Tahlilan
terambil dari kosa kata tahlil, yang dalam bahasa Arab diartikan dengan
mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Sedangkan tahlilan, merupakan
sebuah bacaan yang komposisinya terdiri dari beberapa ayat al- Qur’an,
shalawat, tahlil, tasbih dan tahmid, yang pahalanya dihadiahkan kepada
orang yang masih hidup maupun sudah meninggal,
dengan prosesi bacaan yang lebih sering dilakukan secara kolektif
(berjamaah), terutama dalam hari-hari tertentu setelah kematian seorang
Muslim. Dikatakan tahlilan, karena porsi kalimat la ilaha illallah
dibaca lebih banyak dari pada bacaan- bacaan yang lain.
Terdapat
sekian banyak persoalan atau gugatan terhadap tradisi tahlilan yang
datangnya dari kaum Wahhabi. Dalam sebuah dialog di Besuk Kraksaan
Probolinggo, sekitar tahun 2008, ada seseorang bertanya: “Siapa penyusun
tahlilan dan sejak kapan tradisi tahlilan berkembang di dunia Islam?”
Pada
waktu itu saya menjawab, “Bahwa sepertinya sampai saat ini belum pernah
dibicarakan dan diketahui mengenai siapa penyusun bacaan tahlilan
dengan komposisinya yang khas itu. Mengingat, dari sekian banyak buku
tahlilan yang terbit, tidak pernah dicantumkan nama penyusunnya.”
Akan
tetapi berkaitan dengan tradisi tahlilan, itu bukan tradisi Indonesia
atau Jawa. Kalau kita menyimak fatwa Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani,
tradisi tahlilan telah berkembang sejak sebelum abad ketujuh Hijriah,
Dalam kitab Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiah disebutkan:
“Syaikh
al-Islam Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli
dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini
bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka
memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum
Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka
mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula
wa laa quwwata illa billaah) dan shalawat kepada Nabi SAW. Lalu Ibn
Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an
dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling
utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhrrya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di
muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir
kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”,
lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka
bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad
(bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al Qur’an, berdzikir atau
berdoa, setiap pagi dan sore serta padi sebagian waktu malam dan
lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah SAW dan hamba-hamba
Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah,
juz 22, hal. 520)
Dalam
sebuah diskusi di Denpasar Bali, ada seorang Wahhabi berkata: “Bahwa
Tradisi selamatan tujuh hari itu mengadopsi dari orang-orang Hindu.
Sudah jelas kita tidak boleh meniru-niru orang Hindu.”
Pernyataan
orang Wahhabi ini tentu saja tidak wajar. Ada perbedaan antara tradisi
Hindu dengan Tahlilan. Dalam tradisi Hindu, selama tujuh hari dari
kematian, biasanya diadakan ritual selamatan dengan hidangan makanan
yang diberikan kepada para pengunjung, disertai dengan acara sabung
ayam, permainan judi, minuman keras dan kemungkaran lainnya.
Sedangkan
dalam tahlilan, tradisi kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam
tradisi Tahlilan, diisi dengan bacaan al-Qur’an, dzikir bersama kepada
Allah SWT serta selamatan (sedekah) yang pahalanya dihadiahkan kepada
mayit. Jadi, antara kedua tradisi tersebut jelas berbeda.
Sedangkan
berkaitan dengan acara tujuh hari yang juga menjadi tradisi Hindu,
dalam Islam sendiri, tradisi selamatan tujuh hari telah ada sejak
generasi sahabat Nabi SAW.. Al-Imam Sufyan, seorang ulama salaf berkata:
“Dari Sufyan, bahwa Imam Thawus berkata, “Sesungguhnya orang yang
meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu
mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang
meninggal selama tujuh hari. tersebut.” (HR al-Imam Ahmad dalam al-Zuhd
al-Hafizh Abu Nu’aim, dalam Hilyah al-Auliya’ juz 4, hal 11 dan
al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah, juz5, hal 330).
Riwayat
di atas menjelaskan bahwa tradisi selamatan selama tujuh hari telah
berjalan sejak generasi sahabat Nabi Sudah barang tentu, para sahabat
dan genetaj salaf tidak mengadopsinya dari orang Hindu. Karena
orang-orang Hindu tidak ada di daerah Arab.
