Harta yang menjadi kompensasi ijarah [upah] disyaratkan harus jelas, bisa dilihat, atau dibayangkan, karena bersifat deskriptif, sehingga ketidakjelasan (kemajhulan)-nya hilang. Alasannya, karena Nabi saw bersabda, “Siapa saja yang mempekerjakan seorang pekerja maka hendaklah ia memberitahukan upahnya.”
Upah boleh dalam bentuk uang, boleh juga dalam bentuk barang, atau jasa. Dengan syarat, semuanya harus jelas dan deskriptif. Jika upah yang diberikan tidak jelas (majhûl), maka akad ijarah-nya tidak sah. Jika seorang dipekerjakan untuk memanen padi, dengan upah sebagian dari hasil panennya, maka upah seperti ini tidak sah, karena tidak jelas.
Berbeda, jika pekerja itu dipekerjakan untuk memanen dengan upah 1 kwintal, atau 1 kilogram, maka ijarah ini sah. Mempekerjakan seorang dengan upah makanan dan pakaian, atau diberi upah, plus makan dan pakaian.
Upah itu harus tetap, dan disepakati sebelum pekerjaannya dimulai. Makruh mempekerjakan pekerja sebelum dipastikan upahnya. Jika ijarah itu dilakukan terhadap pekerjaan, maka pekerja itu mendapatkan upah dengan akad ijarah-nya. Tetapi, upah itu tidak wajib diserahkan, kecuali setelah pekerjaannya selesai.
Dalam kondisi seperti ini, upah wajib diserahkan sesegera mungkin. Ini berdasarkan sabda Nabi SAW, “Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.” Namun, jika sebelumnya disyaratkan pembayaran tersebut ditunda, maka upah itu boleh diberikan sampai jatuh temponya. Jika disyaratkan upah itu akan diberikan secara berangsur, harian, bulanan atau yang lain, maka bisa dibayar sesuai dengan kesepakatan keduanya.
Dalam konteks ini, majikan tidak disyaratkan secara riil harus sudah mendapatkan manfaat, tetapi dia mungkin mengambil manfaat yang dimaksud, sudah cukup untuk menetapkan bahwa upah sudah menjadi kewajibannya. Andai saja, seseorang mempekerjakan pekerja untuk membantunya di rumahnya, sementara pekerja itu sudah datang ke rumahnya dan memosisikan dirinya di bawah tasharruf [titah] majikannya, maka pekerja itu berhak atas upahnya, dengan selesainya jam kerja yang menjadi kewajibannya.
Meskipun akad ijarah itu disepakati terhadap manfaat, dan manfaat itu belum dia rasakan secara riil, karena boleh jadi sesampainya di rumah sang majikan, ternyata jasanya tidak dimanfaatkan. Maka, dalam kasus seperti ini bukan salah pekerja [buruh] tersebut, tetapi kesalahan terletak pada majikannya. Sikapnya mengabaikan atau tidak menggunakan jasa buruh [pekerja] tersebut tidak bisa menjadi alasan, dia tidak membayar upahnya. Ini kalau pekerja [buruh] tersebut merupakan ajir khas, yang hanya bekerja untuk seorang majikan.
Tetapi, berbeda dengan ajîr musytarak atau ajîr umum, yang bekerja pada banyak orang. Pekerja itu tidak terbebas dari pekerjaannya, dan berhak mendapatkan upahnya, sampai dia menyerahkan barang dikerjakannya dari majikan tersebut kepadanya. Pekerja itu tidak berhak atas upah hingga ia menyerahkan barang itu setelah selesai dikerjakan.
Tetapi, jika pekerjaan itu dilakukan rumah milik sang majikan, misalnya majikan itu menghadirkan pekerja ke rumahnya untuk menjahit di situ, atau mewarnai pakaian di situ, dan bebas dari pekerjaan dan berhak atas upah, begitu dia melakukan pekerjaannya. Karena barang itu ada di tangan majikannya, sehingga diserahkan untuk dikerjakan seketika dan langsung. []
Sumber Media Umat