Sudah menjadi
tradisi di kalangan
Umat Islam Indonesia, bila seseorang muslim wafat, maka keluarga yang ditinggalkan akan menyelenggarakan
tahlilan yang biasanya dihadiri oleh para kerabat, keluarga, tetangga dan handai taulan.
Setelah tahlil, biasanya acara dilanjutkan dengan
ta'ziah. Dalam
ta’ziah
ini, biasanya pula seringkali diisi dengan ceramah agama. Tujuannya,
di samping untuk menghibur keluarga yang sedang berduka, sekaligus juga
untuk menyampaikan
da'wah atau siraman rohani bagi yang hadir dalam
majelis ta’ziah tersebut.
Namun karena dalam prakteknya ada dua pendapat besar yang saling berselisih mengenai
tahlilan dan
ta'ziah ini, maka kemudian muncullah permasalahan. Bagaimanakah sesungguhnya syariat Islam menyikapi
tahlilan dan
ta’ziah? Di manakah letak perbedaan yang selama ini diperselisihkan itu?
Semoga uraian berikut dapat menambah
tsaqafah
(wawasan) kita dalam menyikapi pertentangan ini, dan di atas semua itu,
semoga pula pelajaran yang dapat dipetik darinya semakin menguatkan
pemahaman kita tentang ajaran Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam
tentang Islam untuk kemudian menjadi cermin perilaku sehari-hari kita
selaku umat muslim. Amin!
Pengertian TahlilDari sisi etimologi, kata tahlil memiliki arti mengucapkan
laailaahaillallah. Dalam hadits dijelaskan, bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda,
"Perbaharuilah imanmu! Seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara memperbaharui iman? Beliau menjawab,
"Perbanyaklah tahlil!"Merujuk pada hadits ini, maka tahlil mengandung pengertian; mengucapkan kalimat
laailahaillallah (tiada
Ilah selain Allah). Demikian disebutkan dalam kamus kontemporer. Kata
tahlil termasuk dalam beberapa kata yang telah dibakukan untuk satu
ucapan tertentu. Kata tahlil serumpun dengan kata
Tahmid; mengucapkan
alhamdulillah, tasbih; subhanallah, hamdalah; alhamdulillahi rabbil ‘alamin, dan sebagainya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah tahlilan kemudian lebih dipahami di
lingkungan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari ritual
dzikir,
khususnya ketika ada seorang muslim yang meninggal dunia. Persoalan
selanjutnya adalah munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang apakah Islam memperbolehkan tahlilan atau tidak?
- PENDAPAT ULAMA MENGENAI TAHLILAN
Pada
hakikatnya permasalahan tahlilan merupakan salahsatu ritual agama yang
masih diperdebatkan oleh ulama sejak dulu hingga saat ini. Adapun titik
krusial yang menjadi inti perbedaan tersebut terletak pada pertanyaan
berikut:
- Apakah doa, bacaan
istighfar untuk mayit, dan bacaan Al-Quran dari orang hidup yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dapat memberi
manfaat bagi si mayit atau tidak?
- Apakah tahlilan - dalam bentuk yang kita kenal selama ini - disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya?
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah membagi bentuk amal perbuatan manusia menjadi dua bagian. Pertama,
amal badaniyyah. Yaitu, amal yang dipraktekkan langsung oleh fisik manusia, seperti shalat, puasa dan dzikir. Kedua,
amal maliyyah. Yaitu, amal dalam bentuk materi dan harta, seperti sedekah dan infaq.
