kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk
nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah
seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan
ruh di dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu
menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnu Taimiyah, “Manakala
seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal)
itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudah masa minimal, maka
ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak
sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera
kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah
berbentuk manusia-pen), tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak
perlu kembali mengerjakan kewajiban.” (kitab Syarhul Iqna’)
Secara ringkas dapat disimpulkan
beberapa hal untuk mengenali darah nifas:
- Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan
melahirkan, baik sebelum, bersamaan atau sesudah melahirkan
- Disertai dengan tanda-tanda akan melahirkan (seperti
rasa sakit, dll) yang diikuti dengan proses kelahiran
- Bayi yang dilahirkan/ dikeluarkan sudah berbentuk
manusia (terdapat kepala, badan dan anggota tubuh lain seperti tangan dan
kaki, meskipun belum sempurna benar)
Lama Keluarnya Darah Nifas
Syaikh Muhammad bin Shalih al
Utsaimin dalam Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyah lin Nisa mengatakan
bahwa ulama berbeda pendapat tentang apakah nifas itu ada batas minimal dan
maksimalnya.
Adapun Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin
Badawi al Khalafi di dalam Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz
mengatakan bahwa nifas ada batas maksimalnya, yaitu empat puluh hari. Pendapat
beliau berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, “Kaum wanita yang nifas tidak
shalat pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama empat puluh
hari.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Hadits hasan shahih). Waktu empat
puluh hari dihitung sejak keluarnya darah, baik darahnya itu keluar bersamaan,
sebelum atau sesudah melahirkan.
Pendapat yang kuat, insyaa Allah,
pada dasarnya tidak ada batasan minimal atau maksimal lama waktu nifas. Waktu
empat puluh hari adalah kebiasaan sebagian besar kaum wanita. Akan tetapi
apabila sebelum empat puluh hari wanita tersebut telah suci, maka ia wajib
mandi dan melakukan ibadah wajibnya lagi.
Mengenai banyaknya darah, juga tidak
ada batasan sedikit atau banyaknya. Selama darah nifas masih keluar maka sang
wanita belum wajib mandi (bersuci).
Secara ringkas, ada beberapa kondisi
wanita yang sedang nifas:
- Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari dan tidak
keluar lagi setelah itu. Maka sang wanita wajib mandi (bersuci) dan
kemudian melakukan ibadah wajibnya lagi, seperti shalat dan puasa, dll.
- Darah nifas berhenti keluar sebelum 40 hari, akan
tetapi kemudian darah keluar lagi sebelum hari ke-40. Maka, jika darah
berhenti ia mandi (bersuci) untuk shalat dan puasa. Jika darah keluar, ia
harus meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, bila berhentinya darah
kurang dari sehari, maka tidak dihukumi suci.
- Darah nifas terus keluar dan baru berhenti setelah hari
ke-40. Maka sang wanita harus mandi (bersuci).
- Darah terus keluar hingga melebihi waktu 40 hari. Ada
beberapa kondisi:
- Darah nifas berhenti dilanjutkan keluarnya darah haid
(berhentinya darah nifas bertepatan waktu haid), maka sang wanita tetap
meninggalkan shalat dan puasa. Darah yang keluar setelah 40 hari dihukumi
sebagai darah haid. Sang wanita baru wajib mandi (bersuci) setelah darah
haid tidak keluar lagi.
- Darah tetap keluar setelah 40 hari dan tidak
bertepatan dengan kebiasaan masa haid, ulama berbeda pendapat mengenai
hal ini. Menurut ulama yang berpendapat bahwa lama maksimal nifas adalah
40 hari, menilai darah yang keluar setelah 40 hari sebagai darah fasadh
(penyakit) yang statusnya adalah sebagaimana istihadhah.
Sedangkan menurut ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal
dan maksimal lama nifas, mereka menilai darah yang keluar setelah 40 hari
tetap sebagai darah nifas. Pendapat inilah yang lebih kuat, insya Allah.
Akan tetapi, jika ingin
berhati-hati, setelah 40 hari dinilai suci. Sehingga sang wanita bersuci untuk
melaksanakan shalat dan puasa, meski darah tetap keluar. Akan tetapi hal ini
tidak berlaku pada 2 keadaan:
- Ada tanda bahwa darah akan berhenti/ makin sedikit.
Maka sang wanita menunggu darah berhenti keluar, baru kemudian mandi
(bersuci)
- Ada kebiasaan dari kelahiran sebelumnya, maka itu yang
dipakai. Misal, sang wanita telah mengalami beberapa kali nifas yang
lamanya 50 hari. Maka batasan ini yang dipakai.
Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita
yang Nifas
Para ulama telah bersepakat bahwa
wanita yang sedang nifas diharamkan melakukan apa saja yang diharamkan bagi
wanita yang haid. Antara lain,
- Sholat.
Wanita
yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan mereka
tidak perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Muhalla)
- Puasa.
Wanita
yang sedang nifas tidak boleh melakukan puasa wajib maupun sunnah. Akan tetapi
ia wajib mengqadha puasa wajib yang ia tinggalkan pada masa nifas. Berdasarkan
hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Ketika kami mengalami haid, kami
diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha
shalat.” (Muttafaq ‘alaih)
- Thawaf.