Dan
seandainya tradisi selamatan tujuh hari tersebut diadopsi dari tradisi
Hindu, maka hukumnya jelas tidak haram, bahkan bagus untuk dilaksanakan,
mengingat acara dalam kedua tradisi tersebut sangat berbeda. Dalam
selamatan tujuh hari, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah. Sedangkan
orang Hindu melakukan kemungkaran. Dalam hadits shahih Rasulullah
bersabda:
“Dari
Ibn Mas’ud Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah
di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang
sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR.
al-Thabarani dalam al-Mujam al-Kabir dan al-Mujam al-Ausath. Alhafizh
al-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir).
Dalam
acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir
kepada Allah, ketika pada hari tersebut orang Hindu melakukan sekian
banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu. Dan
seandainya tasyabuh dengan orang Hindu dalam selamatan tujuh hari
tersebut dipersoalkan, Rasulullah SAW telah mengajarkan kita cara
menghilangkan tasyabuh (menyerupai orang-orang ahlul kitab) yang
dimakruhkan dalam agama, Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah SAW
bersabda:
“Ibn
Abbas berkata: “Setelah Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan kaum Muslimin juga berpuasa, mereka berkata: “Wahai
Rasulullah, hari Asyura itu diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan
Nasrani.” Rasulullah SAW menjawab: “Kalau begitu, tahun depan, kita
berpuasa pula tanggal sembilan.” Ibn Abbas berkata: ‘Tahun depan belum
sampai ternyata Rasulullah SAW telah wafat” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Dalam
hadits di atas, para sahabat menyangsikan perintah puasa pada hari
Asyura, di mana hari tersebut juga diagungkan oleh orang-orang Yahudi
dan Nasrani. Sementara Rasulullah SAW telah menganjurkan umatnya agar
selalu menyelisihi (mukhalafah) orang-orang Yahudi dan Nasrani. Temyata
Rasulullah memberikan petunjuk, cara menyelisihi mereka, yaitu dengan
berpuasa sejak sehari sebelum Asyura, yang disebut dengan Tasu’a',
sehingga tasyabbuh tersebut menjadi hilang.
Dalam
sebuah acara di Denpasar Bali, ada juga orang Wahhabi yang
mempersoalkan; “Bagaimana dengan pendapat madzhab al-Syafi’i yang
mengatakan bahwa pemberian hidangan makanan terhadap orang yang
berta’ziyah dihukumi bid’ah madzmumah. Hal tersebut berarti juga
meninggalkan sunnah, di mana yang dianjurkan justru orang yang
berta’ziyah itu memberi hadiah makanan kepada keluarga mayit. Apakah
tidak sebaiknya tradisi tersebut kita hilangkan?”
Dalam
hal tersebut saya menjawab, bahwa sebenarnya dalam tradisi tahlilan
selama tujuh hari, kaum Muslimin tidak meninggalkan sunnah. Mereka telah
melakukan sunnah, di mana para tetangga dan sanak famili yang
berta’ziyah, itu membawa makanan, ada yang berupa beras, ada yang berupa
lauk pauk, uang dan lain sebagainya. Jadi kaum Muslimin di Indonesia
tidak meninggalkan sunnah.
Sedangkan
tradisi suguhan makanan dari keluarga mayit kepada para penta’ziyah,
dalam hal ini madzhab al- Syafi’i berpendapat bid’ah madzmumah. Tetapi
kita harus ingat, bahwa dalam ini ada pendapat lain di kalangan ulama,
yaitu madzab generasi salaf seperti telah diceritakan sebelumnya dari
Imam Thawus. Disamping itu, ada riwayai dari Sayyidina Umar bin
al-Khaththab RA, bahwa ketika beliau akan wafat berwasiat agar
orang-orang yang berta’ziyah disuguhi makanan. Al-Hafizh Ibn Hajar
berkata dalam kitabnya al-Mathalib al’-Aliyah:
“Al-Ahnaf
bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar RA berkata: “Apabila
seseorang dari suku Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan
mengikutinya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan ini, sampai akhirnya
Umar RA ditikam, lalu beliau berwasiat agar Shuhaib yang menjadi Imam
Shalat selama tiga hari dan agar menyuguhkan makanan pada orang-orang
yang ta’ziyah. Setelah orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah Umar
RA, ternyata hidangan makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi
makan, karena duka cita yang tengah menyelimuti mereka.” (HR. Ahmad bin
Mani’ dalam al-Musnad dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib
al-Aliyah, juz 5 hal. 328).
