Menerima dan membuat spanduk dan umbul-umbul berbagai ukuran:
Ukuran
Spanduk 5 meter sampai 7 meter
Lebar 115 dan 0.9 cm
Umbul mau Ukuran 4 sampai 7 meter.
Lebar kain 115 dan 0.9 cm
Hub Dwitama spanduk telp 085966614393
Rabu, 14 Juni 2017
Sablon spanduk dan umbul-umbul
Senin, 05 Juni 2017
Minggu, 04 Juni 2017
PASERCIPTA TANGSEL AL BANTANI: Solusi Paket Umroh Murah SBL
PASERCIPTA TANGSEL AL BANTANI: Solusi Paket Umroh Murah SBL: Solusi Paket Umroh Murah SBL Setiap muslim sangat ingin mewujudkan impian beribadah Umroh dan Haji , Allah SWT berfirman : “Ibadah Ha...
Percetakan PT. Sukses Media Kita: Usaha Tangsel Spesialis Sepanduk Kain Dwitama Adve...
Percetakan PT. Sukses Media Kita: Usaha Tangsel Spesialis Sepanduk Kain Dwitama Adve...: Usaha Tangsel Spesialis Sepanduk Kain Dwitama Advertising: Sablon Manual Spanduk...HP XL : 0859-6661-4393. : Usaha Tangsel Spesialis Sepandu...
Percetakan PT. Sukses Media Kita: Usaha Tangsel Spesialis Sepanduk Kain Dwitama Adve...
Percetakan PT. Sukses Media Kita: Usaha Tangsel Spesialis Sepanduk Kain Dwitama Adve...: Usaha Tangsel Spesialis Sepanduk Kain Dwitama Advertising: Sablon Manual Spanduk...HP XL : 0859-6661-4393. : Usaha Tangsel Spesialis Sepandu...
Jumat, 02 Juni 2017
Lemahkah Hadis-hadis Tentang Panji Rasulullah saw.?
Lemahkah Hadis-hadis Tentang Panji Rasulullah saw.?
Soal: Benarkah hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah? Benarkah hadis-hadis tentang keduanya merupakan rekaan Hizbut Tahrir? Mohon penjelasan!
Jawab:
Jika ada yang menuduh bahwa hadis-hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ itu lemah, apalagi kemudian menuduh bahwa itu merupakan rekaan Hizbut Tahrir, maka tuduhan itu jelas bukan dari orang yang mengerti hadis; jika tidak boleh disebut bodoh tentang ilmu hadis. Mengapa?
Pertama: Karena terdapat banyak hadis sahih, atau minimal hasan, yang menyebutkan bahwa Rayah(Panji) Rasul itu berwarna hitam dan Liwa’ (Bendera)-nya berwarna putih. Contohnya hadis berikut:
عَنْ ابنِ عَبَّاسِ قَالَ كاَنَتْ رَايَةَ رَسُوْلُ اللَّهِ صل الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
Ibn ‘Abbas berkata, “Rayah Rasulullah saw. itu berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih.” (HR at-Tirmidizi).
Dalam hadis lain dinyatakan:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ
Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. telah memasuki Kota Makkah, sedangkan Liwa’ [bendera]-nya berwarna putih (HR an-Nasa’i).
Hadis di atas, selain diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, at-Thabarani, Ibnu Abi Syibah dan Abu Ya’la. Hadis-hadis ini statusnya sahih. Dengan jelas, dinyatakan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’ adalah putih. At-Tirmidzi memberikan catatan untuk hadis yang dia riwayatkan, “Ini adalah hadis hasan gharîb dari arah ini, dari hadis Ibn ‘Abbas.”
Hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadis. Semuanya berujung pada jalur sahabat Jabir dan Ibnu ‘Abbas ra.