Berangkat
dari dua pendapat Imam Ibnul Qayyim di atas, para ulama pun kemudian
berbeda pendapat tentang tahlilan sebagaimana tersebut di bawah ini:
Ritual
tahlil bukan termasuk sesuatu yang dianjurkan agama, dan memohonkan
ampun serta menghadiahkan pahala kepada orang yang telah mati tidak
berpengaruh sedikit pun bagi sang mayit. Pendapat ini berdasarkan pada
beberapa dalil seperti berikut:
Firman Allah Subhanahu Wata'ala:
أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى * وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
"Bahwasannya
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan seorang
manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm[53]: 38-39)
فَالْيَوْمَ لا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَلا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Maka
pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak
dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Yaasiin[36]:54)
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. Al-Baqarah[2]: 286)
Tiga ayat di atas merupakan
kalimullah,
bahwa orang yang telah mati tidak berkesempatan lagi memperoleh
tambahan pahala yang dapat menyelematkannya dari siksa kubur di akhirat,
kecuali yang disebutkan oleh Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam dalam
hadits riwayat Imam Muslim:
- "Apabila
seorang manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga
hal: (1) sedekah jariyah, (2) Doa anak shalih, (3) Ilmu yang bermanfaat
sesudahnya."
- "Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tidak diterima."
Hadits
pertama menyebutkan, hanya ada tiga perkara yang akan mendatangkan
manfaat bagi si mayit. Dari tiga perkara itu tidak ada satupun yang
mengisyaratkan adanya tahlil, atau membolehkan tahlilan.
Hadits
kedua lebih tegas lagi, bahwa segala perbuatan yang tidak dicontohkan
Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam adalah perbuatan
bid’ah.
Berdasarkan hadits kedua ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa
tahlilan bertentangan dengan Syariat karena tidak sesuai dengan enam hal
yang mereka sepakati bersama. Keenam hal tersebut adalah:
(1) sebab atau illat, (2) jenis, (3) kadar atau bilangan, (4) waktu, (5) tata cara atau kaifiyah, dan
(6) tempat.Karena
itu jelaslah bahwa semua pahala amal ibadah manusia yang masih hidup
tidak dapat dihadiakan kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan
pahala yang diniatkan untuk dihadiahkan kepada si mayit tidak akan
pernah sampai, dan tidak akan memberi manfaat sedikit pun bagi si mayit.
Hal ini berlaku untuk seluruh aspek amal kebaikan, baik itu amal
badaniyah atau
maliyyah, kecuali tiga hal yang mendapat pengecualian sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim di atas.
Antara
ibadah badaniyah dan
ibadah maliyah harus dibedakan. Pahala
ibadah maliyyah seperti sedekah dan infak akan sampai kepada mayit. Sedangkan
ibadah badaniyah
seperti shalat dan bacaan Al-Quran, tidak ada pengaruhnya bagi sang
mayit. Dengan kata lain pahalanya tidak akan sampai kepada mayit.
Pendapat ini paling masyhur di kalangan mazhab Syafi’i dan Maliki.
Mereka ber-hujjah, bahwa
ibadah badaniyah
termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan oleh orang lain.
Sama halnya ketika si mayit sendiri masih hidup, ia tidak akan bisa
mewakili kewajiban shalat orang lain yang juga masih hidup. Sebab
ibadahnya tidak sah, sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu Alaihi
Wassalam:
لاَ
يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يَصُوْمُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَكِنْ
يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ
"Seseorang
tidak boleh melakukan shalat untuk menggugurkan kewajiban shalat orang
lain, dan tidak pula melakukan puasa untuk menggantikan puasa orang
lain, tetapi hendaklah ia memberi makan untuk satu hari sebanyak satu
mug gandum."
Doa dan juga ibadah yang diniatkan untuk mayit, baik dalam bentuk
maliyah atau pun
badaniyah, sangat bermanfaat bagi mayit berdasarkan dalil-dalil berikut:
Pertama: Dalil Al-QuranAllah Subhanahu Wata'ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ
’’Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdoa, ’’Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’’ (QS. Al-Hasyr[59]:10)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata'ala menyanjung orang beriman, karena mereka memohonkan ampun (
istigfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan, bahwa orang yang telah meninggal mendapat manfaat dari
istigfar orang yang masih hidup.