Dengan
demikian, masalah suguhan makanan dari keluarga mayit kepada para
penta’ziyah masih ada pendapat lain yang membolehkan, dan tidak
menganggapnya bid’ah madzmumah. Kita tidak mungkin memaksakan orang lain
konsisten dcngan satu madzhab secara penuh. Al-Imam Ahmad bin Hanbal
berkata:
“Seorang
faqih tidak sebaiknya, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya.” (Ibn
Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah juz 1 hal 187, dan Syaikh
al-Albani, al-Radd al-Mufhim, hal 9 dan 147).
Dalam
sebuah diskusi di Jember, ada juga seorang teman yang agak terpengaruh
Wahhabi menggugat, “Dengan adanya tradisi tahlilan, menyebabkan mereka
yang melakukan tahlilan meninggalkan sunnah, seperti tidak shalat
berjamaah karena tahlilan. Bahkan ada juga, untuk acara tahlilan,
keluarga duka cita sampai mencari hutangan segala. Apakah sebaiknya hal
ini tidak menjadi problem?” Demikian teman tersebut menggugat.
Gugatan
teman ini sebenarnya tidak substansial Karena banyak juga orang yang
tahlilan, tetapi temp rajin berjamaah. Jadi tahlilan, tidak menghalangi
jamaah. Bahkan di sebagian daerah di Jember, acara tahlilan selama tujuh
hari dilaksanakan setelah shalat zhuhur. Di Pasuruan, dilaksanakan
setelah shalat isya’. Tergantung daerah masing-masing. Karena dalam
tradisi tahlilan memang tidak ada ikatan waktu.
Sedangkan
terkait dengan sebagian orang yang memaksakan diri dengan mencati
hutangan uang untuk acara tahlilan, ini sebenarnya bukan problem
tahlilannya. Banyak juga orang yang sampai mencari hutangan untuk
kesenangan keluarganya, dan bukan untuk tahlilan.”
Ada
juga orang Wahhabi yang menggugat tahlilan dengan berkata: “Dalam
bacaan tahlilan terdapat bid’ah, yaitu susunan bacaannya yang belum
pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.”
Menanggapi
hal tersebut, kita menjawab, bahwa berkaitan dengan susunan bacaan dan
dalam tahlilan yang terdiri dari beberapa macam dzikir, mulai dari
Al-Qur’an, shalawat, tahlil, tasbih, tahmid dan lain-lain, hal tersebut
tidak ada larangan dari Rasulullah SAW. Bahkan dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW juga mencampur antara bacaan al-Qur’an dengan do’a
seperti diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam kitab al-Du’a’. Dari
kalangan ulama salaf seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, menyusun dzikiran
campuran antara ayat al-Qur’an dan lain-lain seperti diriwayatkan oleh
Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Zadul Ma’ad. Wallahu a’lam.
Tradisi Talqin Mayit
Di
kalangan masyarakat kita, ketika ada orang meninggal dunia, dan
dimakamkan, maka dibacakan talqin, yaitu sebuah tuntunan kepada si mayit
agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir.
Tradisi ini berlaku hampir di seluruh negara Islam yang menganut faham
Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada dialog menarik seputar talqin ini, yang
diceritakan oleh teman saya, Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan. Ia
bercerita begini:
Sekitar
bulan Maret 2010 ada seorang mahasiswa IAIN Sumatera Utara yang kos di
salah satu sudut kota Medan. Tiap malam rabu ia belajar mengaji bersama
kami didaerah Sunggal. Waktu itu kitab yang dibaca adalah kitab
al-Tahdzib fi Adillat al-Ghayah wa al-Taqrib, karya Musthafa Dibul
Bugha. Mahasiswa ini sangat resah dengan keberadaan ponakannya yang
belajar di Pondok As-Sunnah, sebuah pesantren yang diasuh oleh orang
orang Wahhabi. Sepertinya anak itu telah termakan racun ajaran Salafi.
Mahasiswa itu berjanji membawa keponakannya ke Majelis Ta’lim kami di
Sunggal. Pada malam yang ditentukan datanglah mereka, bersama
keponakannya itu, sebut saja dengan inisial X.