Karena itu mengatakan bahwa panji dan bendera Rasulullah saw. yang dikampanyekan oleh HTI adalah rekaan semata justru merupakan tuduhan bodoh. Bisa karena bodoh tentang hadis-hadis tersebut atau bodoh tentang ilmu hadis. Jika orang tersebut paham hadis dan ilmu hadis, maka tuduhan seperti itu justru menunjukkan pengingkaran orang itu terhadap hadis-hadis tersebut, atau tuduhan palsu kepada Rasulullah saw. Ini tentu lebih parah lagi.
Para ulama pun sudah membahas hal ini ketika menjelaskan hadis-hadis di atas dalam kitab syarah dan takhrij-nya. Sebut saja, seperti ‘Ala’uddin al-Hindi dalam Kanz al-‘Ummâl, al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa’id, Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, al-Abadi dalam Tuhfah al-Ahwadzi, dan lain-lain.
Selain itu banyak hadis sahih lain yang berbicara terkait dengan Ar-Rayah dan Ar-Liwa, antara lain:
قَالَ النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَ خَيْبَرَ (لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَة غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُوْلُهُ)
Nabi saw. berdabda saat Perang Khaibar, “Sungguh besok aku akan memberikan Rayah [panji] ini kepada seorang kesatria yang melalui kedua tangannya, akan diberi kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hiban, al-Baihaqi, Abu Dawud Thayalisi, Abu Ya’la, an-Nasa’i, at-Thabarani, dan lain-lain.
Kedua: Memang ada beberapa hadis tentang Ar-Rayah dan Al-Liwa’ dengan status hadis yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadis dari Harits bin Hassan al-Bakri yang berkata, “Kami telah tiba di Madinah. Ketika itu Rasulullah saw. sedang berada di atas mimbar, sementara Bilal berdiri di depan bbeliau bersandar pada pedang di depan beliau. Si sana ternyata ada beberapa Rayah [panji] yang berwarna hitam. Aku bertanya, ‘Ini panji-panji apa?’ Mereka menjawab, ‘Panji ‘Amru bin al-‘Ash. Dia baru tiba dari peperangan.’” (HR Ahmad).
Mengomentari hadis ini, Syaikh Syu’aib al-Arnauth memberikan catatan, “Isnad-nya lemah, karena ‘Ashim bin Abi Nujud tidak pernah bertemu dengan Harits bin Hassan.”
Demikian juga dengan hadis dari Ibn ‘Abbas yang berkata, “Rayah [panji] Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih. Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.”
Di sana ada rawi bernama Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj bin Risydin bin Sa’ad bin Muflih bin Hilal. Dialah yang disebut sebagai tertuduh melakukan pemalsuan.
Ketiga: Terkait hadis-hadis yang di dalamnya ada lafal berikut:
مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ
“Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh.”
Apakah semuanya berstatus lemah? Nanti dulu. Jika hanya satu hadis dan satu jalur seperti itu kemudian divonis lemah, maka vonis seperti hanya lahir dari orang yang bodoh tentang hadis, atau ilmu hadits. Pasalnya, hadis-hadis seperti ini banyak, tidak hanya satu. Jika ada satu yang lemah, tidak serta-merta semuanya. Ini karena dalam ilmu hadis dikenal syawâhid, yang bisa menguatkan status hadis lain.
Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahani dalam kitab Akhlâq an-Nabi saw. dari Ibnu ‘Abbas statusnya jelas sahih. Adapun jalur lain dari Abu Hurairah memang lemah karena ada rawi bernama Muhammad bin Abi Humaid yang dinyatakan munkar oleh al-Bukhari, dinyatakan tidak tsiqaholeh an-Nasa’i, dan tidak ditulis hadisnya oleh Ibnu Ma’in. Namun, hadis dari jalur Ibnu ‘Abbas, semua rawinya dapat diterima.
Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’îfkarena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady). Namun, Ibnu Hibban menempatkannya dalam kitabnya, Ats-Tsiqqât; Abu Hatim mengatakan Shadûq; Abu Bakar al-Bazzar mengatakan Masyhur “Laysa bihi Ba’sa”. Karena itu, status Tafarrud-nya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadaratkan hadis karena keadaannya tsiqah atau shadâq (lihat: Muqaddimah Ibn Shalah).