Kedua: Dalil HaditsDalam
hadits, banyak diajarkan doa-doa yang dibaca untuk jenazah seperti doa
yang ditujukan untuk mayit setelah ia dikubur, doa ziarah kubur, dan doa
saat menshalati jenazah seperti sabda Rasulullah Salallahu Alaihi
Wassalam:
"Auf bin Malik
berkata: Saya mendengar Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam setelah
selesai shalat jenazah berucap: "Ya Allah, ampunilah dosanya, sayangilah
dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya,
luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air salju dan air embun,
bersihkanlah ia dari segala dosa sebagaimana kain putih bersih dari
kotoran, berilah ia tempat tinggal yang lebih baik dari tempat
tinggalnya di dunia, beri juga keluarga yang lebih baik dari keluarganya
yang di dunia, juga pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia.
Dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka".Dalam
hadits lain dijelaskan, bahwa sedekah yang diniatkan untuk mayit,
pahalanya akan sampai kepada mayit. Redaksi hadits tersebut adalah,
"Abdullah
bin Abbas r.a. berkata: "Suatu ketika ibu Saad bin Ubadah meninggal
dunia ketika Saad tidak berada ditempat. Lalu, ia datang kepada Nabi dan
bertanya, "Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia saat saya
tidak mendampinginya, jika saya bersedekah dengan niat pahalanya buat
beliau, akan sampaikah pahala itu kepada ibu saya? Rasulullah Salallahu
Alaihi Wassalam menjawab: "Ya!" Saad berkata lagi, "Saksikanlah, bahwa
kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan di jalan Allah, agar
pahalanya dipetik oleh ibuku."Ketiga: Dalil Ijma’
- Jumhur
ulama sepakat, bahwa doa yang dibaca dalam shalat jenazah, sangat
bermanfaat bagi mayit. Artinya, bila ia seorang pendosa, maka doa
tersebut dapat meringankan siksanya, baik dalam kubur maupun di akhirat
kelak.
- Utang mayit dianggap lunas bila dibayar orang lain,
sekalipun bukan keluarganya. Berdasarkan hadits Abu Qatadah, ketika ia
menjamin akan membayar hutang seorang mayit sebanyak dua dinar. Setelah
ia tunaikan utang itu Nabi Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:
أَلآنَ بَرَدْتَ عَلَيْهِ جِلْدَتَهُ
"Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya".
Pendapat
ini dikuatkan pula oleh seorang pakar fiqih mahzab Hanbali, yaitu Syekh
Abdullah bin Muhamad bin Humaid - rahimahullah -. Dalam kitab beliau
berjudul "
Gayatul Maqsud" beliau membahas secara khusus masalah ini. Beliau mengatakan;
"Bahwa
seluruh ulama dari berbagai mazhab menyetujui pendapat ini. Yaitu,
pahala yang diniatkan kepada mayit akan sampai padanya. Bahkan semua
bentuk amal shaleh yang dilakukan orang yang hidup, lalu
menghadiahkannya kepada mayit, seperti haji, sedekah, binatang korban,
umrah, bacaan Al-Quran serta tahlil, takbir dan shalawat pada Nabi tidak
diragukan lagi, akan sampai pada mayit."Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah beberapa
nashush fiqhiyyah dari berbagai mazhab, menyangkut masalah tahlil:
MAZHAB HANAFIUsman bin Ali Az-Zaila’i dalam kitabnya ‘
Kanzu Daqaiq’ menjelaskan dalam bab
alhajju ‘an ghairihi sebagai berikut:
"Pada
dasarnya, manusia memiliki hak untuk mentransfer pahala perbuatannya
pada orang lain. Sebagaimana diakui oleh penganut ahli sunnah wal
jama’ah, baik itu shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Al-Quran, dzikir
dan lain sebagainya. Pendeknya, semua bentuk amal kebajikan. Dan seluruh
pahalanya akan sampai kepada mayit bahkan dapat memberi manfaat bagi
mayit." Pendapat ini disetujui oleh Imam Al-Marginani pada awal bab
al-hajju ‘anilghair (menghajikan orang lain).