Setelah
mereka berkumpul, saya bertanya, kira-kira apa yang akan kita
diskusikan? X menjawab, “Banyak Ustadz, antara lain soal Talqin dan
bid’ah”. Saya bertanya, “Apa yang kita masalahkan dengan bid’ah itu?”
“Ini Ustadz, bid’ah itu kan dosa dan pelakunya diancam siksa dalam
banyak hadist” Demikian
X
itu menjawab. Saya tanya, “Benar, kita sepakat bid’ah itu sebuah
ancaman dan membahayakan sekali. Tapi perlu diingat, bid’ah itu tidak
sampai mengeluarkan pelakunya dari nama Islam alias Murtad. Bid’ah itu
ada kalanya berkaitan dengan aqidah, kadang dengan ibadah. Kamu tahu
enggak apa itu Bid’ah?”
X
menjawab, “Sebagaimana yang kami pelajari, bid’ah itu ialah segala
sesuatu yang menyangkut ibadah yang tidak ada di zaman Nabi dan dilakoni
oleh Nabi dan Salafus Sholeh, seperti Talqin, Madzhab, Ushalli dan lain
sebagainya.” Saya berkata, “Definisi bid’ah seperti itu siapa yang
membuatnya? Nabi, atau Sahabat, dan atau Tabiin?”
X
menjawab, “Itu rangkuman pemikiran saya saja.” Saya berkata, “Kalau
begitu definisi bid’ah menurut Anda itu kan tidak ada penjelasannya dari
Nabi. Nah definisi Anda itu juga Bid’ah, kan definisi anda itu bukan
keluar dari ucapan Nabi. Ok..? Ini sesuai yang Anda katakan.”
Mendengar
umpan saya, X terdiam. Kemudian ia berkata, “Lalu bagaimana dengan
hadisi “Man Ahdasta Fii Amrina haza Fahuwa Roddun”. Saya balik bertanya,
“Kenapa dengan Hadist itu?” X berkata, “Hadist ini secara tegas
menyingkap apa itu bid’ah.”
Saya
berkata, “Benar, tapi perlu dicermati maksud kalimat, man ahdatsa fi
amrina hadza ma laisa minhu. Menurut pemahaman Anda bagaimana dengan
kalimat itu?” Ia menjawab: “Menurut saya pokoknya menciptakan Ibadah
baru itu Bid’ah!!.” Saya berkata: “Kalau begitu Anda memahami hadist itu
pakai kacamata kuda dong. Saya bertanya, apa arti ma laisa mihu dalam
hadits tersebut? Tolong Anda jelaskan tiga kata ini.” TernyataX hanya
terdiam tidak bisa menjawab.
Saya
berkata: “Saudara, kata ahdatsa dalam hadits tersebut bermakna
menciptakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Sedangkan kata fi amrina, bermakna sesuatu yang merupakan urusan Agama
kami, maksudnya suatu hal yang baru yang berkaitan dengan agama.
Sedangkan kata ma laisa mihu, bermakna sesuatu yang tidak ada dalilnya
secara langsung atau tidak langsung dari agama. Nah demikian itu baru
dihukumi bid’ah. Makanya al-Imam al-Nawawi dalam Kitab al- Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab menyatakan bahwa bid’ah adalah sesuatu urusan yang baru
dalam agama yang tidak ada dalilnya. Dalil-dalil itu adalah al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Selama masih ada dalilnya dari salah satu yang
empat tersebut, maka itu bukan bid’ah. Anda kalau zakat fitrah pake apa?
Seharusnya mesti pakai korma dong. Rasul SAW mengatakan tidak pernah
pakai beras.
Rasul
tidak mempraktekkan zakat fitrah pakai beras. Pakai beras itu Qiyas
dari korma dan gandum. Jadi kalau tidak menggunakan Qiyas, tentu saja
Islam ini
sempit
sekali. Demikian pula masalah Takhtim, Tahlil yang selalu diamalkan
masyarakat kita, isinya adalah pembacaan al Qur’an, Tahlil dengan
kalimat Laa lllaha lllalloh, Sholawat, lalu doa. Saya tanya Anda.
“Apakah ada larangan membaca itu semua, baik menurut al-Qur’an dan
hadist?”