Demikian juga ikhtilâth antara nama Hayyan bin Ubaidillah dan Haban bin Yassar sudah dijelaskan oleh para ulama, seperti dalam Târîkh al-Kabîr, Tahdzîb al-Kamal, Al-Kâmil fî adz-Dhu’afâ’, Mîzan al-I’tidâl, dan lain-lain. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilâth Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Jadi, kesimpulannya, hadis dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas jelas selamat.
Apalagi kalimat Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh merupakan ‘alamah (identitas) utama dalam Islam. Kalimat tersebut merupakan kalimat tauhid, yang dinyatakan dalam kesaksian seseorang ketika menjadi Muslim, dan dinyatakan setiap kali shalat.
Jadi, jika ada yang mengatakan, “Secara umum hadis-hadis yang menjelaskan warna bendera Rasul dan isi tulisannya itu tidak berkualitas sahih” adalah tuduhan orang yang tidak paham hadis; tidak paham ilmu hadits. Kalaupun paham keduanya, tuduhan itu justru menunjukkan pengingkarannya terhadap hadis, bahkan tuduhan bohong kepada Nabi saw.
Keempat: Soal warna, hadis-hadis sahih menyebutkan bahwa warna Ar-Rayah adalah hitam dan Al-Liwa’adalah putih sudah jelas. Adapun hadis-hadis yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’îf, dan penggunaannya bersifat temporer, tidak terus-menerus.
Hadis riwayat Imam Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa rayah Nabi adalah kuning. Menurut penulis kitab Al-Badr al-Munîr, isnad-nya majhûl [tidak jelas].
Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani. Hadis ini lemah karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Saad yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut adz-Dzahabi.
Demikian juga hadits dalam riwayat ath-Thabarani menyebutkan bahwa warna Rayah Nabi saw. adalah merah. Hadis ini pun lemah karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.
Terakhir, hadis riwayat Ibnu Hibban, Ahmad dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan Ar-Rayah berwarna merah dan statusnya sahih, kejadiannya bersifat temporer, dan itu pada awal-awal urusan ini ketika pada masa Jahiliah, juga awalnya menggunakan Ar-Rayah warna hitam.
Poin-poin di atas semuanya terkait dengan hadis dan ilmu hadis. Selain itu, menentukan status bendera tersebut ada atau tidak, wajib atau tidak, ini merupakan masalah yang terkait dengan disiplin ilmu lain, yaitu Ushul Fiqih.
Keenam: Dalam kajian Ushul Fiqih, dikenal adanya qarînah, antara lain, bisa disebut qarînah mudâwamah[indikasi penggunaan atau dilakukan terus-menerus]. Sebagai contoh, tartib [urut-urutan] dalam rukun wudhu, shalat, haji dan umrah, misalnya, oleh mazhab Syafii dimasukkan sebagai perkara yang wajib, dan tidak boleh ditinggalkan. Pertanyaannya, dari mana Imam Syafii menetapkan semuanya itu sebagai rukun yang wajib dikerjakan? Jawabannya: dari qarînah mudâwamah. Pasalnya, Nabi saw. tidak pernah berwudhu, shalat, haji dan umrah, kecuali dengan urut-urutan seperti itu. Hal itu dilakukan terus-menerus, tidak pernah diselisihi. Alhasil, tindakan Nabi saw. yang terus-menerus dan tidak pernah menyelisihi itu sudah cukup menjadi qarînah, bahwa status perkara ini wajib.
Jika logika yang sama digunakan dalam kasus Ar-Rayah dan Al-Liwa’ tersebut, maka penggunaan Nabi saw. atas keduanya secara terus-menerus menunjukkan bahwa hukum menggunakan keduanya juga wajib. Kesimpulan ini ditarik dengan menggunakan logika dan kaidah Ushul Fiqih Imam Syafii. Jadi, aneh, kalau ada yang mengklaim sebagai pengikut mazhab Syafii, tetapi menolak hukum Ar-Rayah dan Al-Liwa’ini.