MAZHAB MALIKIAl-Qadhi ‘Iyadh ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim yang berbunyi;
"Mudah-mudahan
kedua pelepah korma ini dapat meringankan azab orang yang baru saja
dikubur selama pelepah korma ini masih basah."Dari hadist ini, para ulama berkesimpulan bahwa bacaan Al-Quran yang diniatkan untuk mayit hukumnya
Sunah.
Sebab bila pelepah korma saja dapat meringankan azab sang mayit, apatah
lagi bacaan ayat Al-Quran? Tentu lebih utama dari pelepah korma.
Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Qarafi dan Syekh Ibnul Haj.
MAZHAB SYAFI'IImam Nawawi berkata;
"Disunahkan
bagi orang yang menziarahi kubur untuk menyalami penduduk kubur yang
diziarahi dan mendoakan mereka. Lebih afdhal lagi bila doa yang dibaca
sesuai dengan yang pernah dibaca Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam.
Demikian juga, disunahkan membaca Al-Quran untuk penghuni kubur, lalu
disambung langsung dengan bacaan doa bagi keselamatan mereka."MAZHAB HANBALIImam Ibnu Qudamah berkata;
"Segala
bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan pahala dan diniatkan untuk
sang mayit muslim, insya Allah, dapat ia petik hasilnya. Apalagi doa,
istigfar, sedekah dan hal-hal wajib yang memang harus ditunaikan. Para
ulama sepakat, hal itu pasti dirasakan manfaatnya oleh sang mayit." Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad bin Ahmad Al-Fatuhi dan Syaikh Mansur Al-Bahuti.
- TENTANG MENYEDIAKAN MAKANAN
Dalam
ritual tahlilan, biasanya keluarga mayit menyediakan makanan untuk
disuguhkan kepada tamu yang hadir dalam acara tersebut. Mereka meniatkan
suguhan itu sebagai sedekah. Padahal, Nabi Salallahu Alaihi Wassalam
justru memerintahkan para tetangga atau karib kerabat keluarga yang
berdukalah yang mengulurkan bantuan. Baik itu berupa makanan atau apa
saja guna meringankan beban sekaligus menghibur mereka. Karenanya
ungkapan rasa belasungkawa pun mereka tunjukkan dengan membawa sesuatu
untuk melancarkan prosesi penguburan jenazah. Di antaranya adalahdengan
membawa makanan bagi keluarga yang dilanda musibah.
Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بِنْ جَعْفَرَ قَالَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرَ حِيْنَ
قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ ": اصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ
أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ (رواه الشافعي وأحمد).
"Abdullah
bin Ja’far berkata: "Tatkala datang berita bahwa Ja’far telah terbunuh,
Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda: "Buatkanlah makanan
untuk keluarga Ja’far! Karena telah datang kepada mereka hal yang
menyibukkan mereka." (HR. Asy-Syafi’i dan Ahmad).
Karena
itu, sepatutnya yang menyediakan makanan bagi keluarga yang dilanda
musibah adalah tetangganya. Bukan keluarga si mayit yang sudah tertimpa
musibah, masih pula harus menyediakan makanan bagi kerabat dan handai
taulan yang datang berta'ziah.
Adapun pendapat lain yang
memperbolehkan keluarga si mayit menyediakan makan bagi para penta’ziah
di saat tahlilan merujuk pada hadits yang menganjurkan supaya mereka
bersedekah dengan niat agar si matiy mendapatkan pahalanya. Dengan
demikian pahala menjamu penta'ziah saat tahlilan semata-mata dimaksudkan
untuk dihadiahkan bagi si mayit.
Akan tetapi perlu kiranya
diingat bahwa memberi makan para penta'ziah dalam kondisi duka seperti
ini bukan merupakan hal yang wajib. Oleh karenanya, jangan sampai
keluarga yang berduka memaksakan diri menjamu tamu. Apalagi sampai
berhutang demi memenuhi kebutuhan jamuan tersebut, atau lebih
mendahulukan jamuan daripada hal-hal lain yang sifarnya wajib, semisal
menunaikan wasiat dan melunasi hutang-hutang si mayit.
