(Revitalisasi Keberadaan Khalifah Berdasarkan Pujian Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- dalam Tinjauan Ilmu Balaghah & Syarah Hadits)
Digital Printing |
Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I[1]
ehidupan kaum muslimin saat ini bagaikan anak ayam kehilangan induknya, besar jumlahnya namun tercerai berai dalam sekat-sekat nasionalisme warisan penjajah, hingga dilecehkan kehormatannya oleh kaum yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya, dibantai dan diusir oleh kaum kafir tiran dari tanah kelahirannya; kaum muslimin di Palestina, Myanmar, Suriah, Iraq, Pakistan, ’Uzbekistan dan belahan bumi lainnya menjadi saksi atas itu semua, fakta yang tak bisa dipungkiri oleh mereka yang masih peka hatinya dan jeli matanya.
Tidaklah itu semua mengingatkan saya, kecuali kepada pujian yang dituturkan yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- terhadap sosok penguasa yang dibai’at kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah, melindungi harta, kehormatan dan darah kaum muslimin, ialah al-Imam yakni al-Khalifah; dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh dll)
Pasang Iklan |
Dimana Hizbut Tahrir menjadikan hadits ini sebagai salah satu qarînah (indikasi) dalil wajibnya mengangkat Khalifah, sekaligus menjelaskan urgensi kedudukan Khalifah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ajhizat Dawlat al-Khilâfah bahwa di antara kandungan hadits di dalamnya terdapat penyifatan terhadap khalifah bahwa ia adalah junnah (perisai) yakni wiqâyah (pelindung). Dan Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- menyifati bahwa seorang al-Imâm (Khalifah) adalah junnah(perisai), dan artinya mengandung pujian atas keberadaan al-Imâm (Khalifah), dan bermakna adanya tuntutan; karena informasi dari Allah dan dari Rasul-Nya, jika mengandung celaan maka ia merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan, dan jika mengandung pujian maka ia merupakan tuntutan untuk melaksanakan, dan jika perbuatan yang dituntut tersebut mengandung konsekuensi terhadap tegaknya hukum syari’ah atau pengabaiannya mengandung konsekuensi terhadap terabaikannya hukum syari’ah, maka tuntutan tersebut bersifat tegas.[2]
sablon spanduk&umbul umbul |
Lalu bagaimana kita memahami bahwa hadits tersebut memang pujian dari Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- dan kaitannya dengan faidah hukum fikih yang bersumber darinya sebagaimana istidlâl(penggalian dalil) yang dirinci oleh Hizbut Tahrir? Dan bagaimana pandangan para ulama mu’tabar mengenai hadits ini? Itu semua yang akan penyusun jawab dalam makalah ini berdasarkan tinjauan ilmu balaghah dan syarh al-hadîts para ulama mu’tabar, bi fadhliLlâhi Ta’âlâ.
I. Periwayatan Hadits
Jika kita tela’ah, maka akan kita temukan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh:
- Imam Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharâj.[3]
- Imam Al-Bukhari (w. 256 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ), hadits no. 2797.[4]
- Imam Muslim (w. 261 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (الإمام جنة), hadits no. 4800.[5]
- Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam Musnad-nya, Bab. (مسند أبي هريرة –رضي الله عنه-), hadits no. 10777. [6] Syu’aib al-Arna’uth mengatakan bahwa hadits ini shahih, sanadnya kuat.
- Imam Abû Dawud dalam Sunan-nya dalam Bab (الإِمَامِ يُسْتَجَنُّ بِهِ فِى الْعُهُودِ), dalam riwayat Abu Dawud redaksinya lebih ringkas: (إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ بِهِ)[7]
- Imam al-Nasa’i (w. 303 H) dalam Sunan-nya dalam (ذِكْرُ مَا يَجِبُ لِلْإِمَامِ وَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ), hadits no. 4207.[8]
- Imam Abu Ya’la al-Moushuli (w. 307 H) dalam Musnad-nya, hadits no. 6325.[9]
- Imam al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubrâ’, Bab (مُهَادَنَةِ الْأَئِمَّةِ بَعْدَ رَسُولِ رَبِّ الْعِزَّةِ إِذَا نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ) hingga redaksi yuqâtalu bihi[10].
- Imam Abu ’Awanah al-Isfaraini (w. 316 H) dalam Musnad-nya, Bab (كتاب الأمراء), hadits no. 7125.[11]
- Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) dalam Fadhîlat al-’Âdilîn Min al-Wulât[12].
- Imam Al-Muhallab bin Ahmad al-Mariyiyyu (w. 435 H) dalam Al-Mukhtashar al-Nashîh fî Tahdzîb al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahîh, Bab (بَاب يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الْإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ) hadits no. 1071.[13]
- Imam Al-Thabrani (w. 360 H) dalam Musnad al-Syâmiyyîn, hadits no. 3255.[14]