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Perintah Umroh dan Haji kepada Nabi Muhammad
Perintah Umroh dan Haji kepada Nabi Muhammad
Perintah menunaikan ibadah haji turun pada tahun ke-9 Hijrah sesuai firman Allah dalam QS Ali Imron 96-97:
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Walaupun ibadah haji merupakan syariat Nabi Ibrahim sebagaimana yang diajarkan Allah kepada beliau, namun Rasulullah Muhammad saw telah memperbaharui perintah ibadah haji dengan menunjukkan cara manasik yang benar dan membersihkannya dari kemusyrikan bada ditinggal Nabi Ibrahim as.
Kalaupun ada kesamaan ritual ibadah haji dengan jaman jahiliyah, Rasulullah Saw telah menghilangkan unsur syiriknya. Para sahabat mulanya khawatir ketika diperintahkan melaksanakan sa’i, karena di masa jahiliyah menjadi tempat berhala takut bercampur dengan kemusyrikan dan perbuatan Jahiliyah. Namun Allah menghapus kekhawatiran tersebut dalam firmannya :
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati. Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”. (QS Al Baqarah 158).
Pertolongan Itu Datangnya Dari Allah
Digital Printing |
Sablon Kain |
Pertolongan Itu Datangnya Dari Allah
Oleh: KH Yasin Muthahhar (Pimpinan Ponpes Al-Abqory-Banten)
(إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ)
[سورة آل عمران 160]
[سورة آل عمران 160]
Saudaraku para pejuang… Pertolongan itu datangnya dari Allah. Jika Allah telah menolong kita maka tidak akan ada pihak manapun yang bisa mengalahkan kita. Sebaliknya, jika kita dihinakan Allah maka tidak ada pihak manapun yang bisa menolong kita… Itulah poin pertama dari ayat tersebut
Poin kedua adalah pertolongan itu akan datang jika kita total tawakal kepada Allah. Pertolongan akan datang bukan karena kehebatan kita, bukan karena jumlah kita, bukan karena kepintaran kita, bukan karena dukungan manusia, bukan karena viralnya status kita.. Pertolongan akan Allah berikan kepada orang yang berjuang dijalan Allah, ikhlas, istiqomah, sabar dan bertawakal kepada Allah.
Karena itu Wahai para pejuang, yang harus diviralkan bukan hanya status kita agar mendapat dukungan dari penduduk bumi, yang lebih penting lagi kita harus viral di kalangan penduduk langit, sehingga Malaikat akan mendoakan dan diturunkan Allah untuk membantu kita…
Dengan kondisi seperti sekarang ini seharusnya kita semakin dekat dengan Allah, mari kita adukan masalah yang kita hadapi kepada Allah. Mari kita adukan para penghalang dakwah itu kepada Allah, al Jabbar, al Qahhaar, biar Allah menyelesaikan mereka dengan caraNya.
Ingatlah saudaraku Rasulullah SAW sebelum mendapatkan nushrah dari Ahlul Quwwah, beliau mengalami penindasan yang luar biasa. Apa yang beliau SAW lakukan? Selain mencari himayah dakwah dari penduduk bumi. Beliau juga mengajarkan kita bertawajjuh, bermunajat kepada Allah. Ingatlah bagaimana Beliau SAW bermunajat kepada Allah saat diusir dari Thaif. Mari kita amalkan doa beliau tersebut, semoga pertolongan Allah segera bisa kita Raih. Viralkan doa ini di kalangan penduduk bumi dan langit…