Sebenarnya, sejak dulu
ta’ziyah sudah sering dibahas ulama
fiqih. Dalam
literatur fiqih, bahasan
ta’ziyah masuk kategori bab
ibadah.
Ta’ziyah
tidak dapat dipisah dari permasalahan jenazah, atau ketika para ulama
membahas hukum mengunjungi orang sedang sakaratulmaut atau meninggal
dunia. Termasuk di dalamnya hukum memandikan mayit, mengkafankan,
menguburkan sampai menshalatinya. Maka
ta’ziyah,
tentu saja, tidak akan luput dari perbincangan ulama. Ia ibarat
ungkapan belasungkawa seseorang sebagai ekspresi dari rasa solidaritas
terhadap musibah yang menimpa saudaranya.
Menurut bahasa,
ta’ziyah bersumber dari akar kata ‘
azza.
Artinya, menghimbau agar bersabar, atau membantu melapangkan dada
seseorang yang sedang ditimpa musibah. Sedangkan menurut istilah,
terdapat beberapa definisi ulama. Akan teapi semuanya tidak keluar dari
makna
lugawi di atas. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Syarbini al-Khatib menjelaskan, bahwa ta’ziyah adalah:
"Menasehati
orang yang berduka cita untuk tetap sabar. Mengingatkan ganjaran yang
dijanjikan bagi orang sabar dan kerugian bagi orang yang tidak sabar.
Memohonkan ampunan kepada si mayit, agar tegar menghadapi musibah."Imam Nawawi berkata:
"Ta’ziyah
adalah menyabarkan, dengan wasilah apa saja yang dapat menyenangkan
perasaan keluarga mayit, dan meringankan kesedihannya."Imam Al-bahuti Al-Hanbali, menyebutkan:
"Ta’ziyah
adalah menghibur dan memberi semangat kepada orang yang ditimpa musibah
agar tetap sabar. Mendoakan si mayit bila ia seorang muslim atau
muslimah."Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan ta’ziyah adalah:
"Menghibur keluarga mayit dan membantu tunaikan hak mereka, serta senantiasa berada di dekat mereka."
Para
fuqaha sepakat bahwa hukum
ta’ziyah hanyalah
sunnah. Tidak ada seorang pun memperselisihkan hal ini. Di bawah ini beberapa kutipan ringkas pendapat mereka:
A
d-Dardiri:
"Disunatkan ta’ziyah untuk keluarga mayit."Ibnu ‘Abidi:
"Disunatkan ta’ziyah bagi siapa saja. Untuk perempuan tentu bagi yang tidak menimbulkan fitnah."An-Nawawi:
"Imam Syafi’i dan murid-muridnya berpendapat bahwa ta’ziyah hukumnya sunnah."Ibnu Qudamah:
"Disunatkan
untuk ta’ziyah kepada keluarga mayit. Sejauh ini, tidak ada perbedaan
pendapat tentang hal ini, hanya saja Imam Tsauri membatasi hukum sunnah
di sini sebelum dikuburkan. Setelah penguburan selesai ta’ziah tidak
dianjurkan lagi, karena segala urusan yang berhubungan dengan mayit
telah selesai."Al-Wazir bin Habirah:
"Semua ulama sepakat, bahwa hukum ta’ziyah adalah sunnah."Dari pernyataan ulama-ulama berbagai mazhab di atas maka jelaslah bahwa
hukum ta’ziyah hanya
sunat. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menyatakan wajib, atau sebaliknya, bahwa
ta’ziyah tidak boleh. Kendati demikian, ada beberapa dalil yang menyatakan bahwa
ta’ziyah itu
masyru’ seperti di antaranya:
"Sesungguhnya
Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda, "Barang siapa menghibur
saudaranya yang seiman kala ditimpa musibah, maka Allah akan mengenakan
ia sebuah pakaian berhias dengan warna hijau menyenangkan di hari kiamat
kelak. Sahabat bertanya, ya Rasulullah, apakah yang menyenangkan itu?