Wanita
haid dan nifas diharamkan melakukan thawaf keliling ka’bah, baik yang wajib
maupun sunnah, dan tidah sah thawafnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Lakukanlah apa
yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di ka’bah sampai
kamu suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Jima’.
(lihat
sub judul “Hukum Suami yang Bercampur dengan Istri yang sedang Nifas”)
- Tidak bleh diceraikan.
Diharamkan
bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau nifas. Allah Ta’ala
berfirman, yang artinya, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (dengan wajar).” (Qs. ath-Thalaq: 1)
Hukum-hukum Seputar Nifas
Tidak ada perbedaan hukum antara
haid dan nifas, kecuali beberapa hal di bawah ini:
1. Iddah
Apabila wanita tidak sedang hamil,
masa iddah dihitung dengan haid, bukan dengan nifas. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala, “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’…” (Qs. al-Baqarah: 228)
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin, yang dimaksud ‘quru‘ adalah haid, dan inilah pendapat yang
lebih kuat, insyaa Allah. Oleh karena itu, masa iddah dihitung berdasarkan
haid, bukan nifas. Sebab, jika suami menceraikan istrinya sebelum melahirkan,
masa iddahnya habis karena melahirkan, bukan karena nifas. Adapun jika suami
menceraikan istrinya setelah melahirkan, maka masa iddahnya adalah sampai sang
istri mendapat 3 kali haid.
2. Masa Ila’
Ila’ adalah sumpah seorang laki-laki
untuk tidak melakukan jima’ terhadap istrinya selamanya atau lebih dari empat
bulan. Setelah masa empat bulan, bila sang istri meminta untuk berhubungan,
maka sang suami harus memilih antara jima’ atau bercerai.
Masa haid termasuk hitungan masa
ila’, sedangkan masa nifas tidak. Jadi, apabila seorang suami bersumpah untuk
tidak berjima’ dengan istrinya, sedangkan istrinya sedang dalam keadaan nifas,
maka masa ila’ ditetapkan empat bulan ditambah masa nifas. Setelah masa itu,
bila sang istri meminta untuk melakukan jima’, sang suami harus memilih apakah
jima’ atau bercerai.
3. Balighnya seorang wanita dihitung
dari saat haid pertama kali, bukan nifas.
Hukum Suami yang Bercampur
dengan Istri yang sedang Nifas
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata, “Menggauli wanita nifas sama halnya dengan wanita haid, hukumnya
haram menurut kesepakatan ulama.” (Lihat Majmu’ Fatawa)
Allah Ta’ala berfirman, yang
artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang wanita haid, maka katakanlah,
“Bahwa haid adalah suatu kotoran, maka janganlah kalian mendekati mereka
sebelum mereka suci.” (Qs. al-Baqarah: 222)
Seorang suami boleh sekedar bercumbu
dengan istri yang sedang nifas asal tidak sampai jima’. Akan tetapi bila sampai
terjadi jima’, para ulama berselisih pendapat apakah wajib membayar kaffarah
(denda) ataukah tidak (Lihat al-Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah).
Pendapat yang lebih kuat, insya
Allah, wajib membayar kaffarah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas sradhiyallahu
‘anhu . Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika berbicara
tentang seorang suami yang mencampuri istrinya di waktu haid, Rasulullah
bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh dinar.” (Shahih
Ibnu Majah no:523, ‘Aunul Ma’bud 1:445 no:261, Nasa’ai I:153, Ibnu Majah 1:210
no:640. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani)
Adapun apabila seorang wanita telah
suci dari nifas sebelum 40 hari, kebanyakan ulama berpendapat bahwa suami tidak
dilarang untuk menggaulinya. Dan inilah pendapat yang kuat. Karena tidak ada
dalil syar’i yang melarangnya.
Riwayat yang ada hanyalah dari Imam
Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat
puluh hari, lalu ia berkata, “Jangan engkau dekati aku!” Akan tetapi, ucapan
Utsman tersebut bukan berarti seorang suami terlarang menggauli istrinya. Sikap
Utsman tersebut mungkin timbul karena kehati-hatiannya, yaitu khawatir istrinya
belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama
atau hal lain. (Lihat al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz)
Karena itu, apabila pada diri
seorang suami atau istri timbul keragu-raguan, maka hendaklah memastikan
dahulu, apakah sang istri benar-benar telah suci dari darah nifasnya. Karena
secara medis, jima’ aman dilakukan bila sang istri telah melewati masa nifas,
kecuali bila saat itu sang istri langsung mengalami haid, terjadi perdarahan,
atau sedang menjalani terapi tertentu. Apabila masih ragu, hendaklah
berkonsultasi dengan dokter. Apakah kondisi sang istri telah normal dan
benar-benar pulih secara medis sehingga bisa dicampuri oleh suaminya. Karena
dalam hal ini kondisi setiap wanita berbeda-beda. Tidak selayaknya seorang
muslim melakukan hal yang berbahaya dan membahayakan orang lain.
Wallahu Ta’ala a’lam.
والحمد لله رب العالمين، وصلى الله
سلم علي نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Barakallahu fiikum wa jazakumullah
khairan khatsir,,
والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
.Salam Silaturrahim dan Ukhuwah Islamiyyah.