Mendengar
pertanyaan saya, X menjawab: “Tidak ada.” Saya berkata: “Apakah ada
perintah membaca itu semua menurut al-Qur’an dan hadist secara umum?” X
menjawab: “Ada.” Saya bertanya: “Adakah larangan Allah dan Rasul untuk
berdzikir, baca al-Qur’an dan lain sebagainya itu?” X menjawab:” Tidak
ada.” Saya berkata: “Nah! Kan tidak ada larangan. Sementara pengamalan
tersebut ada sanjungan dari Allah dan Rasul, maka itu bukanlah bid’ah
yang terlarang atau sesat. Anda faham!” X menjawab: “Emangnya apa
sanjungan Allah dan Rasul-Nya?”
Saya
menjawab: “Lho…!! Tidakkah pernah saudara dengar sebuah hadist shahih
yang artinya, ‘Tidaklah sekelompok orang yang duduk sambil berzikir
kepada Allah kecuali para malaikat akan mengelilinginya, rahmat kasih
sayang Allah akan meliputinya, ketenangan akan diturunkan kepadanya dan
Allah akan menyebut-nyebut mereka dihadapan makhluk yang ada disisiNya”.
(HR Ahmad, Muslim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibnu Abi Syaibah dan
al-Baihaqi dari Abi Hurairah dan Abi Sa’id al- Khudri). Dalam hadist ini
atau hadist lain tidak pernah ada larangan, kecuali ditempat-tempat
kotor seperti di WC dan semacamnya.”
Mendengar
penjelasan saya, X terdiam. Kemudian ia angkat bicara: “Bagaimana
masalah Talqin? Bukankah itu Bid’ah?” Saya menjawab: “Begini saja supaya
jelas. Lalu saya berdiri dan mengambil spidol dan menuliskan di
Whiteboard, “TALQIN MAYIT BUKAN BID’AH TAPI KHILAFIAH” dan saya tanda
tangani. Lalu saya suruh ia untuk menuliskan kalimat tandingan dari
pernyataan saya. Lalu iapun menuliskan “TALQIN MAYIT ADALAH BIDAH” dan
ditanda tanganinya. Lalu saya bertanya : “Kalau Talqin mayit adalah
bid’ah berarti pelakunya diancam siksa?” X menjawab: “Ya.”
Saya
bertanya: ‘Yang mengatakan bahwa talqin mayit itu bid’ah, siapa?”
Dengan semangat, X yang masih anak muda itu mengatakan: “Syaikhul Islam
Ibn Taimiyah.” Mendengar jawaban itu, saya pun mengambil kitab Majmu’
Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Lalu saya berkata: “Ini kitab
Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah.” Sambil menunjukkan kepada hadirin semua,
halaman 242 jilid 1, yang isinya adalah:
“Talqin
yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan
dari segolongan sahabat bahwa menka memerin-tahkannya seperti Abi Umamah
al-Bahili sertu beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-lmam Ahmad
bin Hanbal dan para ulama yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya
talqin mayit ini tidak apa-apa untuk diamalkan…” (Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyah, juz 1 hal. 242).
Nah,
Ibn Taimiyah tidak mengatakan bahwa talqin itu bid’ah, malah menyatakan
ada dalilnya bahwa talqin itu dilakukan oleh sebagian Sahabat. Yang
jelas ini masalah Khilafiah bukan masalah bid’ah!!!” Mendengar
penjelasan saya, X pun terdiam. Tidak lama kemudian, ia pamitan pulang.”
Demikian kisah dialog publik antara Ustady Syafi’i Umar Lubis dari
Medan Sumatera Utara dengan pemuda Wahabi.
Doa Bersama
Ada
seorang teman yang sekarang tinggal di Bandung sebagai kiai muda,
curhat kepada saya melalui SMS, bahwa ada sekelompok aliran di
daerahnya, ketika selesai shalat, mereka tidak mau berdoa bersama dengan
dipandu seorang imam. Alasan mereka, hal itu tidak ada haditsnya dan
termasuk bid’ah. Hal yang sama juga terjadi pada saya.
Dalam
sebuah diskusi tentang bid’ah dan tradisi, di Mushalla Nurul Hikmah,
Perum Dalung Permai Denpasar, pada 22 Juli 2010 yang lalu, ada seorang
Salafi yang berpendapat bahwa doa bersama itu bid’ah. Ketika salah
seorang teman kami berdoa sebagai penutup acara, jamaah yang hadir
semuanya mengucapkan amin sambil mengangkat kedua tangan mereka.