اللهم انا نَشْكُوْ إليك ضَعْفَ قُوَّتِنَا، وَقِلَّةَ حِيْلَتِنا، وَهَوَانَنَا عَلى النَّاسِ. يا أرحم الراحمين أَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وأنت ربُّنا. إِلَى مَنْ تَكِلُنا؟ إِلَى عَدُوٍّ مَلَكْتَهُ أُمُوْرَنا، أَمْ إلى بَعِيْدٍ يَتَجَهَّمُنَا؟ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ غَضَبٌ عَلَيْنَا فَلاَ نُبَالِيْ. وَلكِنْ عَافِيَتُكَ أَوْسَعُ لَنَا. نَعُوْذُ بِنُوْرِ وَجْهِكَ الَّذِيْ أَشْرَقَتْ بِهِ الظُّلُمَاتُ، وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، أَنْ تُنْزِلَ بِنَا غَضَبَكَ، أَوْ تُحِلَّ عَلَيْنَا سُخْطَكَ. لَكَ الْعُتبْىَ حَتَّى تَرْضَى، وَلاَ حَولَ ولا قوة إلّا بك
Ya Allah sungguh hanya kepada-Mu, kami mengadukan lemahnya kekuatan kami, sedikitnya upaya kami dan hinanya kami di hadapan manusia. Wahai Yang Paling Penyayang di antara yang penyayang. Engkau adalah Tuhan pelindung orang-orang yang lemah, Engkau adalah Tuhan Pelindung kami. Kepada siapa Engkau akan menyerahkan kami, kepada musuh yang Engkau berikan kekuasaan terhadap urusan-urusan kami? atau kepada orang dari jauh yang bermuka masam terhadap kami, jika engkau tidak murka kepada kami, maka kami tidak peduli dengan itu semua. Namun keselamatan dari-Mu lebih luas bagi kami. Kami berlindung dengan cahaya wajahmu yang karenanya segala yang gelap menjadi terang benderang, yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi beres, kami berlindung kepada-Mu dari Engkau turunkan kemarahan-MU kepada kami atau Engkau timpakan murka-Mu kepada kami. Hanya milik-Mu lah segala akibat yang baik hingga Engkau Ridho kepada kami. Tidak ada peralihan kondisi dan kekuatan kecuali karena Engkau Ya Rabb.[]
Benarkah Khilafah Hanya 30 Tahun?
Digital Printing |
Spanduk Kain |
Benarkah Khilafah Hanya 30 Tahun?
Sebagian orang berpendapat bahwa Khilafah itu hanya berlangsung 30 tahun sesudah wafatnya Rasulullah SAW dan setelah itu berubah menjadi sistem kerajaan. Oleh karena itu, kata pendapat itu, Khilafah itu sudah lenyap sejak lama dan tidak perlu dihidupkan lagi. Benarkah pendapat demikian itu?
Jawaban untuk pertanyaan tersebut terdapat pada 3 (poin) berikut :
Pertama, memang benar ada hadits yang menjelaskan bahwa Khilafah berlangsung 30 tahun, tetapi yang dimaksud adalah Khilafah yang mengikuti metode kenabian (khilafah ‘ala minhaj an nubuwwah), yaitu Khilafah di masa Khulafa`ur Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali).
Dalilnya sabda Nabi SAW :
الخلافةُ في أمَّتي ثلاثونَ سنَةً ثُمَّ ملكٌ بعدَ ذلكَ
”Khilafah di tengah-tengah umatku berlangsung 30 tahun, kemudian [menjadi Khilafah seperti] kerajaan setelah itu.” (al khilaafah fii ummaty tsalaatsuuna sanatan tsumma mulkun ba’da dzaalika). (HR Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, no 2326; Ahmad, Al Musnad, Juz V, hlm. 313; An Nasa`i, Sunan An Nasa`i Al Kubra, no 8155). Hadits ini menunjukkan Khilafah di tengah umat Islam berlangsung 30 tahun, tanpa menjelaskan sifat Khilafah itu seperti apa.
Namun ada hadits lain yang menjelaskan sifat Khilafah yang berlangsung 30 tahun itu, yaitu Khilafah yang mengikuti metode kenabian, sebagaimana sabda Nabi SAW :
خلافة النبوة ثلاثون سنةً، ثم يؤتي اللّه الملك أو ملكه من يشاء
”Khilafah yang mengikuti kenabian berlangsung 30 tahun, kemudian Allah memberikan kekuasaan itu atau kekuasaan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (khilaafah an nubuwwah tsalaatsuuna sanatantsumma yu’tillahu al mulka aw mulkahu man yasyaa`u). (HR Abu Dawud, no 4646).