Dijawab oleh Rasulullah, yaitu sesuatu yang membuat orang iri padanya." [HR Anas r.a]
"Rasulullah
Salallahu Alaihi Wassalam bersabda: "Barang siapa menghibur saudaranya
yang ditimpa musibah, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala
orang yang ditimpa musibah tersebut." [HR Abdullah bin Mas’ud r.a]
"Sesungguhnya
Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda: "barang siapa menghibur
wanita yang kehilangan anaknya (wafat), maka Allah akan memakaikannya
pakaian kebesaran di dalam surga." [HR Abu Bazrah r.a]
Tentu saja
ta’ziyah
memiliki hikmah yang dalam sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Bahkan
hikmah yang terkandung di dalamnya amat banyak, baik yang tampak maupun
yang tersirat. Karena itu, sebagian ulama menjabarkan hikmah yang
dikandung dalam
ta’ziyah. Di antaranya adalah penjelasan Al-Shawi Al-Maliki yang dinukil dari Ibnu Qasim bahwa sesungguhnya
ta’ziyah memiliki
tiga hikmah besar.
Pertama:
memberikan kemudahan dan jalan keluar kepada keluarga mayit. Menghibur
mereka agar tetap tabah dan teguh hati dalam bersabar. Mengingatkan
pahala sabar. Dan ridha atas ketentuan Allah dengan menyerahkan segala
urusan kepada-Nya semata.
Kedua: berdoa agar Allah Subhanahu Wata'ala mengganti musibah tersebut dengan ganjaran pahala yang (sangat) besar.
Ketiga: mendoakan dan memohonkan ampun bagi si mayit agar Allah Subhanahu Wata'ala senantiasa mengasihinya.
Selain ketiga hikmah di atas, Ibnu Qasim menambahkan hikmah lain dari
ta'ziah sebagai berikut:
Momentum
bagi keluarga si mayit untuk mengingat dan berbuat amal kebajikan serta
senantiasa mengingat Allah Subhanahu Wata'ala. Menyadari bahwa kematian
dapat menjemput kapan saja, dan di mana saja. Sebab, sesungguhnya
kematian itu amatlah dekat dengan manusia. Maka hendaknya setiap anggota
keluarga yang ditinggalkan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya
menyongsong kematian yang akan datang kapan saja. Agar dengan demikian,
saat dirinya menghadap Allah Subhanahu Wata'ala kelak, maka seluruh
jiwa dan raganya sudah dalam keadaan ridha dan Insya Allah, mendapat
ridha dari Allah Subhanahu Wata'ala pula.
Di samping itu, ta'ziah dapat pula mencegah keluarga si mayit dari
perilaku maksiat yang dimurkai Allah Subhanahu Wata'ala setelah
kematiannya.
Ditinjau dari aspek membaca ayat-ayat Al-Quran, tahlil, tahmid, takbir, tasbih, shalawat, doa dll, maka kesemuanya sangat dianjurkan oleh Islam untuk dilaksanakan. Bacaan Al-Quran, tasbih, istigfar
dan amalan-amalan lain yang dihadiahkan kepada si mayit pun, Insya
Allah, akan sampai pahalanya sebagaimana yang diniatkan. Demikian pula
dengan menyediakan makan dan melaksanakan ta'ziah.
Pembaca
dapat menelaah kembali pendapat-pendapat ulama di atas melalui bebagai
literatur bebas dari ensiklopedi hukum Islam yang ada. Tulisan ini hanya
stimulan awal, untuk kemudian dikaji lebih luas dan mendalam pada
kesempatan lain.
Demikanlah uraian singkat ini disampaikan dengan
harapan semoga dapat memperkaya pemahaman kita tentang ajaran Islam.
Hanya kepada Allah jualah kita bermohon, mudah-mudahan kita diwafatkan
dalam keadaan husnul khatimah.
Amin ya Rabbal ‘Alamin!
[Oleh Luqmanul Hakim Abubakar - Dari
Blog Bismillah]