Sementara laki-laki Salafy yang menolak doa bersama tersebut, tidak ikut
amin dan tidak mengangkat kedua tangannya.
Pada
dasarnya, kalau kita mengkaji ajaran Islam secara mendalam, akan kita
dapati bahwa tradisi doa bersama, di mana salah seorang dari jamaah
mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah lainnya membaca amin,
merupakan tradisi Islami sejak generasi salaf yang saleh dan sesuai
dengan ajaran Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah SAW
bersabda:
“Dari
Habib bin Maslamah al-Fihri RA – beliau seorang yang dikabulkan
doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak lah
berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian
lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.”
(HR. al-Thabarani dalam al-Mujam al-Kabir, dan al-Hakim dalam
al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan
Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, para
perawi hadits ini adalah para
perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”
Dalam hadits lain diterangkan:
“Dari
Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “RasuIullah SAW bersabda:
“Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh
pahala.” (HR. al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang
lemah).
Menurut
al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al- j Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi
li-’llal al-Jami’ al- Shaghir wa Syarhai al-Munawi (juz 4 hal. 43),
kelemahan hadits al-Dailami di atas dapat diperkuat dengan ayat
al-Qur’an. Allah berfirman tentang kisah Nabi Musa AS
“Allah
berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh
karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus: 89).
Dalam
ayat di atas, al-Qur’an menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa
AS dan Nabi Harun AS. Padahal yang berdoa sebenarnya Nabi Musa AS
sedangkan Nabi Harun AS hanya mengucapkan amin, sebagaimana diterangkan
oleh para ulama ahli tafsir. Nabi Musa AS yang berdo’a dan Nabi Harun AS
yang menngucapkan amiin, dalam ayat tersebut sama-sama dikatakan do’a.
Hal ini pada dasarnya menguatkan hadits di atas, bahwa orang yang
berdo’a dan yang mengucapkan amin sama-sama mendapatkan pahala do’a.
Mengenai doa Nabi Musa AS tersebut, telah dijelaskan dalam ayat berikut
ini:
“Musa
berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada
Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam
kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia)
dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasanklah harta benda mereka, dan
kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka
melihat siksaan yang pedih.” (QS. Yunus: 88).
Dalam hadits lain diterangkan:
“Ya’la
bin Syaddad berkata: “Ayahku bercerita kepadaku, sedangkan Ubadah bin
al-Shamit hadir membenarkannya.: “Suatu ketika kami bersama Nabi SAW,
Beliau berkata: “Apakah di antara kamu ada orang asing? (Maksudnya
ahlul-kitab).” Kami menjawab: “Tidak ada ya Rasululah.” Lalu Rasul SAW
memerintahkan agar mengunci pintu. Kemudian bersabda: “Angkatlah tangan
kalian dan ucapkan la ilaha ilallah.” Maka kami mengangkat tangan kami
beberapa saat. Kemudian Rasul SAW berkata; “Ya Allah, Engkau telah
mengutus aku membawa kalimat ini, dan Engkau janjikan surga padaku
dengan kalimat tersebut, sedangkan Engkau tidak akan menyalahi janji.”
Kemudian Rasul bersabda: “Bergembiralah, karena Allah telah mengampuni
kalian.” (HR. Al-lmam Ahmad dengan sanad yang dinilai hasan oleh
al-Hafizh al-Mundziri, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan
lain-lain.)
Dalam
hadits di atas Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat membaca
kalimat tauhid (la ilaha illallah) bersama-sama. LaIu para sahabat pun
mengucapkannya bersama-sama sambil mengangkat tangan mereka.. Kemudian
Rasulullah SAW membacakan doa. Dengan demikian, dzikir bersama
sebenarnya memiliki tuntunan dari hadits shahih ini.
Berdasarkan
paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi doa bersama, dimana
salah seorang di antaraa jamaah memimpin doa, sedangkan jamaah yang lain
mengucapkan amin, baik hal tersebut didahului dengan dzikir bersama
maupun tidak, pada dasamya memiliki dasar hadits yang kuat, dan bahkan
merupakan tuntunan al-Qur’an al-Karim sebagaimana yang terdapat dalam
kisah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS.
Wallahu alam.