Jika pemahaman dari hadits pertama dan hadits kedua digabungkan, diperoleh kesimpulan bahwa yang berlangsung selama 30 tahun itu adalah Khilafah yang mengikuti metode kenabian (khilafah ‘ala minhaj an nubuwwah), yaitu Khilafah di masa Khulafa`ur Rasyidin.
Imam Al Baghawi dalam kitabnya Syarah As Sunnah menjelaskan :
قوله : الخلافة ثلاثون سنة قال حميد بن زنجوية : يريد أن الخلافة حق الخلافة إنما هي للذين صدقوا هذا الاسم بأعمالهم ، وتمسكوا بسنة رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) من بعده
“Sabda Nabi SAW,’Khilafah itu berlangsung 30 tahun’, artinya sebagaimana perkataan Humaid bin Zanjawaih,’Yang dimaksud adalah Khilafah yang sebenar-benarnya Khilafah, yaitu Khilafah yang hanya terwujud bagi para khalifah yang perbuatannya memang sesuai dengan nama ini (khilafah) dan yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah SAW setelah beliau.” (Imam Al Baghawi, Syarah As Sunnah, Juz XIV, hlm. 75).
Lalu setelah 30 tahun apakah berarti Khilafah telah berakhir dan berubah menjadi sistem kerajaan (al mulk)? Jawabnya, setelah 30 tahun Khilafah tidak berubah menjadi sistem kerajaan, melainkan tetap sebagai Khilafah hanya saja mengalami perubahan sifat dari Khilafah ‘ala minhaj an nubuwwah menjadi Khilafah ‘ala manhaj al mulk (Khilafah yang mengikuti metode kerajaan), karena mengikuti sebagian ketentuan sistem kerajaan. Dalam Khilafah ‘ala minhaj an nubuwwah, khalifah berkuasa karena dipilih oleh umat, sedang dalam Khilafah ‘ala manhaj al mulk, khalifah berkuasa karena mewarisi kekuasaan khalifah sebelumnya melalui sistem putera mahkota (wilayatul ‘ahdi). (Hisyam Al Badrani, An Nizham As Siyasi Ba’da Hadm Al Khilafah, hlm. 12-16).
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmuu’ Al-Fatawa mengutip Qadhi Abu Ya’la yang menjawab pertanyaan seseorang apakah setelah masa 30 tahun Khilafah telah berubah menjadi kerajaan sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits. Kata Ibnu Taimiyyah :
فأجابَ القاضي أبو يعلى: بأنه يحتملُ أن يكون المرادُ به [ الخلافَةُ ] التي لا يشوبُها مُلكٌ بعده [ ثَلاَثُونَ سَنَةً ] وهكذا كانت خلافةُ الخلفاء الأربعة. وخلافةُ معاوية قد شابَها الملكُ، وليس هذا قَادحاً في خلافتهِ
“Qadhi Abu Ya’la menjawab bahwa ada kemungkinan yang dimaksud dengan “Khilafah” dalam hadits Khilafah itu berlangsung 30 tahun, adalah Khilafah yang tidak terpengaruh oleh kerajaan setelah wafatnya Nabi SAW. Sedang yang dimaksud “berlangsung 30 tahun” adalah Khilafah dari para khalifah yang empat. Adapun Khilafah Mu’awiyah telah terpengaruh dengan sistem kerajaan, namun hal ini tidaklah membuat cacat kekhalifahan Mu’awiyah.” (wa khilaafatu mu’aawiyah qad syaabaha al mulku wa laisa haadza qaadihan fii khilaafatihi). (Ibnu Taimiyah, Majmuu’ Al-Fatawa, Juz XXVIII, hlm. 18).
Kesimpulannya, tidak benar bahwa Khilafah hanya berlangsung 30 tahun dan setelah itu berubah menjadi kerajaan. Yang berlangsung 30 tahun adalah Khilafah yang mengikuti metode kenabian (Khilafah ‘ala minhaj an nubuwwah) dan setelah itu tetap Khilafah tetapi telah menyimpang dari metode kenabian dengan mengikuti metode kerajaan (Khilafah ‘ala manhaj al mulk) dengan menerapkan pewarisan kekuasaan. (Hisyam Al Badrani, An Nizham As Siyasi Ba’da Hadm Al Khilafah, hlm. 31).
Kedua, tidak benar bahwa Khilafah hanya 30 tahun dan setelah itu berubah menjadi kerajaan. Karena terdapat hadits yang menyatakan bahwa khalifah yang sebenarnya (lurus) itu ada 12 (dua belas) orang yang semuanya dari Quraisy. Dalam Shahih Muslim terdapat hadits sebagai berikut :
عن جابر بن سمرة. قال: دخلت مع أبي على النبي صلى الله عليه وسلم. فسمعته يقول (إن هذا الأمر لا ينقضي حتى يمضي فيهم اثنا عشر خليفة). قال: ثم تكلم بكلام خفي علي. قال فقلت لأبي: ما قال؟ قال (كلهم من قريش).
“Dari Jabir bin Saurah, dia berkata,”Aku masuk bersama ayahku menemui Nabi SAW. Lalu aku mendengar Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya urusan ini (kekuasaan umat Islam) tidak akan berakhir hingga berlalu di tengah-tengah mereka dua belas orang khalifah.” Lalu Nabi SAW berbicara dengan perkataan yang samar bagi saya. Lalu aku (Jabir bin Samurah) bertanya kepada ayahku,”Apa kata Nabi SAW?” Nabi SAW,”Semuanya adalah dari golongan Quraisy.” (HR Muslim, no 1821)
Hadits ini menunjukkan bahwa khalifah-khalifah yang baik (lurus) di tengah umat Islam akan ada 12 (dua belas) orang khalifah yang semuanya dari golongan Quraisy. Jika hadits ini dikaitkan dengan hadits bahwa Khilafah hanya berlangsung 30 tahun dengan hanya empat khalifah, artinya adalah setelah 30 tahun bukan berarti tidak ada khalifah lagi, tetapi sebaliknya masih akan ada khalifah-khalifah lainnya yang jumlahnya akan mencapai 12 orang khalifah.
Jadi hadits ini menegaskan, bahwa tidak benar Khilafah hanya 30 tahun dan setelah itu Khilafah lenyap dari muka bumi dan berganti menjadi kerajaan. Yang benar, setelah 30 tahun Khilafah itu tetap ada, dan khalifah-khalifah yang baik atau lurus itu akan terus ada di tengah umat Islam hingga berjumlah 12 orang khalifah.
Ketiga, andaikata benar Khilafah hanya 30 tahun dan setelah itu Khilafah punah dan berganti menjadi kerajaan, andaikata ini benar, tidak berarti hukum wajibnya Khilafah juga terhapus (mansukh) sehingga hukumnya tidak wajib lagi untuk muslim di zaman sekarang. Hal ini terbukti dari perkataan para imam, seperti Imam Mawardi, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar Asqalani, dan lain-lain, yang tetap menyatakan wajibnya mengangkat seorang khalifah bagi kaum muslimin, walaupun para imam itu masa hidupnya sudah sangat jauh dari masa berakhirnya 30 tahun Khilafah setelah wafatnya Nabi SAW.
Dengan demikian, taruhlah memang Khilafah itu hanya berumur 30 tahun, maka ini tidak berarti kewajiban adanya Khilafah itu telah gugur dan umat Islam bebas memilih sistem pemerintahan sesuka mereka. Sesungguhnya wajibnya Khilafah tidaklah pernah gugur atau terhapus (mansukh), karena tidak terdapat dalil-dalil syar’i dari Al Qur`an dan Hadits yang me-nasakh (menghapus) kewajiban Khilafah itu atas kaum muslimin. Kewajiban adanya Khilafah bagi umat Islam seluruh dunia merupakan kewajiban yang abadi dan terus berlangsung hingga Hari Kiamat nanti. Wallahu a’lam.[]
Langganan:
Postingan (Atom)